Maraknya lagu-lagu galau di kalangan millennials membuat kaum ini memilih mengungkapkan perasaannya lewat lagu, Aku kadang bertanya-tanya, mengapa kisah cinta selalu mendominasi tema-tema lagu ataupun buku, yang tak pernah habis diperbincangkan. Dan mengapa selalu ada kisah Cinta yang menyedihkan. Laki-laki terlalu berambisi untuk mendapatkan perempuan impiannya atau pun sebaliknya, dan mengapa selalu kudengar kisah wanita diluar sana yang mengharapkan perasaan yang sama untuknya tetapi yang ia dapat adalah kata “Dia ga peka”.
“Kamu itu kenapa si? Kamu lebih memprioritaskan dia daripada aku?” teriak perempuan di ujung ruangan dengan wajahnya memerah menahan kesal. Lelaki yang ditanya hanya diam menunduk. Sepertinya mereka sepasang kekasih yang sedang ribut karna ada orang ketiga dalam hubungannya, hal itu membuat si perempuan tak dapat menahan kekesalannya, sehingga harus meluapkan di tempat umum seperti ini.
“Lihattt! Aku saat ini ada di sampingmu…” si perempuan mengarahkan layar handphonenya dimana ada salah satu feed instagram milik pacarnya. “Tapi mengapa, kamu membalas komentar dia dengan kata ‘kapan ya didampingi sama kamu’.” lanjutnya dengan nada sinis. “Aku calon istri kamu, mas.” ucapnya dengan penuh penekanan. “Hatimu milik siapa? Aku atau dia?” kedua tangannya menggebrak meja, membuat seisi ruangan menatapnya bingung.
Hatimu milik siapa? Sontak saja mataku langsung tertuju ke sumber suara. Kulihat perempuan itu sudah pergi menjauh dengan berurai air mata. Sejenak aku terdiam teringat kata-kata “hatimu milik siapa”, pikiranku tertuju pada seseorang yang kukenal 4 tahun silam.
Entahlah, siapa yang salah? Diriku yang terlalu berharap atau dia yang hobi memberi harapan semu. Bagaimana indahnya dibuai harapan olehnya lalu kemudian terhempas dan jatuh sejatuh-jatuhnya, sangat melukai dan menyakiti di saat yang bersamaan. seperti kata orang, sakit tetapi tidak berdarah. Nampak tegar di luar tapi rapuh di dalam.
“Hey cantik, ngelamun aja nih.” Suara itu membuyarkan lamunanku tentangnya. Sering kali ia datang di saat yang tepat, disaat pikiranku sedang berdialog tiba-tiba dia datang dengan senyum merekah di wajahnya, tak pernah sekali ia menyembunyikan senyum itu dariku. Ya, ia masih sama seperti dulu.
“Ada apa si Sya?” tanyanya sambil menarik kursi dan duduk di depanku. Aku menghela napas dan membenarkan posisi dudukku. “Tadi ada pasangan yang bertengkar, entahlah. Mungkin karna ada masalah orang lain dalam hubungannya…” jelasku, tatapanku tertunduk dengan tangan sibuk mengaduk-aduk es buah yang sedari tadi tak tersentuh. “Lalu… bagaimana kelanjutannya?” tanyanya antusias. “Si perempuan mempertanyakan, hati pasangannya untuk siapa.” lanjutku diakhir senyum. Lelaki di depanku hanya berdeham mendengar jawabanku. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, tapi entahlah.
“Lalu hati kamu milik siapa Sya?” Aku tersentak akan pertanyaannya. Dia kenapa? Aku menggeleng cepat mendengar pertanyaannya. Oh tuhan, Jantungku serasa ingin copot. Ingin rasanya aku pulang dan bersembunyi dibalik selimut.
“Sya…” panggilnya. Tatapannya mengisyaratkan banyak pertanyaan. Aku menggigit bibir dan mencoba menetralkan degup jantungku yang bertalu-talu. “Arka Yazdan… Hatiku milik Allah lah.” kujawab enteng. “Maksudku udah ada yang memikat hatimu belum?” ucapnya jengah. Belum sempat aku menjawab, tangannya sudah mengambil alih es buah dari tanganku dan menegaknya habis. “Ada, tapi sepertinya dia ga mau terima hati aku, makanya aku titipin sama Allah. dengan begitu hatiku akan terjaga dan enggak akan sakit.” balasku datar, tatapanku masih menunduk, dengan ragu aku meliriknya sekilas. Setelah penjelasku tadi, senyumnya lenyap dalam sekejap mata. tatapannya tak lagi sama, seperti ada penyesalan tak berujung disana. Buru-buru aku raih tasku dan beranjak meninggalkannya dengan alibi ada jam kuliah mendadak. Kudengar langkah kakinya mengejarku tapi aku berusaha tak menghiraukannya.
—
Seringkali hujan membawa nuansa petrikor, terhempas alunan syair kidung, terhanyut dalam hening yang merenung. Sinar matahari yang tertutup gumpalan awan hitam seolah tak mau menyapa sang langit untuk memberikan semangat kehidupan pada semesta.
Aku terpaku di kursi kayu di bawah atap biru. Jemariku sibuk mencoret-coret buku sedangkan pendengaranku tertuju pada lantunan surah Al kahfi yang membuatku membisu.
“Sya!” aku menoleh ke arah suara. Kudapati perempuan yang mengenakan gamis maroon tersenyum padaku. Aku tak mengenalnya dan darimana ia mengetahui namaku. “Kamu dicariin sama Arka.” ucapnya lagi, ia berlalu setelah melambaikan tangan padaku. “I… iya, terima kasih.” balasku gugup.
Ada apa Arka mencariku, apa ia ingin menggagalkan usahaku yang akhir-akhir ini menjauhinya. Aku berusaha tak membalas pesan singkat darinya apalagi untuk sekedar bertegur sapa dan bertatap muka. Aku menghembuskan napas kasar, dengan segera aku beranjak dari tempat ternyamanku sejak satu jam yang lalu menuju lantai 4 untuk kelas mata kuliah selanjutnya.
Sedikit lagi aku akan sampai di kelasku, tinggal 1 belokan lagi. Saat aku sudah melewati belokan di ujung ruangan, aku melihat Arka dengan perempuan yang sepertinya anak fakultas hukum karena sebelumnya aku pernah melihatnya. Aku memutuskan untuk berputar dan mencari jalan lain, baru beberapa langkah berjalan aku mendengar langkah kaki tergesa-gesa di belakangku serta suara yang memanggil namaku. “Sya… Sya tunggu Sya…” aku berusaha menulikan pendengaranku bersikap seolah-olah tak ada yang memanggilku. Tetap saja langkah kakiku tak sebanding dengannya, sampai akhirnya ia menghentikan langkahku dengan cara menarik tanganku.
“Sya… Aku mohon Sya jangan kaya gini.” “Jangan menjauh…” ia menatapku tajam seolah tak ingin aku membantahnya. “Ih Arka siapa yang ngejauh, aku buru-buru karena ada barangku yang tertinggal.” Ucapku bohong. Kujawab dengan tenang dan tersenyum agar ia percaya padaku. “Jangan ngelak, aku tau semuanya Sya…” “Ngelak apa si? Udah ah, aku buru-buru” aku berusaha melepas genggaman tangannya. Aku berjalan menuruni anak tangga, berjalan secepat mungkin untuk menghindarinya.
Aku berharap pada satu nama, menunggunya dengan sabar, tetapi yang aku dapat ia tak pernah menganggapku ada. Baginya aku hanya pelengkap penggembira sedangkan dia bagiku adalah segalanya.
“Sya… aku mohon Sya. Dengerin aku dulu.” teriaknya memohon. Beruntung keadaan sekitar tidak begitu ramai sehingga tak banyak pasang mata yang menyaksikan aksi dramatis ini. Lagi lagi ia dapat mensejajarkan langkahnya dan memberhentikanku. aku jengah dengan kondisi seperti ini dan aku memutuskan untuk menepi, memberi waktu untuknya.
“Sya…” panggilnya lirih. Aku hanya menundukan pandanganku. “Aku penasaran dengan apa yang kamu lihat pada diriku, apa kamu melihatku sebagai teman yang selalu ada dan siap membantumu? Tapi bagiku kamu bukan sekedar teman atau seseorang yang kebetulan aku kenal. Bagiku… kamu tidak terdefinisikan, tetapi selalu bisa menarik semua perhatianku.” dalam hatiku aku terisak tetapi aku mencoba menahannya, aku tak ingin terlihat lemah di depannya.
Tak lama kemudian hujan turun, sepertinya gumpalan awan hitam tak sanggup lagi menahannya. sama seperti seseorang yang menahan kesedihannya, ketika ia sudah tak kuat lagi menahannya, terkadang tanpa sadar ia akan meneteskan air mata.
“Aku pernah mencoba seperti ibunda Khadijah yang mengungkapkan, dan kamu akan menghargai perasaanku, kamu akan menjaganya…” “Tapi, seringkali aku menangis di kamar sedangkan di luar sana kamu tertawa bahagia dengan orang lain…” “Kau menutupi semua dariku bukan?” aku tersenyum miris kemudian mengalihkan pandanganku ke mana pun asal tidak ke mata Arka yang kerap mengundang degupan yang tak karuan. “Apa itu caramu menjaga perasaanku?” air mataku lolos begitu saja, aku tak kuasa menahan ini semua. Aku pasrah dengan keadaan setelah ini.
Aku menatapnya dengan tatapan kecewa, manik mata hitam yang selalu meneduhkan menjadi tatapan sayu, senyumnya yang selalu menentramkan seketika musnah berganti dengan lekukan bibir membentuk garis lurus. “Apa kamu mengira bahwa diriku baik-baik saja? Hatimu milik siapa Arka? Aku atau mereka? Dengan begitu aku dapat pergi dan menjauh darimu.” ucapku dengan sedikit meninggi.
“Maaf” Aku mencoba tersenyum walau sebenarnya diriku hancur. Aku melangkah pergi begitu saja, Aku segera ingin sampai kost dan aku ingin menyendiri. Sampai-sampai aku begitu lalai saat menyeberang jalan, alhasil motor yang melaju kencang mengenai tubuhku.
Sesaat aku masih dapat meraba kepalaku yang berdenyut. Lama kelamaan kepalaku terasa pusing dan nyeri hingga aku tak sadarkan diri, tetapi samar-samar aku mendengar suara. “Sya… kamu bertahan ya Sya…” “Maafin aku Sya. Kamu jangan titipin hati kamu sama Allah lagi ya, aku akan menjaganya.” Ya, aku masih mengenali suara itu. Suara Arka Yazdan. Ia berucap dengan terisak-isak.
“Cengeng sekali Arka.” ujarku dalam hati.
Selesai
Cerpen Karangan: Wahyu Nurul Ramadhani Blog / Facebook: Hyuura Blog
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com