Berjalan bersama harapan dan mimpi, mengikuti lekuk jalan meninggalkan jejak keraguan dan kecemasan. Tersamar setitik memori saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah ini. Terik menyengat, deru debu yang riang berkejaran dengan angin. Mengelilingi pohon kering yang berdiri ringkih menantang langit, tanpa sehelai daunpun yang melekat di lengannya. Hanya dahaga tanah yang menganga, meninggalkan borok luka tanpa seulas senyum di wajahnya. Tak akan ada lagi tangis itu kan mengalun, takkan ada lagi marah itu kan memekakkan telinga, takkan ada lagi teduh lembut wajah kesabaran itu. Hanyalah langit sendu yang semakin murung merunduk menatap pertiwi. Dingin membelenggu, sedih merasuki jiwa. Bayang-bayang lambaian tangan semakin memudar bersama angin yang hanya meninggalkan pesan, doa dan harapan sebagai bekal.
Tak percaya memang, tapi inilah yang ada di depanku. Hanya wajah-wajah asing yang berkelebat di hadapan, menyusup di antara kerumunan masa. Takut. Orang baru dan penghuni lama berbaur menjadi satu walau saling bergesekan berusaha menghindari satu sama lain. Indra yang tersembunyi mulai menyusup, memaksa keluar untuk melihat semua yang tersembunyi di balik tebalnya batas itu. Batas antara dunia manusia dan dunia hantu. Hantu bukanlah hal asing bagiku, tapi telah lama kuputuskan untuk mengubur bakat ini. Tapi apa daya, mereka selalu mengungkit, mereka mengikuti bahkan jelas menari-nari di hadapanku. Aku semakin takut dan mulai kehilangan arah.
Berusaha menguatkan diri walau pandangan mata itu benar-benar menghujam jiwa. Terkesan aneh. Berjalan sendiri, kadang dengan ramah mencoba untuk menyapa mereka kemudian tiba-tiba menghilang, tenggelam dalam gelap dan dinginnya malam. Hanya berteman sepi. Kesepian memang membelenggu diriku kini, tapi tak ada cara tuk hilangkan rasa sepi ini. Jauh dari ayah, jauh ibu dan anak kacil itu. Benar-benar terasa sepi, ingin rasanya berlari pergi, tapi ke mana harus pergi? Aku benar-benar kehilangan arah, bahkan sesosok temanpun belum menemani.
Perlahan, gulita mulai bersalin, cahaya menyeruak membelah kegelapan. Sosok yang kurindukan datang, memecah kesunyian dan kesepian batin yang telah merenggut jiwaku. Mengikis ketakutan, mengalirkan ketenangan ke muara. Layaknya ayah tempat kusembunyi, dia hadir sebagai pengganti tempat perlindunganku. Penepis ketakutan akan teror bayang-bayang hitam yang bergentayangan menyusuri lorong-lorong gelap di sepanjang koridor. Seorang guru yang memebalutku dengan kasih sayang, menemani dan menerangi setapak demi setapak jalan yang kususuri.
Namanya Ari, lelaki kelahiran 30 September yang kini berusia 23 tahun. Seiring dengan waktu yang semakin tertatih meninggalkan kami, perasaan sayang satu sama lain mulai bersemi. Kini aku memanggilnya kakak. Kami sering menghabiskan waktu bersama, duduk di bawah teduh rimbunnya pohon mangga. Saling melempar senyum, melempar canda dan tawa yang berjalin, mengalun bersama desau angin. Dia adalah tempatku mencurahkan semua perasaan, tempatku mencurahkan semua rahasia, tempatku menangis dan mengadu. Ada satu rasa yang semakin tumbuh dan mengganggu, tapi ku tak bisa mengaku. Hanya aku simpan dalam ukiran rangkaian kata pada sebuah catatan kecil.
Walau rasa rindu akan hadirnya ayah semakin hilang karena hadirnya. Tapi itu muncul kembali, pada sebuah hari yang disebut hari Ayah. Aku dan siswa lainnya berhamburan bersama mencarinya. Berlomba-lomba menjadi yang pertama untuk mengucapkan selamat hari Ayah. Bergantian bersalaman dan satu per satu pergi. Tinggal aku sendiri yang mendongakkan kepala di balkon, melempar pandangan yang berkaca-kaca, mencoba mencari bayangnya di antara kerlap-kerlip bintang. Hampir aku tenggelam, tetapi tersadar karena elusan lembut di kepalaku. Dia mencoba menghibur dan mengajakku kembali. Tapi aku masih melekatkan tanganku pada pinggiran balkon. Dia menarikku dan membenamkanku dalam pelukannya yang hangat. Kaca itu pecah menjadi lelehan yang meninggalkan bekas pada pipiku. Memelukku dengan erat hingga sesak yang menjerat mulai melepaskan.
“Hay, sudahlah. Jangan kamu menangis! Bukankan kamu mengatakan bahwa kamu akan menjadi anak yang kuat dan tidak cengeng. Baru tadi siang kita tertawa. Kamu tahu sifatku bukan? Jadi jangan mencoba membuatku untuk ikut menangis. Ayo kita kembali, ini sudah malam dan berhentilah menangis sebelum matamu itu bengkak.” “Baiklah, aku akan kembali. Maaf telah mencoba membuat kakak untuk menangis. Aku hanya teringat akan ayah di rumah, aku sangat merindukannya, kak. Aku ingin bertemu dengannya. Ada rasa takut dalam hatiku, takut aku takkan bisa melihatnya lagi. ” “Kenapa kamu berbicara seperti itu? Memangnya ayahmu akan pergi ke mana?” “Entahlah. Aku hanya merasa takut. Mungkin karena rasa rindu yang tak terobati.” “Ya, baiklah. Mari kita kembali!” “Baiklah…”
Memang benar adanya apa yang dia katakan. Kini mataku bengkak, sakit dan perih bahkan semakin sipit. Hingga fajar membelaiku, mataku masih bengkak walau sakit sudah berkurang. Setelah terang semua kabut di mata, langsung kugapai tas dan berusaha mencari sebuah catatan kecil. Kutumpahkan semua dalam guratan demi guratan pena yang merangkai kata menjadi kalimat. Semua yang kurasa tapi tak bisa kubagi dengannya. Sebuah rasa yang semakin kuat dan besar. Semakin menyesakkan dada karena tak mungkin untuk kuungkapkan. Sayang yang kini perlahan mulai bersalin dengan denyut cinta yang berdegub setiap aku bersamanya.
Semakin aku bersamanya, semakin besar rasa cinta ini bertumbuh. Semakin menjulang, perlahan menembus benteng yang semakin tipis. Tawa yang sempat mengalun kini sepi kembali. Dia menghilang di kegelapan setelah berjalan tertatih karena sakitnya. Kini hanya tinggal kumpulan, helai demi helai catatan yang perlahan mulai penuh. Tanpanya, semua derita, cerita dan rasa rindu hanya bisa aku tumpahkan dalam buku ini. Membuatku tersandung. Menjalani hari-hari di antara lekat mendung yang menggelayut membayangiku. Murung, yang terlukis di wajahku. Sepi yang membelenggu jiwaku.
Kerinduan akan dirinya semakin mengikat dan membuat sesak. Tetapi, hari ini dia tiba-tiba muncul, menyapaku dengan lambaian tangannya. Aku sungguh bahagia, serasa hati hendak melompat. Meninggalkan semua barang yang kubawa, berlari untuk memeluknya. Kini kurasakan lagi hangat pelukannya. Kupeluk erat, seakan takut untuk kehilangan yang kedua kalinya.
“Kakak ke mana saja, aku sangat merindukan kakak. Betapa khawatir hati ini, melihat kakak tertatih di tengah kegelepan, tanpa bisa menolong kakak.” “Maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk membuatmu khawatir. Tapi terimakasih telah mengkhawatirkan keadaanku. Aku baik-baik saja sekarang, tidak kurang suatu apapun. Jadi, berhentilah memasang ekspresi jelek itu. Mari, aku punya sesuatu untukmu!”
Dia menarik tanganku, mengajakku pergi ke tempat biasa. Duduk di bawah pohon mangga, menikmati indahnya senja yang mulai menua bersama sekantong gorengan yang masih cukup hangat. Menumpahkan seluruh duka yang lama menyumbat jiwa. Hari-hari yang ceria memang kembali. Tapi tergetar badan ini, ketika terbangun di pagi hari. Seketika aku menyambar catatan kecilku. Mencatan semua yang bisa aku catat, di tengah gemetar yang semakin mengguncang. Bersama kilat dan gemuruh yang mengerang. Pertanda demi pertanda semakin jelas, hanya tinggal beberapa jengkal waktu di hadapan. Aku takut. Ku takut sosok itu akan benar-benar kembali, mengambil nyawaku, membawaku pergi darinya selamanya. Sosok hitam besar, yang mukanya hanya samar terlihat. Menerjangku dengan sebilah pedang bermata ganda, di tengah tanah lapang. Dikelilingi kesunyian dan lekatnya debu. Sekian kali melawan, sekian kali terbanting. Hingga akhirnya pedang itu tepat di leherku. Siap untuk menebas semua urat kehidupan.
“Saya mohon, ampuni saya. Saya tidak mengetahui apa kesalahan saya pada anda. Kenapa anda menyerang saya, seperti ini? Matian-matian, berusaha untuk membunuh saya?” mohonku “Ini adalah takdirmu, aku hanya menjalankan tugas. Ini adalah pertempuran pertama dan terakhirmu. Kamu kalah dan kamu harus mati hari ini.” jawabnya “Saya mohon ampun, tolong ampuni saya untuk kali ini saja. Beri saya waktu, masih ada banyak hal yang belum saya balas. Saya juga ingin mengucapkan salam perpisahan padanya!” “Eehm… Aku masih berbaik hati padamu. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan?” “Beri saya waktu satu minggu! Setelah itu, ambillah nyawa saya, bawa saya pergi sejauh mungkin.” “Baiklah… Sekarang, pergilah!”
Tunggang langgang berlari, berusaha menjauh dari pandangannya. Menerobos gelap di hadapan, berlari tanpa arah dan tujuan. Aku benar-benar takut. Gelap membutakanku. Hingga tiba di penghujung, mencapai sebuah cahaya yang membawaku kembali ke pagi yang nyata.
Menjalani hari-hari yang tersisa. Mencoba untuk tetap bersikap seperti biasa. Walau ini semakin menyiksa. Kuhabiskan setiap waktuku bersamanya. Tak ingin sedetikpun terlewati. Menceritakan banyak hal sebanyak yang aku tahu. Tertawa selepas mungkin yang aku bisa. Menangis sejadi-jadinya. Memeluknya seerat yang aku bisa. Selalu menggenggam tangannya kemanapun kita pergi dan berharap takkan terlepaskan. Semakin sedikit waktu yang tersisa sedangkan hembus dingin angin kematian semakin mengelusku.
Hari ini tiba. Langit bergemuruh, mengirimkan kilat yang membelah langit. Angin berhembus bersama bayang-bayang hitam yang semakin mencekam di tengah kelam. Tibalah aku di penghujung hari, menemaninya tuk terakhir kali.
“Aku berharap ini bertahan lama. Aku tidak ingin ini berakhir.” “Kenapa kamu berpikir seperti itu? Bukannkah besok kita bisa melihat ini lagi?” “Ya, memang. Hanya saja aku terlalu menikmatinya.”
Kami kembali terdiam. Hingga akhirnya aku kembali membuka pembicaraan. “Bolehkan aku bertanya sesuatu?” “Tentu, seperti biasa. Apa yang ingin kamu tanyakan?” “Aku hanya ingi tahu, bagaimanakah perasaan kakak, ketika orang yang sangat kakak sayangi, tiba-tiba pergi meninggalkan kakak dan tak akan pernah kembali?” “Tentu saja aku sedih. Sangat-sangat sedih. Aku akan mengutuk diriku, karena aku tidak bisa mempertahankannya untuk tetap berada di sisiku. Setiap orang yang aku sayangi adalah orang yang sangat berharga dalam hidupku. Aku tidak akan pernah mengikhlaskannya pergi, takkan pernah. Tapi, untuk apa kamu menanyakan hal itu?” Tak terasa air mataku mulai tumpah. “Tidak apa-apa. Aku hanya merasa. Waktuku semakin dekat.” Dia menatapku dengan bingung. “Dekat, untuk apa?” “Maafkan aku, kak! Aku tidak akan bisa menemani kakak lagi. Aku akan pergi dan jangan pernah berharap, aku pernah kembali.” “Maksudmu apa?” “Maafkan semua kesalahanku, kak. Aku sangat menyayangi kakak bahkan aku sangat mencintai kakak. Tapi maaf aku harus pergi. Tapi hanya satu permintaanku. Izinkan aku, memeluk kakak untuk yang terakhir kalinya.”
Kami berpelukan. Aku berusaha untuk memeluknya seerat mungkin yang aku bisa. Aku tidak ingin melepaskannya. Tapi apa daya, aku harus menjauh. Aku tidak ingin dia melihat kematianku dengan sorot mata teduh yang sarat akan teka-teki itu. “Hanya ini yang bisa aku berikan,” memberikan catatan kecilku. “Dari catatan itu kakak akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tetap simpanlah itu, tetap simpanlah aku di hati kakak. Karena kakak akan selalu tersimpan di hatiku. Jangan pernah lupakan aku, kak. Jika kita berjodoh, kita pasti akan bertemu di kehidupan selanjutnya. Maafkan aku kak, aku harus pergi.”
Aku berbalik pergi meninggalkannya di tengah badai kebingungan yang melanda. Berusaha berjalan secepat mungkin, berusaha menghilang dari pandangannya. Ajalku tiba, pedang itu telah menebas punggungku. Darah tumpah, aku roboh tersungkur ke tanah. Kini aku berakhir di penghujung hari ini. Pandangan yang tak lepas dariku itu tersentak, dia terbangun, berlari ke arahku. Tapi semuanya terlambat, aku telah pergi. Selamat tinggal kakak, kamu akan tetap tersimpan apik di hatiku.
Cerpen Karangan: Ni Luh Putu Puspaningsih Blog / Facebook: Putu Puspa Nama lengkap: Ni Luh Putu Puspaningsih Tempat/tanggal lahir: 27 Desember 1999 Aalamt: Kecamatan Pupuan, kab. Tabanan, prov. Bali