“Apa kamu merasakannya? Sesuatu yang bergetar di hatimu, terasa seperti saat kamu menggigil karena dingin. Atau bahkan, terasa seperti kamu sedang merasakan kegugupan yang memuncak?”
Aku tidak pernah tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan dari perempuan berkacamata itu. Bahkan meski langit-langit berubah keemasan, menunjukkan kecantikannya pada semesta yang semestinya membuat semua orang terpukau. Aku bisa merasakan helaan napasnya. Aku bisa melihat wajahnya yang tenang. Rambut panjangnya tergerai indah ketika angin di senja ini bertiup ke timur.
Sebenarnya, aku sama sekali tidak merasakan kesejukan dari angin yang bertiup. Sebesar apa pun desau sang angin, aku tetap merasa seperti berada di padang yang panas. Aku bagai seorang petualang yang tengah mencari oasis. Kulit-kulitku terkelupas, bintik-bintik keringat bersimbah di tiap-tiap pori-pori kulitku. Dia, perempuan yang tengah berdiri seolah menantang mentari itu terlihat semakin jauh.
“Terasa lagi. Apa kamu merasakannya?” Entah sudah berapa kali dia bertanya, tetapi aku tetap tidak merasakannya. Satu pun kata tidak bisa keluar dari mulutku. Meski keinginan begitu kuat untuk menjawab, dan aku tahu jawabanku tidak akan memenuhi harapannya. Aku hanya ingin bisa menjawab pertanyaannya. Meskipun aku tidak pernah mengerti dengan pertanyaannya.
Mengesampingkan hal itu, aku ingat bagaimana pertemuan awal kami yang dipenuhi tanda tanya. Waktu itu, aku dengan segala ketakutanku akan dunia, pertama kalinya menunjukkan diriku pada berpasang-pasang mata di sebuah kedai di pusat kota. Hanya dengan sweater berwarna kuning dan kepala aku tutupi dengan tudung, perempuan yang kini kusebut sebagai Hikari itu duduk di meja pilihanku. Waktu kedatanganku dengannya berselisih lima menit. Suasana kedai sangat ramai dan sesak. Namun, semenjak kehadirannya, aku seolah-olah disepuh matahari pada dinginnya berlapis-lapis es yang mengurungku dalam sebuah ketakutan.
Beribu-ribu pintu terbuka dan seolah memberikan pilihan disaat aku sudah tidak memiliki satu pun lagi pilihan. Beratus-ratus jendela dan tirai tersingkap, membiarkan kesejukan sang angin masuk dan menyapu jutaan peluh yang bersimbah membasahi pakaian. Bisa kukatakan, aku terkesima dengan kehadirannya yang tanpa pertimbangan memberikan sebuah senyuman padaku. Ah, aku selalu berpikir, apakah diriku yang menjijikkan ini masih memiliki harapan untuk dekat dengan seseorang? Lapisan-lapisan es yang mengurung diriku melebur sejak senyuman Hikari tampak di kedua mataku.
“Maaf, ya. Aku boleh gabung di sini, kan?” Pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan. Sebab, semua orang menganggap diriku tidak pernah ada. Awalnya, aku ragu pertanyaan itu ditujukan padaku. Walau demikian, tak ada siapa pun selain diriku. Tak ada siapa pun selain dirinya dan matanya tampak menatap ke arahku. Jadi, dapat kupastikan pertanyaan itu dilontarkan untukku.
Dan pada akhirnya, aku hanya bisa mengangguk dan mengalihkan pandanganku ke sembarang arah. Aku berlama-lama diam di tempat duduk. Kopi yang puluhan menit telah aku pesan dan baru aku teguk sekali seolah-olah menertawai dan mempertanyakan mengapa aku belum meneguknya lagi. Aku rasa aku tidak perlu menjawabnya. Sebab, yang kubisa hanya menatap sosok di hadapanku yang tengah fokus dengan buku bacaannya.
Sesekali, perempuan berkacamata itu menyumpingkan sisa-sisa rambutnya yang mengganggu. Bola matanya yang hitam legam dapat kusaksikan terus bergerak mengikuti setiap kata yang tertulis di dalam buku yang ia baca. Sesekali dia tersenyum. Suaranya yang ringan kadang terdengar sekali, meskipun itu sepertinya tertahan untuk tidak disuarakan dengan volume tinggi.
Tak terasa, pertemuan singkat itu telah membuatku tersenyum tipis.
Aku berakhir di sini sekarang, di tepi tebing tanpa pembatas dengan pemandangan laut yang menghampar. “Apa kamu merasakannya?” Pertanyaan yang sama terus terulang. Sampai pada akhirnya, dia menatapku dengan sebuah senyuman sambil berkata, “Distorsi. Hatiku yang kamu buat berirama. Seolah seseorang memetik senar-senar di dalam jiwaku dan itu adalah perasaan yang membuatku merasakan distorsi saat bersamamu.”
Kamu tahu? Itu adalah kata-kata terakhir yang dia ucapkan sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Kupikir akulah yang tak punya harapan. Sebab, alam yang selalu tunduk padanya, semesta mencemburuinya, sehingga dia melompat dari atas tebing dan berakhir tragis. Dia tenggelam ke dalam lautan. Bersamaan dengan mengeringnya harapan di jiwaku, air laut menjadi merah. Dan ternyata, laut pun kalah oleh warna darahnya. Kini, aku merasakannya.
Distorsi, seperti yang dia katakan. Aku merasakan sakitnya sebuah kehilangan. Tidak lagi aku bisa memikirkan hal selain wajahnya yang tersenyum ketika melompat dari ketinggian ini. Apakah sebegitu cemburunya alam padaku, sampai-sampai mereka merenggut hangatnya senyuman perempuan itu?
Distorsi, aku merasakannya. Meski mungkin ini adalah distorsi yang jauh berbeda dari yang pernah dia tanyakan padaku. Distorsi terus-menerus menggetarkan hati dan jiwaku. Hingga pada akhirnya, aku merasa bahwa diriku tak akan lengkap jika tak ada dirinya. Distorsi. Pada awalnya membingungkan, tetapi kini aku tak lagi kebingungan. Sebab, aku memutuskan menyusulnya mengikuti distorsi yang terasa bergetar di hatiku.
“Ke mana pun kamu pergi, aku akan mengikutimu, Hikari. Alam tak akan pernah merenggutmu lagi dariku. Pertemuan kedua kita tidak akan pernah melibatkan pertanyaan apa pun karena semua pertanyaan telah terjawab sebagaimana mestinya.”
Cerpen Karangan: Marion D’rossi Marion D’rossi adalah penulis yang suka menulis karya-karya novel dewasa yang berfokus pada pengalaman hidup dan tragedi. Novel-novel penulis dapat ditemukan di akun Wattpad mariondrossi.