Mataku terus menatapmu dari kejauhan. Mengagumi elok parasmu yang tidak pernah bisa tersaingi oleh laki-laki lainnya. Kamu tersenyum di seberang jalan kepada seorang gadis yang juga tidak kalah elok parasnya. Serasi sekali. Aku sangat iri.
Dulu, aku dan kamu pernah dekat. Sedekat nadi. Sebelum seperti sekarang yang sejauh bumi ke matahari. Bahkan lebih jauh dari itu. Satu hal yang telah menciptakan jarak ini. Cinta.
“Aku cinta kamu,” kataku pada suatu sore. Ketika itu kita sedang pulang bersama. Mendengar pengakuanku, kamu sontak berhenti. Lalu menatapku bingung. Kemudian tertawa dengan nada mengejek. “Masih sempat bercanda, ya?” katamu. Aku diam. Kamu pikir ini candaan? Aku sudah mengumpulkan beribu keberanian untuk mengatakannya. “Aku serius.” ucapku tegas. “Kalau begitu kamu salah telah mencintaiku.” “Apa salahnya?” Ya, apa salahnya? Salahkah aku mencintaimu? Kamu bilang salah, karena kita hanya sebatas kakak-adik saja. Tidak boleh saling cinta.
“Ingatlah bahwa aku dan kamu tidak akan pernah bisa menjadi kita.” “Apa maksudmu?” “Kupikir kamu sudah tahu.” setelah berkata begitu kamu langsung beranjak pergi.
Beberapa langkah kemudian kamu berhenti lalu berbalik dan berjalan ke arahku lagi. “Kamu mencintaiku sebagai kakak atau cinta sebagai kekasih? Yang mana yang kamu rasakan?” Seperti itu kamu bertanya padaku. Harus kujawab apa saat aku mencintaimu sebagai kakak dan juga kekasih. Bolehkah kujawab dua-duanya. Lalu apa yang akan kamu katakan? “Kau hanya boleh memilih satu jawaban.” Aku menarik napas panjang. Aku tidak bisa memilih satu diantaranya.
“Aku mencintaimu sebagai kakak dan juga kekasih.” jawabku sekali lagi. “Kubilang pilih salah satu!” “Kamu memintaku untuk berkata jujur! Itulah jawabanku yang sejujurnya!” Aku hanya bisa menelan ludah pahit berkali-kali. Menundukkan kepala dan berlalu dari hadapanmu dengan hati yang hancur.
“Sofia, jika kamu berbalik dan mengatakan padaku bahwa semuanya hanya candaanmu saja, aku akan memaafkanmu. Dan akan kuanggap tidak pernah terjadi apa-apa.” Persetan dengan itu semua! umpatku dalam hati. Aku tidak akan berbalik! Tidak akan pernah! Kamu tidak bisa menghargai perasaanku.
“Sofia, selangkah lagi kamu pergi menjauh maka persahabatan kita berakhir!” Kata-katamu membuatku berhenti seketika. Aku sekarang seperti berada antara hidup dan mati. Mengapa kamu memberikan segala kepedihan ini padaku? Semua pilihan-pilihan sulit terus saja menghujamku.
“Berbaliklah Sofia lalu kita akan berbaikan.” kamu berkata seolah meminta. “Kamu sahabatku yang paling baik. Aku tidak mau kehilanganmu. Teruslah menjadi sahabatku,” kamu merayuku tapi aku tidak akan melunak.
“Mengapa kamu tidak bisa menerima cintaku?” tanyaku tanpa berbalik. “Tentu saja tidak bisa.” “Mengapa?” aku hanya butuh alasannya. Mengapa kamu tidak bisa menerimanya? “Karena kita bersaudara.” “Bukan saudara kandung!” “Apa bedanya?” “Tentu saja beda!” “Aku menyayangimu Sof, lebih dari apapun di dunia ini.” “Kamu tidak pernah mencintaiku” “Rasa sayangku melebihi rasa cinta harusnya kamu tahu itu.” “Bohong! Kamu bohong!” “Aku peduli padamu karena kamu adalah adik kecilku.” “Kamu hanya kasihan padaku!” “Sofia…” kamu diam. Sepertinya kamu sudah kehabisan kata-kata untuk mendebatku.
“Aku mencintaimu sejak pertama kali ayahmu membawaku ke rumah kalian. Rumah yang hangat dan bahagia. Kamupun terlalu hangat sampai membuatku betah dan melupakan siapa aku sebenarnya. Dan hari ini kamu menyadarkanku lagi. Aku hanyalah gadis dekil. Gadis jalanan, saban malam kedinginan karena tidak punya tempat tinggal, kurus kering karena jarang makan. Kalian mengasihani aku dan memberikanku rasa nyaman yang luar biasa. Aku tidak akan bisa membalasnya seumur hidupku.”
Aku melangkah pergi namun kamu lagi-lagi menghalangi. “Kamu mau kemana?” tanyamu. “Pulang.” jawabku singkat. “Itu bukan jalan pulang.” “Aku anak jalanan, selamanya aku akan tinggal di jalanan. Lagi pula aku sudah besar. Aku sudah bisa menjaga diri. Jangan khawatirkan aku.” “Sofia!” kamu berlari mengejarku.
“Kamu terlalu egois, Sofia. Setelah pernyataan cintamu aku tolak kamu jadi seperti ini? Ada apa denganmu?” kamu menyeretku pulang. Aku memberontak tentu saja. Tapi cengkraman tanganmu makin kuat. “Kamu bukan anak jalanan Sofia, kamu punya rumah. Kamu punya keluarga. Mereka sayang padamu. Khususnya aku!” “Kamu pikir mudah tinggal serumah dengan orang yang kucintai tapi dia tidak pernah mencintaiku? Kamu pikir mudah mengubur perasaanku ini? Kamu pikir hatiku akan baik-baik saja? Tidak! Sakit sekali, aku tidak sanggup lagi. Aku hampir mati, kamu tahu? Biarkan aku pergi, jika kamu terus menahanku aku mungkin benar-benar akan mati.”
Itulah akhir dari kisah cinta Sofia yang mencintai kakaknya. Sofia pergi. Ya, aku pergi dari rumah hangat itu. Aku pamit dengan uraian kata yang panjang. Kamu tidak ada saat aku pergi. Tapi aku bersyukur ketiadaanmu membuatku bisa menahan airmata. Aku tidak pernah menyangka akan berakhir begini. Aku hanya bisa tertawa mengingatnya.
Sekarang, aku dan kamu bukanlah dua insan yang saling kenal. Kamu sudah saling berjanji akan menganggapku orang asing waktu itu. Akupun demikian. Jadi aku hanya menatapmu dari kejauhan. Bersembunyi di antara hiruk pikuk kota yang tidak mau diam. Mengintip di balik barisan pejalan kaki yang menikmati sore.
“Orang itu berdiri di sana menikmati senja. Apa yang ia pikirkan. Matanya kelihatan sendu. Kuharap dia sekarang bahagia” itulah yang kuucapkan dalam diam saat melihatmu duduk santai di bangku seberang jalan.
Seorang wanita cantik membawa dua gelas minuman duduk di sampingmu. Ah, kekasihmu rupanya. Cantik sekali. Kalian serasi. Dibandingkan dia aku tidak ada apa-apanya. Kamu menyadari bahwa aku hanyalah gadis jalanan dekil yang di adopsi oleh ayahmu. Tentu saja tidak pantas untuk jadi pendampingmu kan?
Ah, inilah akhirnya. Matahari sudah siap mengucapkan selamat tinggal padamu. Namun, dia pasti akan menemuimu lagi besok hari, tapi tidak denganku. Aku tidak akan bisa melihatmu lagi besok dan seterusnya. Selamanya. Karena ini adalah senja terakhirku.
Cerpen Karangan: ZaiJeeLea Facebook: facebook.com/zaijeelea Salam hangat,