Saat waktu telah menunjukkan pukul 7 pagi, Alex yang sebelumnya telah kembali ke rumahnya pada pukul 6 tadi saat ini tengah bersiap akan berangkat kerja, dengan kemeja putih serta dasi hitam, celana kain yang disetrika rapih, serta jangan lupakan mantel coklat kesayangannya.
Setelah mengusap sepatu kulitnya hingga mengkilap, ia pun mengambil briefcasenya dan menuju mobil Audi RS2 warna hitam keluaran tahun 1994. Mobil yang merupakan salah satu kebanggaan Alex karena berasal dari jerih payahnya sendiri tanpa mengemis pada ayah ibunya.
Pria itu merawat mobilnya dengan baik seperti merawat anak, ia selalu mengeceknya dan memastikan bahwa segalanya aman dan terkendali, seperti sekarang setelah mengecek kondisi mobilnya ia pun melajukan mobilnya ke tempat kerjanya.
Setelah menempuh perjalan selama 30 menit, akhirnya mobil Alex tiba di sebuah gedung yang bertuliskan Ludwig Maximilian University of Munich. Alex tiba sebelum waktu menujukkan pukul 8, karena kelasnya akan dimulai pukul 8.
Alex adalah seorang pengajar kelas seni di sebuah universitas, ia mengajarkan muridnya untuk melukis, namun bukan hanya tentang meletakkan warna pada kanvas, tapi tentang bagaimana caranya agar diri mereka menyatu dengan lukisannya dan membuatnya terlihat hidup.
Karena bagi Alex teorinya terlalu indah untuk menjadi salah, seni bukan hanya untuk keindahan semata, tapi juga sebuah penggambaran mengenai sebuah kehidupan, meski engkau hanya melukis sebuah benda, maka buatlah benda itu seolah memiliki makna atau dapat menggambarkan kehidupan. Begitulah kira kira isi kepala Alex, terdengar indah, ambisius, jenius dan gila.
“Mr. Alex?” Disaat hanyut dalam renungannya, sebuah suara menarik Alex dari dunianya. Pria besar itu menoleh dan mencari sumber suara, lalu netranya mendapati mahasiswi perempuannya yang bernama Darla tengah berada di ambang pintu sembari membenarkan letak kacamata tebalnya.
“Oh Darla, seperti biasa kau selalu datang lebih awal” ujar Alex sembari mempersilahkan Darla masuk “Bukan aku, tapi anda yang selalu duluan Mr. Alex” Ujar darla dengan sopan dan Alex pun hanya tersenyum kecil.
“Well, baiklah. Ngomong ngomong bagaimana dengan PR kalian?” tanya Alex dan Darla pun hanya mengernyitkan dahinya bingung. “Kufikir anda belum memberikan apapun untuk pekerjaan rumah” ujar Darla
Seakan baru teringat akan suatu hal, Alex pun mengusap wajahnya dengan lelah “Oh Tuhan.. itu Pr kelas sebelah, Pr kalian baru akan kuberikan hari ini, sepertinya aku sudah terlalu tua” ujar Alex sembari tersenyum pada Darla “Kufikir usia 28 tahun belumlah terlalu tua Mr. Alex” jawab Darla “…” Alex pun hanya tersenyum, ingin menanggapi tapi sebentar lagi akan ada yang memasuki kelas, karena ia mulai bisa mendengar ada beberapa derap langkah yang menuju kelasnya.
Kelas pun dimulai dengan tenang, Alex menjelaskan langkah langkah dalam teknik menggambar, hingga membedah kerangka pada sebuah objek lukisan untuk mahasiswanya. Alex selalu mengajarkan murid muridnya dengan bahasa yang mudah dimengerti, sehingga banyak anak didiknya yang sering mendapat prestasi, karena Alex juga membantu mereka untuk membuka potensi serta kemampuan terdalam mereka. Hingga setelah lulus dari universitas, mereka tidak hanya memiliki ilmu dari Alex tapi ilmu murni yang berasal dari setiap denyut nadi mereka.
Karena bagi Alex ketika seseorang dapat menggambar sesuatu diatas selembar kertas putih, bukan berarti ia adalah seorang seniman atau pelukis, bahkan jika mereka dapat menggambar sebuah objek dengan sempurna seperti melakukan fotokopi, tetap saja bukan berarti ia seniman. Karena seorang seniman tidak memiliki batas, dalam artian, Alex selalu menanamkan rasa haus akan seni pada murid muridnya, memancing gairah terpendam mereka pada keindahan seni yang sesungguhnya, dan mengatakan bahkan tanpa kertas atau cat pun jika kau bisa melihat seni yang sesungguhnya, kau bisa menggunakan darahmu sebagai cat dan kulitmu sebagai kanvas.
Gila memang.. Alex membuat rangkaian doktrin yang dapat mencuci otak, namun jika dibantah sekalipun hanya akan melahirkan kebenaran yang mutlak, inilah mengapa banyak seniman ternama yang sering dipertanyakan kondisi psikisnya, contohnya Sir Vincent Van Gogh, merupakan tokoh yang sangat dikagumi oleh Alex.
“Baiklah, untuk kelas hari ini cukup sampai disini, sementara untuk pekerjaan rumah kalian adalah temukan 20 objek apapun yang ada di rumah kalian, baik itu objek yang hidup atau benda mati sekalipun, kemudian bedah kerangkanya lalu presentasikan secara singkat minggu depan.”
Kelas berakhir seperti biasa, dan saat Alex akan menuju ke kantornya ia diikuti oleh seorang lelaki yang kemudian menepuk kedua bahunya dengan keras, membuat Alex terkejut bukan main. Ingin sekali Alex mengeluarkan segala macam sumpah serapah yang tersedia di seluruh penjuru dunia. Namun hal itu harus tersimpan di ujung lidahnya kala melihat pelaku yang ingin membuat jantungnya copot.
“Hai Alex, bagaimana kabarmu?” sapa orang tersebut membuat Alex mau tak mau hanya tersenyum dengan terpaksa. “seperti biasa Carlesten” jawab Alex. Namun tidak menciptakan rasa puas atas rasa penasaran Carlesten. “baiklah, lalu bagaimana dengan Anna mu? Apakah ada kemajuan? Kau menemukannya?” tanya Carlesten. Alex hanya menghela nafas lelah, sebenarnya ia tidak suka jika siapapun selain dirinya menyebut nama Wanita yang dicintainya. “Kau tidak perlu khawatir tentang itu Carl” jawab Alex lalu memilih menghindar dan memasuki ruangan kantornya.
Tapi selain jahil, Carl juga orang yang cukup keras kepala, terbukti dengan dirinya yang masih mengekori Alex hingga kedalam. “Oh Carl! Ada banyak orang yang bisa kau ikuti, kenapa kau harus memilihku?” ujar Alex karena sudah kesal bukan main. “ckckck, aku hanya ingin membantumu kawan, maksudku aku tidak sempat melihat lukisan Anna, aku hanya melihat matanya waktu itu, maksudku jika aku ikut mencarinya kau bisa bertemu lebih cepat dengannya” ujar Carl pelan
Alex memahami bahwa Carl temannya ingin membantunya, terlebih ketika ia mengingat saat carl datang tanpa diundang seperti setan ke rumahnya, lalu tanpa sengaja memasuki ruangan Alex dan mengintip wajah Anna di kanvas, saat Itu Alex bahkan memukul Carl berkali kali dan bahkan mereka sempat mendiami satu satu lain selama 2 minggu. Meski Alex dan Carl adalah teman, bukan berarti harus membagi segalanya.
Alex memahami jika Carl menawarkan kebaikan serta pertolongan, tapi Alex adalah seorang yang keras kepala, ia juga sangat mencintai makna perjuangan, sebab baginya cinta tanpa perjuangan yang epik hanyalah kisah cinta di buku dongeng, dalam artian hanyalah ilusi dan pemanis sebelum tidur.
“Tidak terimakasih” Alex menjawab dengan pelan, membuat Carl hanya menatap sedih, ia tahu bahwa sebelumnya ia telah melanggar privasi milik Alex, tapi ini satu satunya cara baginya untuk menebus rasa bersalah.
Carl berusaha mencari informasi mengenai Anna dan dimana ia tinggal, memeriksa data kependudukan dan sebagainya, tapi rasanya seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami, wanita bernama Anna itu seolah hilang ditelan bumi, Carl bahkan menyusuri makam, barang kali Anna sudah mati. Tapi tetap tidak ada.. Siapa sebenarnya Anna?
“Kau tau? Kenapa aku tetap keras kepala seperti ini? Meski dengan resiko kau akan membenciku selamanya, itu karena kau temanku.., engkau selalu membantu disaat aku membutuhkan pertolongan, matamu selalu dapat melihat berapa banyak kesulitanku, jadi tak bisakah engkau membiarkan temanmu ini membantumu?” Carl memelas. Nada bicaranya seperti pengemis yang meminta belas kasihan.
Alex yang melihat itu juga memandang sedih pada kawannya, baginya Carl sudah seperti saudara. Tapi dalam hal ini tekad Alex sudah bulat. Bahwa ini adalah perjuangannya, demi Anna. Agar kelak jika berjumpa dengan wanitanya, Ia dapat berbangga hati karena dapat meraih Anna dengan seluruh jiwa raganya.
Ini bukan tentang Obsesi, tapi Cinta Alex yang tercipta karena seni dan pengorbanan
6 bulan kemudian… Kian hari Alex semakin menggila, kesehatannya mulai menjadi tanda tanya dan ia sering absen dari kampus, kerinduannya pada Anna telah mencapai puncaknya, meledak dan perlahan mulai menggerogoti akalnya. Bahkan Robert adiknya tidak dapat berbuat banyak, karena kakaknya terus saja mengurung diri di dalam rumah. Tak peduli meski Carl dan Robert sempat mencoba bekerja sama untuk mencari wanita bernama Anna, tetap saja tidak tertemukan. Terlebih mereka juga minim informasi mengenai wajah Anna karena Alex mengunci rapat rapat ruangan yang terdapat lukisan Anna.
“Kau yakin jika Anna memiliki mata berwarna biru?” robert bertanya pada carl yang merupakan saksi yang sempat mengintip lukisan kakaknya. “Sungguh, demi janggut kakekku yang kemarin terbakar karena pemantik rokok!, aku melihat matanya biru, meski hanya setengah wajahnya, tapi aku sempat melihat warna rambutnya juga yang coklat gelap serta sedikit bergelombang” Carl berusaha meyakinkan Robert, dan adik Alex pun mengangguk paham.
“Hampir setengah tahun aku mencari Anna untuk kakakku, namun rasanya seperti mencari sesuatu yang tidak nyata, maksudku.. adalah aku khawatir bahwa Anna hanyalah sebagian imajinasi dari kakakku. Bahkan selama ini Alex hanya sering berdiam diri di rumah, kalau pun keluar hanya untuk mengajar dan membeli bahan makanan di minimarket, Jadi rasanya sangat kecil peluang Alex menjalin asmara, Meski ia tidak satu atap lagi bersama kami, tapi aku lebih sering berada diluar jadi aku tau lingkup tempat kakakku berada”
Robert menjelaskan opininya selama ini mengenai Anna pada Carl, dan carl pun yang mendengar itu juga sedikit membenarkan karena jika dipikir pikir, wanita yang bernama Anna itu tidak pernah terlihat dimana pun atau benar benar tidak ada.
“Baiklah jika begitu, bagaimana jika hari ini kita kunjungi Alex, sudah tiga hari ia tidak mengajar, staff kampus mulai mempertanyakan keadaannya, aku tahu betul bahwa Alex benci keramaian, jadi untuk mencegah datangnya para penjenguk yang tiba tiba, lebih baik aku duluan.” Carl berucap sembari menyematkan sebuah rokok pada mulutnya sementara tangannya mencari pemantik. Robert yang melihat itu, lantas mengambil rokok dari mulut Carl lalu membuangnya ke tanah.
“Hei, bedebah kecil ini! Itu rokok terakhirku” Carl berseru tidak terima, kepalanya pusing dan ia butuh rokok. “Aku tidak menyukai asap rokok, lagi pula Alex juga benci ada bau rokok di kediamannya” ujar Robert lalu pergi begitu saja mendahului Carl yang mematung menatap rokoknya yang terkapar ditanah. “Maaf sayang” ujar Carl seorang diri pada batang rokoknya Karena baginya rokok seperti kekasih kedua dihatinya. Tapi demi kedua saudara itu ia harus menahan hasrat merokoknya.
—
Saat Robert dan Carl sampai dikediaman Alex dengan mengendarai mobil Carl. Mereka mengetuk berkali kali rumah Alex, bahkan Robert menekan tombol bel dengan brutal hingga mengundang tatapan sinis dari tetangga Alex yang lewat.
“Dasar bodoh! Kau fikir kompleks ini milik keluargamu? Orang orang tidak nyaman jika kau membuat kegaduhan Rob!” bentak Carl dan Robert pun hanya tersenyum kikuk.
“Alex, kami tau kau di dalam, kumohon keluarlah kami hanya ingin tahu kondisimu, semua orang mengkhawatirkanmu, aku tahu kau benci keramaian, jadi jika kau tidak ingin semua orang mengunjungimu, maka berikan kami kepastian hari ini bahwa kau baik baik saja” Carl berseru dari luar pintu rumah Alex, tapi dua menit lebih terlewat dengan keheningan, tidak ada balasan apapun dari Alex hingga Robert dan Carl mendengar sesuatu yang pecah dari dalam.
“Alex ?! Ada apa?!! Buka pintunya Alex!” kali ini Carl yang memencet bel rumah Alex dengan membabi buta, membuat robert memicingkan matanya sekilas pada pria pendek disampingnya, tapi tak lama ia pun juga ikutan heboh dengan menggedor gedor pintu rumah Alex.
“Carl! Ada yang tidak beres!” seru Robert membuat aksi memencet tombol yang dilakukan oleh Carl menjadi terhenti. Pria perokok itu pun segera menoleh pada adik temannya. “Sebencinya Alex diganggu, ia akan tetap membukakan pintu rumahnya, tapi untuk pertama kalinya ia tidak menjawab! Kita harus mendobrak pintunya!” Robert berseru panik membuat Carl juga ikutan panik. “A-apa kau yakin kita harus mendobraknya?” tanya Carl dengan ragu ragu karena ia masih ingat, terakhir kali ia mengusik privasi Alex, Ia berakhir menjadi samsak tinju. “Aku akan bertanggung jawab!” ujar Robert
Setelah yakin, keduanya pun sama sama mengumpulkan tenaga mereka untuk mendobrak pintu. Hantaman pertama mereka gagal hingga pada hantaman ketiga, pintu rumah Alex jebol dan menimbulkan suara gaduh yang mengundang para tetangga.
“Alex?! Alex?! Dimana kau?” Robert berteriak gaduh, sementara Carl memeriksa seluruh ruangan Alex tapi tidak menemukan siapapun Mereka berdua mencari cari keberadaan Alex hingga tersisa ruangan pribadi Alex yang terdapat lukisan wajah Anna.
“Terkunci” ujar Robert saat berusaha memasuki ruangan pribadi Alex “M-mungkin dia ada diluar” ujar Carl dengan takut, sebab bayang bayang masa lalu saat dirinya dihajar Alex kembali menyambangi ingatannya. Sebenarnya pukulan Alex cukup sakit tapi tidak mematikan, hanya saja yang membuat Carl sedikit trauma adalah hari itu rasanya yang menghajar dirinya bukanlah Alex.. Wajahnya memang Alex tapi sorot matanya seperti bukan Alex temannya. Sorot matanya seperti pembunuh yang berada di film film. Begitu dingin .. Dan menakutkan..
Carl bahkan nyaris kencing dicelana jika mengingat tatapan mata gelap milik Alex.
Cerpen Karangan: FoxyHeart
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com