Aku Jaqueline Haufmann. Tahun ini, aku terdiagnosa menderita Skoliosis. Skoliosis adalah pembengkokan tulang belakang yang bisa terjadi karena faktor genetik, otot yang lemah, dan kesalahan posisi duduk. Penyakit ini juga menimbulkan berbagai macam akibat, seperti mudah lelah, ketidakseimbangan perkembangan paru-paru dan jantung, sesak nafas, dan kematian. Mengerikan sekali. Penyakit ini bahkan hampir tidak bisa disembuhkan. Tetapi, masih ada dua cara untuk mengurangi kebengkokannya, yaitu dengan memakai penyangga punggung dan operasi. Karena kebengkokan tulangku telah mencapai 80 derajat, dokter spesialis tulang yang menanganiku (dokter Carlos Tan), menyarankan untuk melakukan operasi secepatnya.
Air mataku pun berlinangan. “Mengapa tidak dengan memakai penyangga punggung saja?” Tanyaku pada dokter Carlos. Dengan lembut dokter Carlos menjawab, “Nona Jaqueline, saya tahu operasi memang berat, jauh lebih berat daripada memakai penyangga punggung. Tetapi derajat kebengkokan Anda sudah sangat besar. Usia Anda juga sudah mencapai 19 tahun. Di usia seperti ini, pertumbuhan tulang sudah sangat matang dan tidak bisa diluruskan dengan mudah. Jadi, penyangga punggung sudah tidak mungkin bisa membantu.” “Lalu apa operasi sangat membantu?” Tanyaku lagi. Yang mengejutkan, dokter Carlos menjawab, “nona Jaqueline, takdir hanya ada di tangan Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana operasi Anda nanti. Hanya Ada dua kemungkinan, sembuh atau lumpuh.” Jawaban itu sudah cukup menyakiti hatiku. Kata-katanya menenggelamkanku ke dalam jurang Keputus asaan Dan menghancurkan sejuta harapan. Ingin sekali kujatuhkan lebih banyak air mata, tapi aku tahu, air mata tak pernah menyelesaikan masalah. Dan di situ juga ada ibuku (Evelyn Haufmann) dan ayahku (Gunter Haufmann). Aku harus terlihat kuat di depan mereka, karena hanya kekuatanku Yang bisa menguatkan mereka dalam situasi apapun.
Kemudian ibuku memelukku sangat erat Dan memintaku untuk mengikuti saran dokter Carlos. Ibuku sudah siap menanggung semuanya. Apabila kelumpuhan terjadi, ibuku siap merawatku dengan segenap hatinya. Tentu saja aku tidak setuju. Aku tidak ingin menyusahkan siapa pun. Aku lebih baik mati daripada hidup dan menjadi beban. Sambil menahan tangis kukatakan, “dokter, ibu, ayah, Jaqueline sebenarnya masih sangat sedih mendengar kondisi tulang belakang Jaqueline Yang sudah terlanjur parah. Jaqueline bahkan merasa sangat terpukul dan putus asa. Harapan hidup Jaqueline juga telah rusak. Jaqueline lelah, tapi Jaqueline tahu Jaqueline harus kuat. Begini saja, Jaqueline dengan hormat meminta izin dari kalian semua. Izinkan Jaqueline untuk memakai penyangga punggung Dan menjalankan terapi. Kita memang tidak tahu bagaimana hasil dari terapi itu, tapi tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu bisa membantu. Untuk biayanya, ibu dan ayah bisa jual piano dan biola milik Jaqueline.” Dokter Carlos Mengizinkanku untuk memakai penyangga punggung dan menjalani terapi. Sedangkan ayah dan ibuku, mereka sangat marah mendengarnya. Mereka setuju dengan jalan alternatif yang akan kucoba, tetapi mereka tidak mengizinkanku menjual piano dan biolaku. Katanya, bakatku dalam bidang musik harus tetap dikembangkan. Sedangkan biaya bisa diurus ayah dan ibu.
Sudah satu minggu terapi kujalani. Dan sudah satu minggu pula penyangga punggung kupakai. Tapi aku belum juga memberitahu Nathan Cornelius tentang keadaan tulang belakangku. Nathan adalah pacar sekaligus motivatorku. Hubungan kami sudah berjalan sejak usia kami 15 tahun. Selama ini, Nathan tidak pernah egois. Dia selalu bertanggung jawab dan menunjukkan kedewasaan. Dia selalu menjadi penyemangat di saat aku rapuh. Dan dia juga menjadi air saat api amarahku membara. Selama ini, hubungan kami diwarnai dengan cinta, kasih sayang, dan keterbukaan. Kami berbagi suka dan duka serta tangis dan tawa. Tapi tetap saja aku takut. Aku takut Nathan tidak mau menerimaku setelah kuberitahu. Bagaimana ini?
Setelah menghabiskan beberapa hari untuk berfikir, kuputuskan untuk menceritakan semuanya. Kuajak Nathan ke tempat dimana kami biasa membagi suka dan duka. “Sejak kapan Jaqueline Haufmann bisa pucat begini? Aku tidak pernah melihatmu seperti ini, bahkan di saat kau sedih. Ada apa, sayang?” Tanya Nathan. Aku langsung memeluk Nathan dan menangis.
Beberapa saat kemudian, kucoba untuk bicara. “Nathan… sayang, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi… aku tidak cukup kuat untuk mengatakannya.” “Jaqueline, sayangku, kebanggaanku. Bahkan kau menangis sekarang. Aku tidak pernah ingin melihat wajah cantikmu berubah menjadi pucat dan mata indahmu meneteskan air mata. Sayang… kau bilang kau tidak cukup kuat untuk mengatakannya. Apakah hal itu sangat menyayat hatimu?” Aku semakin tidak kuat menahan tangisku. Aku langsung berteriak sekencang-kencangnya setelah mendengar pertanyaan Nathan. Kemudian dia ambilkan segelas air hangat dan memintaku untuk meminumnya. “Minum Jaqueline sayang, minum. Aku yakin kau akan merasa lebih tenang setelah meminumnya.” Kata Nathan seraya meletakkan segelas air hangat.
Ternyata perkataan Nathan benar. Aku menjadi lebih tenang setelah meminumnya. Aku mulai menceritakan keadaanku. Tak lupa, kujelaskan apa itu Skoliosis beserta penyebab dan akibatnya. Kuceritakan pula tentang terapi yang sedang kujalani Dan penyangga punggung yang sedang kupakai.
Setelah mengetahui keadaanku yang seperti ini, dia tidak terlihat kecewa, sedih, dan muak. Dia bahkan masih membalas pelukanku dengan hangat. Tatapan matanya juga masih manis dan penuh kasih. “Kau… kau masih mau membina hubungan ini?” Tanyaku seraya memegang tangan Nathan. “Tentu saja, sayang… tidak ada yang boleh memisahkan kita. Kita sudah membina hubungan ini selama empat tahun. Selama empat tahun ini, pernahkah aku meninggalkanmu dalam duka? Pernahkah aku menertawakanmu saat kau tenggelam dalam jurang keputus asaan? Tolong Jaqueline… tolong jawab aku, sayang…” Kata Natan sambil menggenggam tanganku sangat erat. “Kau tidak pernah meninggalkanku dalam suka dan duka. Kau selalu menemaniku. Kau selalu menguatkanku.” Jawabku dengan suara yang lemah lembut.” kemudian Nathan tersenyum dan berkata, “Jaqueline, aku tidak hanya mencintai kecantikanmu. Aku juga mencintai hatimu. Rasa cintaku terlalu besar sehingga tak dapat digambarkan oleh apapun. Kalau ada cinta suci, harus dilengkapi dengan tanggung jawab dan kesetiaan. Aku akan tetap berada di sampingmu.” Aku merasa sangat tersentuh. Semangat hidupku semakin bertambah. Dan sekali lagi, Nathan menguatkankku. “Baiklah.” Kataku seraya tersenyum lebar.
Sejak saat itu, Nathan lebih sering meluangkan waktunya untukku. Dia memilih untuk mendampingiku dimana pun aku berada, termasuk di tempat aku menjalani terapi. Dengan sabar, dia menungguku sampai terapi selesai. Tak hanya itu, dia juga lebih sering mengajakku ke tempat-tempat yang sangat bagus untuk bercinta. Rasanya, hubungan kami menjadi semakin erat karena adanya cobaan ini.
Sudah enam bulan berlalu. Kini, saatnya aku menjalani berbagai pemeriksaan guna mengetahui perkembangan tulang belakangku. Tetapi, hari ini adalah hari Valentine. Sangat tidak mungkin untuk membuang kesempatan emas yang ada. Lebih baik bercinta dulu hari ini. Pemeriksaan bisa di lain waktu. Sayangnya, Nathan tidak setuju denganku. “Kau lebih memilih merayakan hari ini? Apa kau yakin?” Tanya Nathan padaku. “Iya, sayang… tolong jangan takut begitu! Masih ada hari esok, sayang…” Jawabku. Sebenarnya tidak apa-apa kalau hari ini tidak dirayakan, tapi aku sangat ingin menyenangkan hati Nathan. Dia sudah banyak mengorbankan waktu luangnya untukku. Aku hanya ingin membalas cintanya.
Lalu tiba-tiba dia bertanya dengan rasa penasaran yang besar. “Jaqueline cantik, apa tujuanmu merayakan hari ini? Mengapa kau memilih mengesampingkan kepentinganmu? Apa ada alasan yang mendasari keinginanmu hari ini?” Singkat saja ku jawab, “Aku ingin membalas cinta tulusmu.” “Cinta yang tulus tidak pernah mengharapkan balasan apapun.” Kata Nathan. “Mengapa begitu?” Tanyaku. Belum sempat Nathan menjawab, cepat-cepat kusambung lagi kalimatku. “Nathan sayang, kau sudah banyak membahagiakanku. Hari ini, izinkan aku membahagiakanmu juga.” Dan aku kembali dibuat tersentuh olehnya. Dia menjawab, “Selalu bersyukurlah pada Tuhan karena telah mempererat hubungan kita hingga saat ini. Itu sudah cukup untuk membuatku bahagia.” Aku sangat terharu mendengarnya. Usia Nathan memang masih muda, sama seperti usiaku. Tapi pola pikirnya jauh lebih dewasa daripada pola pikirku. Aku sangat bangga padanya.
Pemeriksaan akhirnya dilakukan juga. Sayang, hasilnya benar-benar buruk. Setelah menunggu beberapa saat, dokter Carlos memberitahuku bahwa derajat kebengkokan tulangku bertambah 5 derajat. Kali ini aku tidak menangis. Aku juga tidak berusaha menguatkan diriku. Aku hanya diam, seolah tidak mendengar perkataan dokter Carlos. Sampai kemudian dokter Carlos bertanya, “Nona Jaqueline, mengapa hanya diam saja?” Dengan sedikit emosi ku katakan, “Jaqueline lelah, sampai rasanya tak mampu tuk menangis lagi. Sekarang Jaqueline sudah pasrah. Biar Tuhan yang putuskan, apakah Jaqueline lumpuh, hidup normal, atau mati.” Nathan langsung berkata, “Cukup Jaqueline!!! Tolong tabahkan dirimu, sayang… Kau pasti akan hidup normal. Cobalah berfikir positif, sayang…” “Sekarang, Jaqueline akan beritahu ayah dan ibu bahwa Jaqueline telah siap nenjalani operasi. Untuk waktunya, nanti biar ayah atau ibu yang beritahu dokter. Dan kau Nathan, sebaiknya kita akhiri cinta kita sampai di sini. Segeralah kau tinggalkan aku! Dengar Nathan, di luar sana masih banyak yang lebih pantas untukmu. Sekarang kau pergi, dan lanjutkan hidupmu. Sekali lagi, pergi dan lanjutkan hidupmu!!!” Tanpa pikir panjang aku langsung pergi meninggalkan dokter Carlos dan Nathan.
Hari itu akhirnya berlalu. Memang, sejak hari itu Nathan tidak pernah menghubungi ataupun menemuiku lagi. Tapi aku tak peduli. Aku lebih fokus pada operasi yang sebentar lagi kujalani. “Jaqueline, apa ada yang ingin kau sampaikan, nak?” Tanya ibuku. Dengan berlinangan air mata ku katakan, “Sebelum menghadap dokter Carlos dan memulai operasi, Jaqueline ingin minta maaf pada ayah dan ibu atas segala kesalahan yang pernah Jaqueline buat, dan… terima kasih telah mendidik Jaqueline hingga mencapai usia 19 tahun. Jaqueline sayang ayah dan ibu” Kemudian kucium tangan ayah dan ibuku. “Hati-hati ya, nak. Kami juga sangat menyayangimu.” Kata ayahku. “Baiklah…” Jawabku singkat.
Aku langsung berlari ke arah ruangan dokter Carlos. Ternyata, pintunya terbuka. “Dokter…” Sapaku dengan wajah riang. “Wah… selamat siang, nona Jaqueline, apa ada yang membuat Anda senang hari ini?” Tanya dokter Carlos. “Wajar saja kalau dokter heran… Hmmm, beberapa hari yang lalu Jaqueline sudah katakan, Jaqueline lelah, sampai rasanya tak mampu tuk menangis lagi.” Jawabku. “Jadi ini kebahagiaan yang dipaksakan? Tanya dokter Carlos lagi.” Dengan singkat ku jawab, “Tentu saja.” Entah apa yang di pikirkan dokter Carlos. Tiba-tiba ia menanyakan bagaimana hubunganku dengan Nathan. “Dokter, Nathan memang sudah seharusnya meninggalkan Jaqueline. Jaqueline tahu betapa besar cinta tulusnya, tapi dia harus tetap memberikan cintanya pada wanita yang lebih baik. Lagi pula, Jaqueline tidak mau ada kisah cinta dalam derita. Biar Jaqueline yang merasakan semuanya sendiri, sedangkan Nathan… dia bisa kepakkan sayapnya dan terbang bebas. Jaqueline percaya, suatu hari nanti dia pasti akan jauh lebih bahagia di luar sana. Sudahlah, mulai saja operasinya, dokter…” Kataku seraya membaringkan badan di atas tempat tidur yang telah disediakan. Operasi akhirnya dimulai. Selama operasi berlangsung, aku diberi obat bius sehingga aku tidak merasakan sakit.
Entah sudah berapa lama aku terbaring di dalam ruangan ini. Tiba-tiba saja dokter Carlos memanggilku. “Nona Jaqueline… operasi sudah selesai.” Aku pun memperhatikan diriku sendiri. “Dokter, apa Jaqueline tidak sedang bermimpi? Jaqueline masih hidup?” Tanyaku. “Anda tidak sedang bermimpi. Anda masih hidup dan operasinya berjalan dengan sangat lancar. Anda bisa coba bangun sekarang kalau mau.” Jawab dokter Carlos. “Baiklah, akan Jaqueline coba.” Kataku seraya mencoba untuk duduk. Dan ternyata benar, operasinya memang berjalan sangat lancar. Dan hasilnya pun sangat memuaskan. Aku tetap hidup, tapi tidak menjadi beban. Ternyata, aku masih bisa berdiri di atas kedua kakiku sendiri. Seluruh tubuh ini juga masih mampu bergerak. Aku sangat bersyukur.
Dan derita itu telah berakhir. Rasa rinduku terhadap Nathan mulai datang. Aku mulai rapuh, merasa bersalah, dan menyesali perbuatanku saat itu. Aku mulai memandangi foto kami berdua. Terus dan terus kupandang. Kuingat kembali kenangan manis dan pahit yang ada. Setelah lama mengenang, ayah dan ibuku memanggilku untuk menghadap. Tampaknya ada masalah serius.
“Ada apa, ayah, ibu? Apa ada masalah?” Tanyaku pada mereka. Ayahku hanya menatapku dengan tatapan kebencian. Dan ibuku menjawab, “Jaquline, kau telah membuat kami malu. Kau satu-satunya putri kami. Sejak kecil, kau selalu kesepian karena tidak mempunyai kakak ataupun adik. Tidak hanya itu, di sekolah kau juga tidak pernah mempunyai teman. Empat tahun terakhir inilah untuk pertama kalinya ayah dan ibu merasa tenang, karena kau punya Nathan. Usianya memang sama denganmu, tapi dia sangat sangat bertanggung jawab. Dia selalu menjaga dan menemanimu dalam keadaan apapun. Dia juga sangat sangat menyayangimu. Tapi apa balasanmu?? Jawab, Jaqueline!!!” Seketika aku menangis. “Ayah, ibu, Jaqueline hanya memintanya untuk pergi dari hidup Jaqueline. Jaqueline tidak melakukan kejahatan apapun.” “Diam!!!!” Seru ayahku seraya memukul keras meja yang ada di hadapannya. Aku pun menangis sejadi-jadinya. Aku semakin menyesali perbuatanku.
“Jaqueline, tahukah kau, cinta yang dulu membawa Nathan padamu, dan sekarang cinta itu juga yang membawa Nathan meninggalkan dunia.” Kata ibuku. Aku sangat kecewa mendengarnya. Ternyata, Nathan bukan hanya pergi dari hidupku, tapi juga pergi dari dunia ini. Dia tak akan pernah kembali. Tangisku menjadi semakin tak tertahankan. Rasa bersalahku menjadi semakin besar. “Ini semua karena kau, Jaqueline! Kata-katamu sangat menyayat hatinya. Dia mengakhiri hidupnya sendiri.” kata ibuku lagi. Air mataku semakin mengalir deras.
Sekarang tidak ada lagi cinta yang membuat hatiku Berbunga bunga. Tidak ada lagi motivator. Tidak ada lagi teman yang sangat mengenal diriku. “Ayah, ibu, maafkan Jaqueline…” Kataku seraya mencium tangan ayah dan ibu. Kemudian, ayah memberikan sepucuk surat padaku. “Kau harus baca ini. Ini surat yang dititipkan Nathan pada ayah sebelum dia mengakhiri hidupnya.” Kata ayahku. “Baiklah, sekarang Jaqueline akan kembali ke kamar dan membaca surat ini.”
Sampailah aku di kamarku Dan surat itu mulai ku baca. “Jaqueline, sepertinya penjelasanku tentang cinta Suci tak ada artinya lagi. Kau tak tahu betapa siapnya diriku tuk menjaga cinta kita. Dengan mudahnya, kau minta diriku untuk pergi dari hidupmu. Hanya karena cobaan itu. Cobaan itu seharusnya kita hadapi bersama. Aku harusnya tetap ada di sampingmu. Tapi kau tidak membiarkan diriku untuk menemanimu. Kau malah menyuruhku pergi dari hidupmu. Ketahuilah, hidup tanpa dirimu merupakan sebuah penyiksaan. Tapi sudahlah, aku tetap akan pergi. Tidak hanya pergi dari hidupmu, tapi juga pergi meninggalkan dunia ini. Sesegera mungkin akan kuakhir hidupku sendiri. Selamat tinggal, Jaqueline. Teman hatimumu dalam suka dan duka, Nathan.” Tangisku semakin tak tertahankan setelah membaca surat itu. Sekarang, Penyesalan menyelimuti seluruh hatiku. Hatiku menjadi hancur berkeping-keping.
Inilah akhir dari kisah cintaku. Sekarang, akulah yang akan hidup dalam Penyesalan sampai nanti ajal menjemputku.
Cerpen Karangan: Dhawy Febrianti Blog: princessdhawyisbeautiful.blogspot.com Seorang remaja tunanetra yang suka menulis, bernyanyi, dan foto”. Instagram : @dhawyfebrianti