“Lihatlah dia, lemah banget jadi orang!” “Hahahaha, dasar culun!” “Hey gimana kalau kita hancurkan badannya?” “Kayaknya asik juga, ayo!”
Tubuh mungil ku diseret… Lalu dilempar ke dinding…. Rambutku ditarik kuat, badanku tak bisa berbuat apa-apa lagi… Badanku tak berhenti menerima banyak rasa sakit dari dunia ini… Mataku lelah, terlalu banyak menangis hingga tak mengeluarkan air mata lagi… Tenggorokanku sudah kering bak tandus yang tak pernah turun hujan…
‘AKH!’ Kepalaku dihantam ke dinding… Sekali… Dua kali… Tiga kali… Tak pernah selesai…
Tak hanya kepala, rasanya mukaku juga akan hancur karena dihantam Pandangan mulai gelap… Terus gelap… Dan tak pernah melihat cahaya lagi… ‘Apa ini terakhir kalinya ku melihat dunia?’
“AH!” Badanku terkejut seperti terkena sengatan listrik, kepalaku terasa sedikit pusing, udara AC menusuk kulit-kulitku dan terasa sangat dingin. “Oh, itu hanya mimpi, ah tragedi masa lalu.”
Aku meregangkan badanku, meraba udara sampai akhirnya aku memegang tongkatku. Lalu berjalan menuju jendela kamar, aku membuka jendela itu. Ah, bahkan aku tak tau apakah ini waktu pagi atau malam? Tapi aku bisa merasakan panas sinar matahari, ini pasti waktu pagi.
Aku meraba jam dinding tanpa kaca, tak seperti jam dinding lainnya yang dilindungi oleh kaca, ku menebak dimana arah jarum jam sekarang… Pukul 06.30
Aku pun melakukan aktivitas pagiku seperti biasa dengan hati-hati, ku tak pernah melihat bagaimana aku melakukan aktivitas pagi, siang, sore, dan malam, tinggal di apartemen sendirian yang sedikit sunyi, cukup kesepian. Yah setidaknya sementara telingaku beristirahat untuk tak mendengar suara berisik kota dan manusia di luar sana.
Hari-hari biasa di tengah kota, suara mobil, kereta, dan riuhnya suara manusia di luar membuat telinga geli mendengarnya. Aku tau suasana di sekelilingku saat di luar sangat ramai dan padat, tapi yang kulihat, hanyalah kosong. Bahkan rasa bosan ini juga membuat hatiku kosong, seperti yang kulihat biasanya.
Sekarang hari terakhir aku menikmati rasa bosan dan suara berisik di kota, malam nanti aku akan pindah ke kota lainnya untuk menetap di rumah temanku. Sebenarnya aku punya teman disini tapi aku sedikit tak enak untuk tinggal di rumahnya karena dia sangat sibuk dengan pekerjaannya, aku tak ingin merepotkannya.
Aku sedikit membenci dunia ini, mungkin. Aku memang tak pernah melihatnya lagi, seperti apa bentuk dunia dan isinya, tapi di hari terakhirku melihat dunia, isi dunia ini sangat kejam, walaupun indah, tapi tetap saja membuat aku takut membuka pandanganku jika aku tak buta seperti ini. Dunia, manusia, dan lainnya, itu sangat mengerikan. Suara tertawa terbahak-bahak, mengejek, mengolok, menghina, bullying, fitnahan, kebohongan, dan suara kebencian yang tak cocok untuk meramaikan suasana dunia ini justru sering terdengar di telinga manusia.
Aku tau rasanya bosan hanya melihat kegelapan yang kosong tanpa cahaya ini, tapi mendengar suara-suara kebencian yang ada di dunia saja rasanya sangat mengganggu, apalagi membuka mataku untuk melihat semuanya.
Aku beranjak dari kursi, memakai jaket dan sepatu, karena ini hari terakhir jadi tak ada salahnya menikmati suara kebisingan kota Tokyo yang mungkin tak akan pernah terdengar lagi di telingaku.
Aku keluar dari apartemen, lalu berjalan di tengah orang ramai yang tak pernah lagi kulihat, berjalan dengan hati-hati agar tak menabrak orang-orang. Sedih juga tak bisa melihat betapa luas dan padatnya dunia ini, tapi aku cuman bisa merasakannya, menggambarkannya di pikiranku, dan itu sudah cukup bagiku.
Kubuka pintu Cafe langgananku, Cafe ini sebenarnya tak terlalu dikenal orang, karena itu tak banyak pelanggan yang datang ke sini, tapi suasana sepinya membuatku merasa tenang, walaupun masih bisa mendengar suara berisik, hanya sedikit. Aku pergi ke rooftop dan duduk di salah satu tempat duduk yang ada di sana, sepertinya hanya aku saja yang ada di balkon, karena yang kudengar hanyalah sayup suara bising di jalanan.
Ku mendengar suara langkah kaki seseorang dan gesekan gelas kaca, ah pesananku sudah datang. Lalu ku menikmati angin sepoi yang terkadang menerbangkan helaian rambutku, ah mungkin aku akan merindukan suasana ini nantinya.
Tiba-tiba ku merasakan getaran lantai lagi, apa ada orang lain yang ke rooftoop? Mungkin pelayan? Tentu saja bukan, baru beberapa menit tadi ada pelayan datang memberikan kopi pesananku, apa mungkin pelanggan lain?
“ehm, permisi?” Kepalaku mengarahkan ke sumber suara, suara itu terdengar seperti suara lelaki, tapi terdengar asing, siapa dia? “Apa kau menjatuhkan dompet ini di jalanan? Tadi aku melihat ini jatuh dari tasmu dan mungkin ini punyamu.” Kuambil dan meraba tas tersebut, ya ampun ini beneran dompetku, bisa-bisanya ku menjatuhkan barang penting ini, kalau tak ada dompet ini bagaimana caranya ia membayar pesanannya itu? Semua uangku ada di dalam dompet itu.
“Ya, ini dompetku, terima kasih udah mengembalikannya,” Kataku sambil tersenyum. “Ahaha, yah gapapa, lain kali dijaga dompetnya. Boleh aku duduk di sampingmu? Disini cuman ada kita berdua.” “Yah terserah.”
Suasana hening sebentar lalu lelaki itu membuka suara. “Ngomong-ngomong, aku juga sering nongkrong di cafee ini dan juga sering melihatmu duduk di roftoop, tapi semalam kamu tak ada, apa kamu sibuk?” Aku sedikit terheran dengan pernyataannya, ku tak menduga dia sering melihatku disini, rupanya aku sudah sering bertemu dengannya, aku tak sadar itu, lagipula aku tak bisa melihatnya bukan?
“Semalam aku membereskan barang-barangku, malam ini aku akan pindah ke kota lain.” “Oh ya? Malam ini aku juga harus ke kota lain karena ada urusan, ke kota mana kamu akan pindah?” “Osaka.” “Beneran? Tujuan kota kita sama!” Aku sedikit terkejut, “eh beneran? Wah kebetulan sekali, jadwal pesawatmu?” “Pesawat xxxx jam 10.00 malam.” Aku makin terkejut, pasalnya kita berada di pesawat yang sama dan jadwal yang sama?!
“Aku tak menyangka ini akan terjadi, apa ini sebuah takdir?” “Entahlah, ah ngomong-ngomong kamu ini tunanetra ya?” “Seperti keadaan yang kamu lihat sekarang.” “Apa itu benar?” “Iya”
Sedikit aneh, sudah jelas keadaanku seperti ini tapi dia masih menanyakan itu dan memastikannya, basa-basi macam apa itu? Ya sudahlah itu bukan hal yang penting, toh manusia punya cara basa-basinya sendiri.
“Hey! Apa yang kalian lakukan?” Aku dan lelaki di sampingku menoleh ke sumber suara, aku sudah tau suara cempreng ini, dia temanku dengan pekerjaannya yang sangat banyak itu, bisa-bisanya dia meninggalkan pekerjaannya sebentar untuk bertemu di cafe dan ingin membagi cerita denganku secara langsung untuk terakhir kalinya.
“Siapa cowok itu?” Tanyanya. “Ah dia temanku, baru kenalan sih.” “Oh ya, aku pergi dulu yah, ku tak ingin mengganggu percakapan kalian, oh ya ngomong-ngomong bolehkah aku meminta nomor teleponmu?” kata lelaki itu, aku tak tau dia meminta nomor telepon ke siapa, apakah dia ingin minta nomor teleponku? Aku pun bertanya, “ingin meminta nomor telepon siapa?” “Temanmu, apakah boleh?” Kukira diriku yang dimintai nomor telepon, ah kenapa aku jadi kepedean gini?
“Tentu saja, tapi untuk apa?” kini temanku yang bertanya. “Aku ingin bertanya-tanya padamu, ini mungkin cukup penting karena salah satu orang terdekatmu sudah menarik perhatian ku”
Hah? Alasan apa itu? Aku sedikit bingung dengan susunan kalimatnya? Apa dia sedang jatuh cinta sama seseorang? Tapi kenapa minta nomor telepon temanku kalau orang yang menarik perhatiannya itu bukan temanku? Ah berbagai pertanyaan anehku mulai berdatangan dan menumpuk di kepala, menunggu jawaban, tapi ini terlalu banyak, kuharap semua itu bisa dijawab dengan satu jawaban saja.
“Hhmm, oke akan kukasih tau.” Temanku mulai memberi tau nomor teleponnya, lalu lelaki itu berterima kasih dan beranjak pergi dari rooftop, setelah itu aku berbincang sebentar dengan temanku. Disaat menikmatinya aku berpikir mungkin aku akan merindukan suasana ini, mengobrol dengan teman yang sedikit membantu kehidupan sulitku ini, yang mengetahui semua masalahku, semuanya. Dan nanti aku akan pergi dari kota Tokyo dan semua berubah, yah tak terlalu berpengaruh untuk kehidupanku yang dari dulu berteman dengan kegelapan, tapi apa salahnya kita menggambar beberapa cahaya bintang kecil di kegelapan itu? Pasti sangat indah kan?
Jam 09.00 pm Aku sudah berada di depan bandara, ku bisa merasakan suasananya yang tak terlalu ramai karena sebentar lagi sudah larut malam, aku mengangkat koper dan tas yang diletakkan di penyimpanan belakang mobil, dibantu dengan temanku, dia juga yang mengantarkanku kesini.
“Aku pamit pergi dulu ya.” Ah, sejujurnya hatiku sedikit berat mengatakan itu. “Hati-hati ya disana, kalau udah sampai kabarin lho ya, aku usahain kapan-kapan ke tempat kamu.” Aku hanya tersenyum mendengarnya, padahal kita masih bisa chat, telepon, dan video call tapi mungkin memang tak sama dengan bertemu langsung, yah akan kutunggu momen itu.
“Hai!” Suara yang ada di belakang ku yang sedikit tak asing, ku menoleh ke belakang… “Ehm kamu yang di cafe tadi siang?” “Iya” Oh aku lupa, aku dan dia akan di pesawat dan jadwal yang sama malam ini, mungkin dia sengaja menghampiriku untuk berangkat bersama.
“Kita berangkat bareng yah, boleh?” “Ya, tentu saja.” “Yaudah, aku pulang dulu yah, semoga sampai dengan selamat.” “Iya, kamu juga hati-hati yah, jangan terlalu sering begadang karena pekerjaan, kamu harus istirahat juga.” “Kamu juga! Kamu itu yang harus paling hati-hati, kamu tak bisa melihat lingkungan jadi kamu harus ekstra hati-hati oke? Ah jangan lupa untuk mencari pekerjaan yang mungkin bisa kamu lakukan, untuk menambah biaya sehari-hari.”
Ku hanya tersenyum mendengar nasihatnya, padahal aku sudah terbiasa melakukan semua sendiri. Dan untuk pekerjaan aku belum memilihnya, nanti akan kuputuskan di sana.
“Okelah, pesawat sebentar lagi mau berangkat, sampai jumpa.” “Sampai jumpa! Jangan lupa kabarin, semoga kapan-kapan aku bisa kesana!” “Akan kutunggu momen itu!”
Cerpen Karangan: Nazahra