Aku tahu sekarang ada batasan. Aku menyadarinya. Terkadang ini terasa aneh, tapi harus bagitu. Aku sudah putus darimu, jadi kini ada batasan baru. Aneh, tapi aku harus menerima. Ini pilihanku, tulis Bianca di buku diarynya pada suatu sore.
Sudah 1 bulan setelah ia putus dari pacarnya, Rio. Akan tetapi Rio tak pernah hilang dari benaknya. Bukan, bukan karena Bianca masih menyukainya. Bahkan sekarang ia menemukan alasan untuk membenci cowok itu. Rio adalah cowok pintar dan tidak kekanak-kanakan, itu sebabnya dulu Bianca menyukai Rio dan sampai berani mengungkapkan perasaannya. Tapi semua itu sekarang mulai tak masuk pada akal Bianca.
Ia merasa bodoh karena berpacaran dengan alasan yang kurang kuat yang sekarang bahkan tak ada apa-apanya di mata Bianca. Semua itu bagaikan debu. Terkadang ia jijik pada dirinya sendiri karena telah berpacaran. Dulu dia berkata tidak akan pacaran sebelum SMA, tapi ucapan anak polos itu adalah dusta sekarang. Bianca berharap dia punya pengalih perhatian.
Di hari sekolah berikutnya, Bianca terlambat masuk kelas karena bangun kesiangan. Maka ia mendapatkan kursi sisa di kelas. Ia duduk di sebelah murid baru. Selama pelajaran pertama, cowok di sebelah Bianca itu hanya diam saja memperhatikan guru. Maka Bianca juga diam saja.
Setelah bel istirahat pertama berbunyi, teman-teman Bianca beranjak dari tempat duduk mereka masing-masing menuju kamar mandi, kantin, atau perpustakaan. Dan Bianca hanya memandangi mereka. Ia tidak dekat dengan siapapun di sini. Bisa dikatakan dia tak punya teman yang selalu bersamanya. Mereka bilang Bianca kurang bisa berekspresi dan sulit bergaul. Sekarang Bianca sudah tidak menghiraukan itu. Dia tak peduli pada mereka. Bagi Bianca, Teman-teman sekelasnya hanyalah orang yang kebetulan satu ruangan dengannya dalam mencari pengetahuan.
Bianca menyiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya dalam diam. “Hei, namaku Arsa. Arsa Aditya,” kata murid baru yang semeja dengan Bianca. Bianca menyambut ukuran tangan Arsa. “Aku Bianca.” Arsa mengangguk. “Salam kenal, Bianca.” Bianca tersenyum.
Kalau dilihat-lihat, Arsa cukup tampan. Rambutnya dibelah samping. Ia juga lebih tinggi dibanding Bianca. Bianca tak berharap menjadi teman dekat Arsa, apalagi kalau Arsa tahu anggapan teman-teman tentang Bianca yang sulit berekspresi.
Arsa Aditya ternyata cukup supel. Dia beradaptasi dengan sangat baik dan cepat di sekolah barunya ini. Sekarang ia mengikuti ekstrakurikuler basket dan menjadi salah satu murid terkenal seantero SMP ini. Walau begitu, Arsa masih bergaul dengan Bianca. Bianca senang ia akhirnya memiliki teman di sini. Ada yang mengerti dia dan tidak menganggapnya aneh. Arsa dan Bianca menjadi teman dekat selama ini.
Bianca dan Arsa sering makan mie ayam bersama. Rumah mereka juga tidak terlalu jauh jaraknya. Jadi sering kali Arsa mengajak Bianca untuk naik angkutan umum ke sekolah bersama. Mereka bermain sepeda bersama dan makan kue buatan mama Bianca juga.
Saat di sekolah, Arsa dan Bianca sudah mulai dicocok-cocokkan sebagai pasangan. Si suara merdu Bianca dari suku paduan suara dan si jangkung Arsa dari suku basket. Bianca tak menghiraukannya, terkadang ia hanya tersenyum geli. Arsa pun menanggapi dengan santai, “Kami hanya berteman.” Arsa memandang Bianca sambil mengedipkan satu matanya. Jantung Bianca mulai berdegup. Dia manis sekali kalau begitu.
Bianca dan Arsa sering saling curhat, dan Bianca selalu mendengarkan dengan seksama cerita Arsa serta memberi solusi yang cukup baik. “Matamu selalu penuh perhatian saat mendengarkan ceritaku. Aku suka,” puji Arsa pada suatu siang di halaman rumahnya. Dengan pujian begitu, Bianca langsung tersenyum tersipu malu. Bianca suka melihat mata orang. Ia merasa ketika melihat mata, dia melihat jiwa.
Entah ada apa dengan dirinya terkadang nama Rio masih melintas di benaknya. Bayang-bayang cowok itu selalu punya tempat dalam memori Bianca dan ia membenci itu. Ada kalanya pula dia memikirkan Arsa selalu. Bagaimana tidak, mereka selalau menghabiskan waktu bersama. Bianca telah terpikat dan terikat oleh Arsa. Ia sudah berusaha keras menghindari perasaannya itu. Karena menurut pengalaman saat Bianca merasa begitu terikat pada Rio, ternyata itu hanya semetara. Namun perasaanya kali ini lebih kuat. Seakan sebentar lagi mereka kan berjuahan. Bianca hanya tidak ingin merobek hati orang lagi dengan perasaannya yang tak tetap.
Bianca ingin mengungkapkan rasa, hanya saja ini akan lebih sulit dari sebelumnya ketika bersama Rio. Bianca mulai menangis memikirkan ini semua. Bagaimana hatinya berdilema. Bianca menunduk.
Rasanya dari kejauhan sayup-sayup terdengar orang berkata, “Bianca! Bianca!” Lalu Bianca merasakan bahunya ditepuk. Bianca tersentak. “Kau sudah melamun lama sekali. Kenapa?” tanya orang itu yang tak lain dan tak bukan adalah mama Bianca. “Kamu halusinasi lagi ya?” tanyanya lagi. Bianca belum sepenuhnya sadar. “Tenangkan dirimu, mama keluar dulu ya.” Bianca mengangguk pelan
Jadi, aku halusinasi berlebihan lagi? tanya Bianca dalam hati. Itu artinya Arsa adalah buah halusinasiku? Bianca duduk di depan jendela. Kenangan indah bersama Arsa benar-benar hanya kenangan. Ia tak kan bisa mengingat Arsa lagi setelah satu jam. Karena begitulah siklus halusinasi Bianca. Dia berhenti berhalusinasi ketika menangis dan buah halusinasi itu hanya akan diingatnya selama satu jam.
Hati Bianca remuk. Bahkan ia belum sempat berpamitan pada Arsa. Bianca menatap awan gelap di atas sebagai kanopi kesedihannya. Titik-titik hujan mulai turun. Melodinya mengalun mengiringi serpihan rindu dan sedih gadis itu. “Aku bersyukur pernah bersamamu walau sebentar Arsa,” ucap Bianca pada hujan berharap ia akan menyampaikannya pada Arsa.
Kini Bianca bersedih atas kehilangannya, selama masih bisa.
Cerpen Karangan: Luna Nariswari Ig: vincen_luna.mn