Kertas selanjutnya.
’22 april 2021 Ai-chan khawatir yah sama keadaan aku di rumah sakit? Ai-chan keliatan sedih banget pas aku lagi kritis di rumah sakit, sampai jagain aku sendirian, coba saja keluargaku ada di sini, mungkin Ai-chan gak perlu repot-repot mengurusi aku.’
Yah, disaat ini lah penderitaannya mulai terlihat jelas di mataku.
Aku melihat di antara kertas-kertas bola itu, terdapat satu kertas berwarna putih, kertas berwarna putih itu hanya ada satu di toples, semuanya berwarna warna lain, aku jadi tertarik untuk mengambilnya, lalu kubuka.
‘Ai-chan, kira-kira bisa gak yah aku tepatin janji kita buat piknik lagi di tempat rahasia kita? Berbulan-bulan di rumah sakit ini rasanya kayak gak ada kebebasan sama sekali buat aku. Rasanya ingin mencabut semua alat rumah sakit yang ada di badan aku dan berlarian bebas tak peduli kematian menjemputku sekarang atau nanti
Ehm Ai-chan, kita ini ditakdirkan sebagai apa sih? Aku selalu bermimpi benang merah yang ada di jari kelingkingku tersambung ke jari kelingking kamu Disitu aku mengira takdir kita bukan sebagai sahabat Paham kan maksud aku, Ai-chan?
Kalau aku berjanji jadi belahan jiwanya Ai-chan, apakah masih bisa? Aku ga mau membuat janji disaat aku tau aku gak mampu menepati janji itu di saat ini, di dunia ini Leukimia memang cukup menyebalkan yah…
Tapi makasih yah Ai-chan udah menjaga aku, Ai-chan orangnya galak tapi baik hati, walaupun suka marahin aku, Ai-chan udah banyak membantu aku, aku sungguh berterimakasih Tolong yah, setelah ini buatlah takdir Ai-chan lebih baik dariku Aku tak mengharapkan kita akan jadi belahan jiwa, tapi aku cuman pingin bilang
Aishiteru, Ai-chan:)’
Surat terakhir, sesuai tebakanku, aku benar-benar menyesal karna tak pernah tau perasaan dia kepadaku. Hanya di surat ini, Akiyama yang biasanya aku kenal sangat berbeda, itu membuatku ingin menangis sekeras mungkin.
Aku terlalu muak dengan hawa yang semakin sesak di sini, aku membiarkan toples itu terbuka dengan kertas-kertas yang berserakan di lantai, menuruni tangga dan keluar dari rumah ini. Aku berlari dari sana disaat langit sudah berganti menjadi malam, aku tak peduli orang sekitar melihatku berlari dengan mata berair, aku benar-benar tak peduli, aku hanya ingin ke tempat aku dan kamu, di atas bukit.
Aku masih berlari kencang menaiki bukit, tak peduli berapa kali aku terpeleset karna tanah yang licin atau dedaunan yang sudah gugur di tanah. Aku malah menambah kecepatan lariku, aku ingin mengeluarkan semuanya segera, aku terlalu lemah untuk menahannya.
Disaat aku sampai pemandangannya justru terasa lebih indah, dan menyakitkan. Pohon besar itu menjelma menjadi pohon gugur, ini memang sedang musim gugur, dan tanah yang penuh dengan bunga dandelion. Aku berhenti berlari di antara mereka, menangis sekeras mungkin. Kenapa dia yang harus dibawa pergi oleh malaikat maut? Aku belum sempat menjawab kalimat ‘aku cinta kamu’nya itu.
Dan kenapa kamu tidak berjanji saja kalau kita akan jadi belahan jiwa? Aku tau kau tak hidup lama disini tapi benang itu tak kenal waktu, keadaan, dunia, bahkan takdir.
Malam, bolehkah aku berteriak disini? Aku sudah muak dengan takdir kita ini.
“Akiyama, kenapa kau tidak berjanji apapun?!” “Tolonglah, lakukan apapun dengan benang itu, aku ingin bersamamu!” “Buatlah permintaan! Buatlah sebuah janji bersamaku! Jika tak bisa ditepati disini, kita bisa menepati itu di tempat yang lain!”
Ya tuhan, aku benar-benar hancur saat ini, mataku sudah seperti air yang mengalir deras, bening tapi penuh luka.
Ku berlutut di tengah bunga-bunga- dandelion, tak peduli sekuat apapun aku menangis atau berteriak, aku tak peduli berapa volume suara yang aku hasilkan sekarang, aku benar-benar terluka.
Dulu saat aku menangis, dia selalu menyeka air mataku dan mengelus kepadaku, atau membelikan aku eskrim (dia berkata kalau eskrim akan mengubah mood seseorang, padahal aku tak biasa makan eskrim) dan, ah kenapa aku malah mengingat kenangan biasa itu yang membuatku tak ingin melepaskanmu?
Sekarang aku hanya sendirian, masih menangis keras tanpa jeda. Hanya ada dandelion, pohon dengan dedaunan gugur, dan bulan yang sedari tadi hanya melihatku. Tak ada yang bisa membuatku tenang, dandelion yang sudah siap diterpa angin langsung menerbangkan dirinya dan pergi jauh, pohon yang sedari tadi hanya menjatuhkan dedaunan gugur, dan bulan yang bersinar di atas. Itu sama sekali tak membuatku tenang.
Saat aku menyeka air mataku sendiri, aku sungguh terkejut melihat sebuah benang merah terlilit di jari kelingkingku, aku menepuk pipiku dan mencubit lenganku saat mengira itu hanyalah halusinasi. Sepertinya tak ada perubahan, aku masih menatap benang merah itu, terlihat sedikit samar tapi bercahaya, dandelion terbang ke suatu arah mengikuti ujung benang merah tersebut, aku melihat arah dandelion itu pergi dan, ah aku berhalusinansi lagi.
Dia berdiri, tidak, melayang di antara lereng itu…
Tolong sadarkan aku dari mimpi ini, aku menepuk keras pipiku, hanya rasa sakit, tak ada hal lain lagi. Aku melihatnya memakai baju berwarna putih dengan benang merah di kelingkingnya yang menyambung ke benang merah di kelingkingku. Ah kalau di cerita horror, itu adalah arwahnya. Dan pernyataan bahwa kita bukan sahabat, rupanya memang benar.
Kepalaku merasa pusing saat aku mencoba untuk berdiri setelah beberapa lama aku berlutut, kakiku merasakan kram, dan mataku agak buram karna air mata yang tak kunjung selesai.
“Kau masih belum bisa mandiri sendirian di atas sana yah, sampai kau menghampiri aku kesini.” Kalimat bodoh itu malah keluar dari mulutku.
“Ai-chan juga belum bisa berhenti menangis yah? Sampai aku harus kesini.”
Sejak kapan dia bisa berkata se-savage itu? Aku merasa malu mengucapkan kalimat itu tadi.
“Biarkan aku memelukmu, untuk terakhir kalinya.” Dia tersenyum seperti anak kecil, rupanya dia masih bisa membuat senyuman itu, aku jadi merasa lega. “Justru aku kesini biar dipeluk terakhir kalinya sama Ai-chan.”
Aku rindu dengan pelukannya, dia pun juga rindu dengan pelukan ku, rupanya tuhan masih baik kepadaku, memberi satu kesembuhan lagi walaupun itu kecil, itu sudah cukup.
Aku berlari ke lereng itu, dan kakiku langsung melompat disaat aku sampai di ujung batas tanah dan menerjangnya dengan ‘pelukan hangat yang terakhir’ untuknya. Dia memelukku sangat kuat agar aku tak jatuh di lereng yang sangat curam ini.
“Ini bukan pelukan terakhir kita, tapi ini adalah pelukan terakhir kita di dunia ini, selanjutnya Ai-chan akan selalu bisa memelukku.”
Aku sedikit bingung ditambah terkejut, apa maksudnya itu?
“Dengan benang ini, aku menyangkal takdir kita yang berakhir dengan luka, jadi aku bisa menepati janji takdir kita yang sebenarnya, sampai jumpa di dunia kedamaian, Aishiteru.”
Tubuhnya langsung berubah menjadi serpihan cahaya kecil saat diterpa angin, seperti dandelion. Aku melihat ke bawah, tubuhku sedang ditarik oleh gravitasi, aku langsung terjatuh di lereng yang sangat tinggi disaat dia mengucapkan kalimat itu.
BRUK!!
Aku kira tuhan baik dengan kita…
Nyatanya, dia jauh lebih baik. Dia sudah menyangkal takdir kehidupan yang pahit itu dengan benang merah, diakhiri dengan indah. Dan akan diawali dengan sangat indah juga di dunia selanjutnya.
Tamat.
Cerpen Karangan: Nazahra Instagram: @zahra_hq Wattpad: @Nafsi_Zahra Tema cerpen ini diambil dari sebuah mitos di Jepang yaitu ‘Benang Merah Takdir’ silahkan cari di google tentang mitos ini