September dimana kemarau sedang terasa begitu dingin, dibawah matahari yang bersinar remang di pagi hari, aku berdiri diatas jembatan yang menghubungkan dua kota, terdiam merenung melihat bayanganmu yang sedikit demi sedikit memudar jauh di ujung jembatan kota sebelah.
Kenangan kita, sedikit demi sedikit mulai terhapus dari memoriku yang sudah mulai ketinggalan jaman ini, aku tau kau pergi dan tak akan pernah kembali, tapi aku akan terus menantimu disini, agar secuil kenangan kita tak hilang terhapus oleh perkembangan zaman. Agar kenangan kita dapat terus hidup dan dikenang oleh dunia.
Mataku tertuju pada germbolan pesut yang menari-nari menyeberangi jembatan ini. Seseorang datang menepuk pundakku dan berkata “tenanglah, semua akan baik baik saja seiring dengan berjalanya waktu”. Dia adalah orang yang menolongmu ketika kau pergi meninggalkanku diakhir bulan itu. Aku kembali tertuju pada tarian para pesut, berharap kau muncul diantara mereka bersenandung untuk dapat bersama menghabiskan waktu lagi.
Mungkin karna aku tak peduli, mungkin kau tak menemukan aku sebagai wadah yang tepat untuk segala keluh kesahmu. Jembatan ini adalah saksi pertemuan dan perpisahan kita, pertemuan dan perpisahanmu dengan dunia.
Jembatan ini adalah saksi atas kerakusan seorang manusia yang menyimpan pengkhianatan atas komitmen pada kota dibalik puggungnya dan jembatan yang dipijaknya. Jembatan ini menjadi penyambung dua raga dari dua kota yang berbeda, kotamu yang bersih, jujur dan indah, sedangkan aku berada ditempat yang penuh rasa acuh serta pengkhianatan untuk menduakan rasa cinta, sehingga menghancurkan komitmen kita.
Aku duduk di bangku yang ada ditengah jembatan, tempatmu biasanya menghabiskan waktu untuk membuatku tersenyum, menghapus segala keluh kesah di kota kita, mencerahkan hari yang mendung. Aku yang tak tahu dan tak peduli, hanya bisa tertawa bahagia berharap bahwa saat itu kita bisa menjadikan tawa canda ini sebagai rutintas kita, berharap bahwa jiwa kita akan terus terhubung disini, di jembatan yang penuh kenangan ini. Dibalik senyum bahagiamu, terdapat kebodohanku yang tertanam cukup lama dan menggumpal menjadi luka yang mempersulit pelarianmu dari hiruk pikuk kota. Aku harap kau tak megetahui pengkhiatanku di akhir bulan itu.
Pertengahan September pada hari jadi kotaku, kita menjadi satu-satunya pasangan yang duduk di bangku yang berada di tengah jembatan ini, kau meminjam ponselku untuk mengabadikan kenangan kita, dan kau terkejut akan isinya, ponsel itu berisikan dengan pesan yang kutuliskan dengan kalimat pernyataan cinta. Aku begitu bahagia melihat senyum malumu, wajahmu memerah seindah kembang api yang meletup-letup tanpa henti dibelakangmu, menjadi latar belakang yang indah untuk menemani wajah manismu di malam yang sedikit dingin itu.
Kita tahu bahwa aku hanya bermain main waktu itu, “aku akan menunggumu, hingga kau siap, tapi aku menerimanya”, adalah jawaban yang kau berikan dari permainan ini, namun disaat aku siap, aku hanya bertemu dengan penyesalan, kau telah pergi jauh dibawah sana, dibawah kerasnya arus sungai.
Aku pikir aku mengenalmu, aku pikir semuanya akan baik baik saja, kini aku hanya bisa memimpikanmu tiap malam. Setelah kepergianmu, aku sadar bahwa ternyata aku tak pernah tahu seni dari bercinta. kau yang memberikan tanganmu padaku sembari mengucapkan selamat tinggal adalah sebuah kenangan pahit atas kebodohanku, yang tak pernah dewasa. Kuharap kau untuk mengerti bahwa aku akan selalu ada disini menunggumu.
Aku akan terus berharap mengulang waktu ketika aku dapat menghabiskan hari hanya memandang bola matamu, membuka telinga untuk mendengarkan kisahmu, dan menjadikanmu sebagai pusat dari segala bentuk kebahagian kita. kini aku sadar bahwa aku membiarkanmu berlatih ping-pong dengan tembok yang keras tanpa ada lawan untuk mengembalikan bolanya. Dan dari semua kenangan indah itu, jika selamat tinggal adalah pilihan terbaik, maka aku tidak akan pernah memilihnya.
Aku terduduk disini memandangi ratusan orang berlalu-lalang, memudarkan presepsi akan dunia nyata dan terbawa oleh kenangan yang terasa ambigu. kenangan kita mendorongku berjalan maju dan mundur, menatapi setiap wajah yang ada, mencari secuil harapan atas eksistensimu.
Air mata tercucur di sore hari ketika kau tak kunjung kutemukan. mungkin hanya senyummu yang tersisa dihatiku bersama dengan memori yang memudar di hari esok. Aku tersesat tanpamu. Aku tau kau telah tiada, tapi raga ini tak bisa berhenti mencari.
Di penghujung September aku kembali bertemu denganmu dalam mimpi, kau tersenyum sambil mengantarku pulang menjauh dari jembatan ini untuk hidup bersama, namun sekali lagi aku sadar dan sepenuhnya sadar bahwa kau telah pergi. Rasa kehilangan membuat hati ini berat untuk melepaskanmu, berharap September tak pernah berakhir, dan terus berharap bahwa september akan terulang sepanjang tahun. Aku ingin mengulang segalanya, kembali menemukanmu yang berdiri indah terhempas oleh hembusan angin, dan disana aku akan memberikan jiwaku padamu.
September telah usai, sampai jumpa lagi di tahun depan, aku akan kembali menunggumu disini, menjaga secuil kenangan kita. Aku harap kau bahagia dibawah sana. Aku harap kau menemukan tulisan ini disana, di bawah sungai yang gelap, Aku tahu terpaan arus terkadang keras, aku harap kau bisa menanganinya, aku harap kau tak takut dengan kegelapan dibawah sana, aku harap para pesut itu menghiburmu dengan senyum Indah mereka, hinga September kembali menyapa kita, aku akan kembali menantimu disini, serangkaian bunga indah akan selalu berada di tangan kananku dan kopi kaleng favoritmu di tangan kiri, berharap kau yang telah tiada untuk kembali, menghabiskan waktu mengulang September kita.
Cerpen Karangan: Alfonso Blog: presentoalfonso.blogspot.com