5 tahun berlalu. Banyak purnama yang telah terlewati, ribuan senja yang telah kita tempuh bahkan gerhana yang datang menghampiri maret 2016 tahun lalu. Butuh 33 tahun lagi untuk bertemu dengan gerhana itu. Dan sekarang sudah setengah jam aku menunggu di pelataran parkir gereja. Kenapa dia belum datang? Macetkah? Kenapa teleponku nggak diangkat? Pesannku nggak dibalas? Ribuan pertanyaan dan banyak prasangka buruk berputar-putar di kepalaku. Aku masuk lagi ke gereja, ini sudah ke 3 kalinya aku keluar dan masuk ke gereja lagi. Bahkan omk yang dari tadi sibuk foto-foto di depan altar sudah bergegas mau pulang.
“kak esther?” panggil Christina, salah satu omk yang mengenalku. Aku nggak tau dia memotretku atau tidak yang pasti aku tersenyum mengarah ke kameranya. “belum pulang kak?” dia langsung duduk di sampingku dan memamerkan hasil jepretannya. “belum. Bentar lagi. Ihh bagus. Ada bakat ya” aku memuji skill fotografinya. “kalian kenapa belum pulang?” aku kembali bertanya. “masih mau foto-foto kak. Hehehehehe. Ayok ke depan altar kak, isti fotoin. gratis” ujarnya senang. “boleh” belum beranjak dari tempat dudukku aku melihat dia. Dia yang sudah membuatku menanti selama setengah jam. Tersenyum dan langsung menghampiriku dan cristina. “hai. Maaf lama. Tadi ban mobilnya kempes.” Jelasnya.
“cie yang udah jemput pangerannya.” Ucap cristina. Cristina menyeretku paksa dan dia ke altar memfoto kami berdua layaknya sepasang kekasih yang telah menghabiskan hari minggunya di gereja bersama-sama. Memang kami sepasang kekasih, tapi kami berbeda. Dia terlihat senang-senang saja. Bahkan mendengar dengan seksama celotehan-celotehan omk tangung yang menceritakan bagaimana acara pemberkatan di dalam gereja katolik. Mereka tidak tahu, bahwa orang yang mendengarkan cerita indahnya pemberkatan dalam gereja itu berbeda tempat ibadah dengan kami.
“ini perdana aku masuk gereja.” Ucapnya dengan nada senang yang tak terjelaskan. “besok-besok kalau aku jemput kamu lagi aku bisa masuk lagi kan??” Tanyanya memastikan lagi. Aku hanya mengangguk tersenyum. “jadi kita ke mana??” tanyanya begitu mobil keluar dari parkiran gereja. Ada rasa sakit yang tak bisa kujelaskan. Secara perlahan menggorogoti dadaku. Sesak dan amat teramat meyakitkan. Aku nggak tau harus berbuat apa, bagaimana kedepan dan kapan semua yang berkecamuk di kepalaku ini terselesaikan. Aku terlalu takut untuk memulai, dan takut apa yang kubayangkan selama ini benar-benar terjadi. Meskipun begitu, aku sudah terlanjur jauh menyakitimu. Hatiku. Aku bingung.
“esther fariishta?” dia menyebut nama lengkapku “ia mas?” dengan nada kebingungnan aku menjawabnya. “Astaghfirullah… mikirin apa kamu? Kok sampe nggak dengar mas ngomong?” dia mengelus kepalaku. “nggak ada mikirin apa-apa mas. Esther pun bingung kenapa nggak denger mas ngomong. hehehhe” aku menggaruk kepalaku yang nggak gatal sama sekali. “jadi???” “jadi??” aku mengulang perkataanya lagi. “jadi kita ke mana sekarang??” “oh… hmmm.. kita… ke… oh kita ke masjid dulu. Mas sholat dulu, baru kita bicarain kita mau kemana habis itu.” “pandai aja ngelesnya.”
Dia. Dia yang kuharapkan menjadi suamiku kelak. Ayah dari anak-anak yang akan keluar dari rahimku. Orang yang akan menua denganku. Bahagia bersama, sedih bersama. Apapun itu, aku mengharapkan dia selalu berada di sisiku, dekat denganku itu pun kalau Tuhan mengizinkan. Tapi, sepertinya Tuhan benar-benar tidak mengizinkan itu semua. Tuhan tidak merestui hubunganku dengan dia Muhammad Abrar Arsenio.
Tidak seperti biasanya, malam ini kami satu keluarga bisa berkumpul di meja makan. Pasti ada pembicaraan yang serius. Biasanya setiap hari sampai jam 9 malam abi menghabiskan waktunya dengan teman-teman satu pengajiannya. Membicarakan banyak hal tentang penggalangan dana, pengngajian akbar, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Aku tidak tahu apa yang dinanti abi, tapi abi menahanku untuk tidak beranjak dari dudukku. menyuruh arafah dan azzam ke kamar meninggalkan aku, abi serta umi di meja makan.
“ini pembicaraan yang serius abi?” aku memulai pembicaraan. Aku melihat abi menghela nafas panjang, tatapan umi yang menyuruhku untuk tidak bersuara lagi. Abi mengetuk-ngetuk jarinya ke meja. Seperti memikirkan sesuatu untuk memulai sebuah pembicaraan. “kapan kamu mau nikah?” pelan. Intonasi yang pas. Artikulasi yang tepat. Aku membuang tatapanku. Jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan mentalku untuk pertanyaan seperti ini. Menyiapkan jawaban-jawaban pamungkas yang akan aku lontarkan. Tapi nyatanya, aku tidak menjawab. “kamu masih mendengar abi kan mas??” tidak ada nada kemarahan disana. Abi tetap tenang. Aku yang tidak tenang. Aku menganggukkan kepalaku. Menatap abi sekilas. “tadi abi nanya apa?” aku benci situasi seperti ini. Untuk kali pertama kami membicarakan ini dengan suasana yang betul-betul serius. “bagaimana kabar esther?” Deg!! Jantungku seperti berhenti ketika abi menyebutkan nama kekasihku. “dia baik bi.” Aku mencoba menutupi kegugupan ku dengan tersenyum. “melihat ekspresi mas, mas sudah mengertikan arah pembicaraan ini kemana?” abi tetap tenang. Sangat tenang. Bahkan intonasi suaranya tidak berubah sama sekali.
“bagaimana bentuk pasanganmu abi nggak akan protes mas. Tapi untuk keyakinan, abi harus protes. Abi tidak mau mas jadi murtad. Abi ngerti bagaimana perasaan mas. Tapi, tidak harus mengorbankan keyakinankan? Carilah yang lain. Itu aja tidak ada yang lain.” Abi beranjak dari duduknya. “jadi abi maunya seperti apa sekarang? Kalau mas nggak mau cari yang lain gimana” aku memberanikan diriku untuk membuka suara. Abi memutar badannya, tersenyum. Rona-rona kemarahan ataupun murka melihat anaknya melawan tidak ada di wajahnya. “berarti abi yang akan mencarikan yang lain itu. Ituh anak bungsu pak abdul sudah abi lamarkan untuk kamu mas. Kita tinggal atur pertemuan keluarga aja. gampang kan”. aku mematung mendengar ucapan abi. segampang itu abi menyuruhku untuk menikahi orang lain. “ingat umur kamu mas, mau usia berapa lagi kamu punya keturunan. Pacaran itu bisa setelah menikahkan. Abi sama umi mu…” “jangan samakan aku sama abi sama umi.” Ucapku lantang dan bergegas pergi. “ABRARRR… abi nggak pernah mengajarkan kamu untuk melawan” suara abi meninggi. Umi menghampiri abi dan mencoba menenangkan abi. “ini hidup Abrar bi. Biarkan abrar yang menentukan” teriakku. Ya Allah mafkan aku yang melawan kedua orang tuaku. Benar. Ini hidupku aku yang merencanakan, dan tuhan yang menentukan rencana itu. Aku harus bicara dengan esther. Aku bodoh selama ini tidak pernah membicarakannya dengan serius. Bahkan kami sudah membicarakan impian-impian indah yang mungkin takkan pernah terjadi. Tetapi dalam doaku, aku selalu mengaminkan itu.
Beberapa hari ini, kami tidak ada bertemu. Hanya bertatap muka dari video call dengan jaringan yang tak pernah berpihak kepada kami. Bahkan jaringanpun tak merestui aku melihat wajah kekasihku. Mas Abrar *lopelope Jangan lupa jumatan ya mas.!! Ia sayang. Ini udah mau ke masjid kok. Jadi ketemuan nantikkan pulang kerja? Jadi dong. Kangenn tau. *emotnangis Miss you to bae. *kisskiss sampai ketemu nantik.
Aku menatap langit yang mendung siang itu. Aku lagi senang langit, kenapa kau muram? Aku mau ketemu dengan kekasihku. Setelah beberapa senja yang kulewatkan tanpa hadirnya. Aku benar-benar merindukannya. Kau tidak setuju? Be nice please..
Aku menatap jalanan yang mulai macet dari lantai 3 kantorku. Kereta-kereta yang banyak menepi hanya untuk sekedar berteduh. Bahkan ada yang dengan santainya menembus lebatnya hujan. Itu pasti menyenangkan dan dingin juga. Beneran hujan. Lebat. Deras. Bahkan kilat dan suara petir yang tiada habisnya. Aku kira mendungnya cuman sebentar. Langitnya beneran nangis. Sedih seperti kehilangan sesuatu yang tak mampu disuarakannya. Nada dering hp ku berbunyi nyaring. Mas Abrar *lopelope Mas udah di lobby nih. Sayang mana? Otewe turun sayang *kisskiss
Macet. Ini jumat, ditambah hujan lagi, jam macet pulang kerja. Ok ini baru namanya pake komplit. Kami menghabis waktu dengan bernostalgia kenangan-kenangan yang sudah terlewati. Melintasi kembali memory indah yang sulit sekali untuk mendapatkan momentum kedua kalinya. Tertawa di tengah sedihnya senja yang membutuhkan hiburan. Dia menepikan mobilnya. Menatapku dan mengelus kepalaku. Membawaku ke dalam pelukan hangatnya.
“miss you” bisiknya di telingaku. “miss you to” balasku. “aku mencintaimu” ucapnya lagi “aku mencintaimu juga” “menikahlah denganku..” ucapnya pelan. Teramat pelan. Tapi aku masih terdengarku dan dia mempererat pelukannya. “mas…” “yah.. menikahlah denganku.” Aku mendorong bahunya pelan. Melepaskan pelukan hangat yang masih ingin kurengkuh. “mari kita menikah.” Ada keseriusan dan ketulusan di wajahnya. “aku harus jawab apa mas??” aku bingung. Situasi ini yang selalu menghantui selama beberapa hari belakangan ini. Dan aku harus bagaimana? Rintik hujan menemani di dalam diam kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Yang sibuk memutar-mutar kata untuk di ucapkan. Yang sibuk mencari alasan untuk keluar dari situasi yang tak menyenangkan tapi harus diselesaikan. “mari kita menikah” ucapnya lagi. “kita tidak bisa menikah mas. Mas tau kan…” “kita beda agama?? Lantas karna kita beda agama kita nggak bisa menikah. Gitu??” dia terbawa emosi. Aku menganggukkan kepalaku. Setuju dengan statement yang keluar lancar dari mulutnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya saat ini. Aku mencoba untuk tenang tidak terbawa emosi sesaat yang mampu menyialkan. Kekhawatiranku selama ini terjadi juga, aku takut terluka meskipun dari awal aku sudah tau kami sama-sama terluka. Dan kami sendiri yang membuat luka itu semakin dalam tertancap di hati kami. Dan ini bukan situasi yang harus menyalahkan masalalu. Kenapa kami bertemu, Kenapa kami harus jatuh cinta dan kenapa kami harus mengalami hal ini. “kalau kamu masuk muslim gimana? atau mas yang masuk katolik”
BLEEEEEDDDDDAAAARRRR….!!! Suara petir begitu lantang ketika dia mengucapkan kata-kata yang sama sekali tak ingin kudengar ataupun yang tak ingin terucap dari mulutku. Aku menatap manik matanya. Ada kesedihan di dalamnya. Bukan hanya padanya, aku juga. Ada tangis yang sedari tadi kutahan. Dan sekarang aku mengerti kenapa langit menangis begitu syahdunya. “pilih yang mana maumu. mas akan turuti.” Ucapnya “aku nggak akan memilih mas. Cukup. Harusnya dari dulu kita berhenti. Aku nggak mungkin meninggalkan keyakinanku demi kamu mas. Kita akhiri di sini. Dan jangan membuat luka itu semakin dalam” aku menghapus air mataku. Dan menenangkan diriku. “okkeh. Kalau begitu mas yang memilih. Kita menikah di altar.” “MASSS!!!” “mau kamu sekarang apa? Disuruh memilih nggak mau. Mas yang memilih kamu yang marah. Jadi harus bagaimana??” suaranya meninggi. “nggak akan pernah ada pernikahan di antara kita” aku tak mau kalah aku juga meninggikan suaraku. “nggak ada. Bagaimanapun itu nggak akan pernah ada. Kita berbeda mas. Kita bersama bukan untuk bersatu mas. Dan jangan pernah bermimpi untuk menikahi ku. Buang semua itu. Karna aku pun tak pernah bermimpi untuk menikah denganmu mas.” Mungkin ini kalimat pertama yang terpanjang yang pernah kuucapkan. “maksudmu? Jadi selama ini?” “mas nggak ngerti..” “kamu yang tidak mengerti esther..!!!” “aku terlahir sebagai seorang katolik mas, sampai matipun nanti aku tetap seorang katolik. Paham??” “aku tidak memintamu keluar dari agamamu esther. Kamu yang nggak mengerti disini.” “jadi? Maksud mas sekarang, mas yang keluar dari agama mas dan masuk keagamaku? Gitu. Yak..!! Muhammad Abrar Arsenio…” Aku mengusap wajahku dengan telapak tanganku dan untuk pertama kalinya juga buatku menyebut namanya tanpa ada embel-embel mas. “mas…mas begitu lahir, begitu mas hadir didunia ini mas mendengar kumandang azan, jadi sampai matipun, sampai mas mau pergi dari dunia ini mas juga harus mendengar kumandang azan. Bagaimana bisa aku mempercayakan hatiku, kalau keyakinanmu saja tak bisa kau pertahankan mas. Aku mencintai Tuhanku sama seperti aku mencintaimu mas. Dan tentunya aku lebih mencintai DIA. Dan aku nggak akan pernah meninggalkan Dia mas. Demi apapun itu mas. Seharusnya mas juga seperti itu.”
5 purnama sudah berlalu, banyak senja yang kuhabiskan dengan tangisku. Banyak malam yang kulewati dengan kerinduan. Sabtu besok dia kan menikah, dia tak mengizinkanku melihatnya bersanding dengan wanita lain namun dia mengirimkanku 60 tangkai mawar merah, 1825 lipatan-lipatan kertas berbentuk bangau dan 43.800 lipatan-lipatan kertas berbentuk bintang, dan sepucuk surat yang mampu mengurangi rasa rindu ini
Dear esther… berapa senja yang telah terlewati? masihkah kau tersenyum disetiap senja itu? jangan menangis lagi. Karena tanganku tak mampu lagi menghapus air matamu. salahkah jika aku mengatakan aku merindukanmu? Sungguh aku merindukanmu. kau tau, 60 tangkai mawar itu melambang jumlah bulan yang telah kita lalui bersama 1845 bangau kecil itu hitungan hari dan senja yang kita lewati bersama juga. Dan 43.800 bintang itu adalah banyaknya jam yang kita habiskan dalam cinta. jatuh cinta lah lagi, Karena obat terbaik dari patah hati adalah jatuh cinta lagi. dan hiduplah bahagia, simpan aku sebagai kenangan indah yang tak pernah berakhir indah. temukan seseorang itu, yang akan membawamu kedepan altar. kamu benar, tetaplah mencintai DIA demi aku. Jangan berubah dan jangan berpaling. Muhammad Abrar Arsenio yang mencintaimu..
Selesai misa gereja, aku masih duduk di dalam dan memandang altar yang pernah menjadi latar belakang aku foto sama mas Abrar. Yang sampai sekarang menjadi wallpaper handphoneku. Tidak banyak yang berubah, hatikupun masih sama. Karena jatuh cinta nggak segampang patah hati. Dan patah hati tak seindah jatuh cinta tentunya. Rumit.
“esther..” aku menoleh ke arah suara yang memanggilku. “maaf.” Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. “saya Daniel Geovani” Aku membalas uluran tangannya. Dan membalas senyuman yang diberikannya. “Ethser Fariishta” Tuhan, debaran jantungku kali ini semoga Kau Setujui. Semoga dia yang nantinya menungguku di depan altar sana. Semoga dia yang orang yang tetap mengizinkanku untuk selalu mencintai MU.
Cerpen Karangan: Sarah Sinaga penikmat rindu dikala fajar datang dan senja menghampiri