Sudah enam bulan aku hidup dalam kepura-puraan. Benar kata anak milenial sekarang, pura-pura bahagia itu butuh tenaga, dan itu yang aku rasakan sekarang. Enam bulan ini aku menjalani sebuah relationship yang mana aku sendiri sama sekali belum menemukan dimana sisi romantisnya. Yang aku lakukan hanyalah sebatas mengimbangi perasaan pasanganku saja. Ada salah seorang teman bilang bahwa aku orangnya terlalu baik, terlalu mudah menerima seseorang apa adanya. Aku menyangkal kata temanku itu. Justru dari pengalamanku, aku orangnya tegas kalau soal menolak cinta. Tegas bukan berarti aku kasar, namun aku punya alasan-alasan kuat mengapa aku menolak seseorang.
Untuk kali ini beda, aku harus menerima konsekuensi dari keputusanku sendiri. Saat ini aku menjalin hubungan dengan lelaki bernama Joni. Pada awalnya aku merasa enjoy bersama dia, namun lama-kelamaan aku mulai tidak nyaman dengannya. Ada penyesalan mengapa dulu aku ceroboh mengiyakan “tembakan” nya. Dan akhirnya sekarang aku menjalaninya dengan penuh keterpaksaan dan aku tidak tahu bagaimana caranya harus mengakhiri hubungan ini.
Banyak hal yang aku lakukan supaya hubungan kami berakhir. Seperti misalnya, ketika aku sengaja melakukan hal-hal yang tidak disukai Joni, namun dia tetap saja masih mencintaiku. Momen lain seperti ketika aku membalas chat atau SMS nya dengan singkat, itu malah tidak berefek apapun baginya. Adapun ketika aku sengaja cuek ketika jalan bersamanya, dia malah tetap terlihat asyik. Semua perkataan yang keluar dari mulutnya amat membosankan bagiku. Yang lebih membuatku gregetan lagi, aku sudah pernah mengajaknya putus dia malah tertawa menganggap ucapanku hanya guyonan saja. Sudah berkali-kali aku bentak dan maki dia, dia tetap sabar dan itu sama sekali tidak mengurangi mabuk cintanya kepadaku sedikitpun. Betapa tertekannya diriku menjalin hubungan dengan si Joni ini. Berbagai cara aku lakukan supaya dia tidak nyaman denganku, namun tidak ada yang berhasil. Aku benar-benar harus menjalani ini semua dengan sabar.
Ini adalah perasaanku yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kalau sudah tidak cinta, ya harus bagaimana? Walaupun faktanya dia sudah mapan, penampilannya macho, aku tidak tertarik karena itu. Intinya banyak hal darinya yang tidak cocok denganku, seperti gaya bercanda kita yang berbeda, sudut pandang kita yang berbeda, dan banyak lagi perbedaan-perbedaan yang membuatku tidak cocok dengannya. Joni orangnya tidak mempedulikan perbedaan-perbedaan itu. Aku merasa dia benar-benar mabuk cinta kepadaku. Aku juga heran, apa sih yang menarik dariku?
Sampai pada suatu ketika, aku diajak jalan sama Joni. Padahal aku sudah jelas-jelas menolak ajakannya, eh, dia malah datang ke rumahku. Dengan terpaksa, aku pun akhirnya jalan sama dia. Di alun-alun kota, aku sudah tidak kuat mendengar omong kosongnya, rasa muakku mulai memuncak dan kali ini aku benar-benar harus tegas mengatakan yang sebenarnya.
“Jon, plis deh, ini untuk yang terakhir, aku mau kita putus”. “Yaelah, kamu kenapa sih Dev? Jreng jreeeng, nih aku bawain coklat”, kata Joni tersenyum sambil menyodorkan coklat itu kepadaku. “Dih, gausah lah!” Ucapku sambil kudorong tangannya. “Haha aduh Devi, kamu kenapa sih? Takut gemuk ya? Mau kamu gemuk atau kurus aku tetep sayang kamu kok haha”, ujarnya genit sambil tertawa. Aku tambah jengkel mendengarnya. “Gak lucu Jon! Aku gak suka sama kamu!” Aku membalikkan badan dan pergi meninggalkannya. Tapi tanganku ditarik olehnya. “Deviii, sayaang, heii sabar dong”. “Hiiih apasih!”, Teriakku. “Kamu itu ganggu banget Jon, tau nggak!”, Plakkk… aku yang sudah tersulut emosi mendaratkan satu tamparan keras di pipinya. “Aku capek jon, kamu pergi aja sana! Plis.. tolong tinggalin aku sendiri”, ujarku dengan mata berkaca-kaca.
Joni memegangi pipinya, ia tak menyangka kalau ini kali pertamanya ia mendapat tamparan dariku. Ia mengerenyitkan dahi dan memandangku dengan penuh tanda tanya. Aku pergi meninggalkannya dan langsung mencari taksi untuk pulang ke rumah.
Banyak chat dan panggilan darinya. Aku baca saja semua chat darinya, isinya minta maaf dan emoticon menangis. Aku biarkan saja dan tidak aku balas.
Esok-esoknya, dia masih terus menghubungiku. Yang lebih ekstrim dia masih berani-beraninya datang ke rumahku. Aku pun sembunyi dan menyuruh kakakku bilang kalau aku tidak disini. Bahkan aku sampai harus beli SIM-card kedua demi menghindari panggilannya di SIM-card satu.
Waktu pun berlalu. Lama-lama Joni sudah mulai tidak menghubungiku lagi. Dia yang biasanya aktif membalas story Instagramku, sekarang dia cuma sebagai penonton saja. Setiap aku update story Instagram, viewer yang pertama muncul selalu dia.
Pada suatu malam, aku merasa lapar. aku hendak keluar rumah untuk membeli nasi goreng. Di depan rumahku ada seorang pemuda memakai jaket jumper putih duduk diatas sepeda motor matic yang aku rasa tidak asing itu sepeda motor siapa. Benar saja, dia Joni. “Aduh mati aku, ngapain si Joni kesini”, batinku.
Dia berdiri dari sepeda motornya dan menghampiriku dengan wajah lesu. “Dev, aku minta maaf” Aku terdiam melihatnya. “Jujur aku nggak tau, aku punya salah apa sama kamu. Kamu kok tega banget sih?”, Dia bicara sambil meneteskan air mata. Aku masih terdiam dan jujur baru kali ini aku melihat Joni yang aku tahu dia orangnya periang dan jenaka, akhirnya menangis juga. “Padahal aku lho rela ngelakuin apa aja demi kamu Devi”, ucap Joni sambil terisak-isak.
“Joni, kamu gak bisa maksain aku harus punya perasaan sama dengan kamu”. “Jiwa dan ragaku untuk kamu Devi”, ucap Joni, tangisnya semakin menjadi. “Maaf Joni, tapi kita gak bisa bersama lagi”, ucapku iba melihatnya. “Kamu ingin aku pergi? oke Dev, kalau itu maumu, aku akan pergi meninggalkanmu…”
“Kriing krriingg” Pembicaraan Joni terpotong oleh panggilan dari handphoneku. “Bentar Jon”. “Halo, ada apa Din?” “Dev, Joni tewas gantung diri!” “Hah! Yang bener kamu Din!? Nggak mungkin! Dia… Dia…”, Aku shock setengah mati dan menoleh ke arah Joni tadi, dia dan sepeda motornya menghilang! Seketika bulu kudukku berdiri masih tidak percaya dengan apa yang aku saksikan barusan.
Aku langsung bergegas menuju kontrakan Joni untuk memastikan. Dan ternyata benar, di depan kontrakannya ada banyak kerumunan dan di pintu kontrakannya sudah terpasang garis polisi. Aku bertekuk lutut dan menangis. “Joniiiii… maafin aku udah nyakitin kamu” tangisku, sambil ku memukuli lantai.
Tanpa pikir panjang, aku nekat masuk ke kontrakannya, menerobos garis polisi dan kudapati Joni sudah terbungkus kantong jenazah. Di lantai ada secarik kertas berisi tulisan terakhirnya. Aku dibuat merinding hampir pingsan oleh isinya. Isinya mirip dengan ucapan terakhir “arwah” Joni di depan rumahku tadi. Dan inilah isi suratnya:
“Dev, aku minta maaf… jujur aku nggak tau aku punya salah apa sama kamu… Kamu kok tega banget sih? Padahal aku lho rela ngelakuin apa aja demi kamu Devi… Jiwa dan ragaku untuk kamu Devi… Kamu ingin aku pergi? oke Dev, kalau itu maumu, aku akan pergi meninggalkanmu SELAMANYA”.
Cerpen Karangan: Deliar Noor Ikhsan Facebook: Deliar Noor Ikhsan Email: deliarnoor01[-at-]gmail.com Instagram: @deliarnoor