Hana duduk termangu menopang dagu pada kosen jendela kamarnya. Wajahnya yang pucat itu basah karena percikan hujan. Hana mengulurkan tangan, tetesan air hujan berkumpul di telapak tangannya. Berjatuhan ketika ia mencoba menggenggamnya.
Ia menatap ke seberang jalan. Matanya menangkap sesosok laki-laki yang berlari menerobos hujan. Menuju jendela kamar tempat ia duduk. Langkahnya begitu cepat karena tungkainya yang panjang. Hanya perlu waktu sebentar saja dan sekarang ia sudah berdiri di hadapan Hanna.
Hana berdiri dari duduknya, dengan dua alis yang saling bertaut ia menatap lekat wajah laki-laki yang berada di hadapannya. Senyum seindah bulan sabit tergambar di wajah si laki-laki, lalu tangan dinginnya membelai pipi Hana yang basah.
“Hai Han,” sapa si laki-laki di tengah derasnya hujan. “Ilham …,” balas Hana lirih, hampir tak terdengar.
Ilham, laki-laki itu merengkuh kedua tangan kecil Hana lalu memandang wajahnya dengan lekat. “Kau adalah bianglalaku, Han. Bianglala yang berhasil kupetik dari cakrawala senja yang hangat. Kau menghiasi hariku dengan warna-warna indahmu.” Hana tersenyum lembut mendengar kata-kata manis Ilham. “Aku akan selalu menjadi bianglala untukmu,” kata Hana. Ilham membelai rambut Hana sambil tersenyum lebar.
Hana menatap lekat wajah Ilham, mengagumi betapa elok dan rupawannya paras sang kekasih. Hana mengucap syukur dalam hati, telah dipertemukan dengan Ilham, pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. “Aku mencintaimu,” kata Hana. “Akupun juga mencintaimu,” balas Ilham. Mereka saling menatap dalam diam, saling menyelami perasaan yang tergambar jelas dalam bola kristal hitam yang mereka miliki. Sampai suara ketukan yang berasal dari pintu kamar Hana membuyarkan semuanya. Hana menoleh ke arah pintu kamar yang kini terbuka. Seorang wanita paruh baya membawa nampan yang di atasnya sudah tertata makanan. Hana kembali menghadap jendela, keningnya berkerut, kepalanya menegok keluar jendela mencari sesosok laki-laki yang beberapa saat tadi masih berdiri di hadapannya.
Wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya menatap putri semata wayangnya dengan bingung. Ia menaruh nampan itu di atas meja rias lalu berjalan menghampiri Hanna. Ikut menengok keluar jendela namun tidak ada hal yang aneh baginya. “Mencari apa Han?” tanyanya. “Ilham, Bu. Dia ada di sini beberapa saat yang lalu,” jawab Hana. Ia masih saja menengok keluar, menyelisik sisi-sisi jendela yang basah terkena guyuran hujan.
Si ibu menatap iba putrinya. Hatinya sakit setiap kali mendengar nama Ilham terlontar dari bibir tipis Hana. “Hana …,” katanya seraya memegang kedua bahu sang anak. “Ilham pergi, Han. Sudah lama sekali,” sambungnya. Hana mematung, matanya menatap nanar ke seberang jalan. “Tapi tadi ia ada di sini, Bu.” “Baru saja kami saling bicara. Bagaimana bisa ibu mengatakan ia sudah pergi?” Mata Hana mulai memanas lalu jatuh setetes kristal bening di salahsatu sudut. “Tidak Hana. Itu hanya ilusi yang kamu ciptakan. Ilham tidak akan ke sini lagi. Dia tidak akan pernah menemuimu.” Hana terduduk lemas di kursi. Kenangan tiga bulan yang lalu muncul di kepalanya. Waktu itu, Ilham dengan perban yang menutupi kepala menatap langit-langit rumah sakit dengan raut kebingungan, Hana memanggil namanya dengan suara bergetar haru. Ilham menatap Hana, lagi-lagi raut bingung terlukis di wajah tampannya.
“Apa yang terjadi padaku?” tanya Ilham lirih. “Kau mengalami kecelakaan mobil saat di perjalanan dari kota,” jawab Hana. “Benarkah? Kau siapa?” tanya Ilham tak bertenaga. Hana terdiam, mengerjapkan mata beberapa kali. “Aku Hana, teman masa kecilmu sekaligus calon istrimu. Kita sudah bertunangan tiga minggu yang lalu.” Ilham menarik napas panjang lalu memejamkan matanya. “Benarkah? Aku sungguh tidak ingat apa-apa,” katanya lirih.
Senyum Hana buyar seketika. Ia menatap lantai rumah sakit yang putih dengan pandangan kosong. Otaknya bekerja keras menafsirkan kejadian yang sedang ia alami. Tiba-tiba, pintu kamar tempat Ilham dirawat terbuka menampakkan dua orang laki-laki berbaju putih bersih. Hana menatap kedua laki-laki itu bergantian mencoba mencari jawaban dari kebingungannya. Salah satu laki-laki itu membuka mulutnya, mengeluarkan untaian fakta yang mau tidak mau harus Hana terima. “Ilham amnesia.” Itulah fakta dari sang dokter yang menohok hati Hana.
Langit di atasnya terasa runtuh, dadanya sesak seperti dihimpit benda berat, semesta berputar hebat di kepalanya. Sesaat kemudian ia oleng, jatuh di lantai rumah sakit yang dingin.
Hana kembali sadar dari kenangan yang pahit. Kedua tangan hangat sang ibu masih setia bertengger di bahunya. “Ilham …” Airmata mengalir deras membasahi pipinya yang pucat. “Ibu tahu ini sangat sulit, Han. Tapi cobalah untuk mengihklaskannya. Semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.” Kedua tangan Hana terkepal kuat, bibirnya bergetar dan matanya terpejam. Hana menangis dalam diam. Ibunya masih berada di sana sambil mengelus punggung Hana dengan lembut. Dengan airmata yang terus saja menetes, Hana menengadah langit yang masih saja memuntahkan air.
“Bu, aku ingin sendiri,” pintanya. Ibunya melepaskan tangan dari pundak Hana dengan perlahan. Setetes air jatuh dari ujung matanya yang sudah keriput. Ia berjalan menuju pintu dengan langkah gontai.
Kini derai hujan sudah menjadi rintik. Awan hitam mulai memudar, menampakkan kembali sang surya yang sudah berwarna keemasan karena sebentar lagi akan tenggelam. Sepotong bianglala tercipta dengan megahnya di cakrawala, memamerkan warna-warna indah. Hana tersenyum miris menatap bianglala itu. Dulu ia adalah bianglala juga, ia bertengger dengan megahnya di hati Ilham, kekasih hatinya.
Manik mata Hana tiba-tiba menatap sepasang insan yang berjalan di seberang sana. Di bawah cakrawala yang berlukis bianglala, mereka bergandengan tangan lalu saling tertawa mesra. Hana murka, ia berlari keluar kamar membuka pintu depan dan menghambur ke arah dua sejoli itu.
“Ilham …” Hana terengah dan berlinang air mata. Kedua sejoli itu menatapnya dengan bingung. “Kau tidak bisa menikah dengannya, Ham. Aku yang seharusnya menikah denganmu. Kita sudah bertunangan,” kata Hana memelas. Ilham memandang Hana dengan marah. “Kau sudah tidak waras, ya?” hardiknya. “Kau sengaja mengatakan itu supaya pernikahanku batal, kan?” sambungnya. Matanya berkilat marah. Hana menggeleng kuat. “Dari dulu, yang seharusnya menikah denganmu itu aku!” pekik Hana. Dadanya turun naik cepat lalu dia kembali berkata, “Aku mencoba mengambil apa yang menjadi hakku. Kau, kau adalah laki-laki yang menjadi hakku!” “Mengapa aku harus menjadi hakmu?!” Teriakan Ilham menggema di jalanan yang sunyi. “Aku bahkan tidak mengenalmu, mengapa aku harus menikah denganmu?” “Tidak bisakah kau mengingatnya? Cobalah cari ingatanmu yang hilang itu. Cobalah ingat kenangan kita. Cobalah-“ Hana tidak kuat lagi melanjutkan perkataannya. “Aku tidak akan mencoba untuk mengingatnya. Bagiku kenangan yang hilang itu bukan sesuatu yang penting. Aku memilih menata masa depanku, ingatan itu hanya bagian dari masa lalu.” Ilham mengakhiri kalimatnya dengan tegas lalu menarik tangan calon istrinya yang sedari tadi hanya diam, berjalan melewati Hana yang terisak hebat.
Ilham berhenti beberapa langkah, ia menoleh kebelakang, menatap punggung Hana yang bergetar. “Aku meminta maaf atas nama diriku di masa lalu yang tidak bisa menepati janjinya padamu. Kudoakan semoga kau bisa merelakannya dan kau bisa hidup bahagia dengan orang lain yang bisa menjagamu dengan segenap jiwanya,” katanya lalu benar-benar pergi dari sana.
Hana terduduk di tanah yang basah. Dadanya begitu sakit. Jari-jarinya terkepal di tanah. Terlihat olehnya sebuah benda berkilau melingkar di jari manisnya. Hana segera melepasnya. Memandangi benda berkilau itu, terukir dengan jelas nama Ilham di sana. Dengan sekuat tenaga dilemparkannya, jauh ke ujung jalan. Benda yang tak lain adalah cincin pertunangan mereka menggelinding menyusuri jalan bergelombang, entah kemana tujunya.
“Mungkin, aku masih menjadi bianglala dalam ingatanmu yang hilang. Tapi perlu waktu yang lama untuk menemukan ingatan itu lagi. Sekarang aku hanya bianglala tak berwarna karena warnaku sudah habis kau bawa pergi.”.
Surya telah tenggelam di ufuk barat. Kegelapan perlahan-lahan menelan semesta. Satu tetes air bening keluar dari sudut mata Hana untuk yang terakhir kali, dunia terasa berputar-putar di kepalanya. Pipinya jatuh mengenai tanah yang basah, pandangannya mengabur dan kelopak matanya perlahan menutup. Dunianya menjadi gelap gulita.
Cerpen Karangan: ZaiJeeLea IG: @zaijeelea