Aku tak menyangka bahwa kau adalah orang yang membuatku merasakan bagaimana sakitnya mencintai tanpa dicintai. Selama ini, aku selalu mendapatkan timbal balik atas perasaanku. Tidak ada satu pun laki-laki yang pernah kuingini menolak mencintaiku. Namun, saat aku bertemu denganmu, Michael. Sangat sulit dan teramat sulit bagiku bahkan hanya untuk sekadar menjadi teman spesialmu. Bagai pungguk merindukan bulan. Miris sekali nasibku.
Banyak hal yang aku temukan padamu, tidak pada laki-laki lain. Kau orang yang sederhana, tidak suka tebar pesona, sedikit bicara banyak bekerja, bertanggung jawab, berpotensi dalam bidang yang kugemari juga, dan yang tidak kalah pentingnya, senyum manis serta kulit sawo matangmu itu. Aku sangat menginginkan seorang Michael. Sangat ingin memilikinya. Kedengarannya memang sedikit egois.
Michael. Aku tak tau apa yang membuatmu menutup hati. Mungkinkah kau merasa tak pantas karena aku lebih kaya darimu? Mungkinkah kau melihatku tak seperti wanita impianmu? Mungkinkah kau enggan bersamaku karena gengsimu pada teman-temanmu? Atau kau ingin fokus pada pendidikan dan karirmu? Manakah dari alasan-alasan itu yang benar sehingga kau tak mau membuka hati untukku?
Ngomong-ngomong, jika kau ingin tau sejak kapan aku mulai tertarik padamu, kau pasti tidak akan percaya. Lebih dari tiga tahun aku memendam perasaan ini. Setelah hubunganku dengan mantanku berakhir, saat itulah pertama kali aku bertemu denganmu. Aku yakin kau pasti lupa momen itu. Tentu saja, karena kehadiranku—sampai detik ini—tidak pernah kau anggap. Bukan begitu, Michael?
Sebenarnya aku tidak ingin menyampaikan ini. Aku tidak ingin kau menganggapku mencari simpati atau apapun, tapi beberapa waktu lalu dokter mendiagnosa aku berada di tahap akhir leukimia. Kemungkinan aku bertahan hidup hanya lima puluh persen. Asal kau tau, aku bahkan sudah berencana menghabiskan detik-detik terakhirku nanti untuk memandangi fotomu yang pernah kuambil diam-diam di ponselku. Maaf. Hehe.
Mungkin, saat kau membaca surat ini keadaanku sudah semakin memburuk. Terbaring di rumah sakit, bisa jadi. Aku tidak tau. Aku memang bodoh, Michael. Aku bodoh karena memilih tetap mencintaimu meski sakit. Aku bahkan menolak hampir setiap laki-laki yang datang dan berniat ingin mengisi sisa hidupku hanya untuk mempertahankan perasaanku padamu.
Sekali lagi, Michael. Aku hanya ingin kau tau bahwa aku sangat mencintaimu. Tidak bisakah kau membuka hati untukku? Baiklah, jika kau tetap pada pendirianmu. Tapi, aku mohon biarkan aku mencintaimu di akhir hayatku yang kurang sebentar lagi. Izinkan aku tetap mencintaimu ya, Michael.
Salam sayang, Tasya
Sungguh. Aku tidak menyangka gadis ini begitu keras kepala ingin mengejarku. Apa benar ia sakit? Jangan-jangan itu hanya akal-akalannya saja. Aku tahu betul tabiat gadis yang sering mencari perhatianku di mana pun dan kapan pun itu. Sekarang, ia mengirimku sebuah surat yang berisi semua bualannya.
“Sial!” “Siapa yang sial, Nak?” Suara itu berhasil membuatku terkejut dan langsung kuselipkan surat itu di bawah pahaku. Wanita paruh baya dengan rambut yang bergaya bob kini sudah duduk di sebelahku.
“Oh, ya. Baru saja ada yang menghubungi Ibu. Sepertinya dia temanmu. Dia mencarimu. Katanya ingin membicarakan sesuatu seputar kegiatan ekstrakulikuler. Ibu menyuruhnya untuk langsung menghubungimu saja.” Aku membelalak kaget karena tidak memeriksa ponsel. Aku pun mengambil ponselku dan melihat memang ternyata ada dua panggilan tidak terjawab dari salah seorang kakak kelasku, yaitu Lauren.
“Astaga. Benar, Bu. Ya sudah aku coba hubungi kembali. Terima kasih ya, Bu.” “Iya, Nak. Sama-sama. Oh, satu lagi. Hampir saja ibu lupa. Kemarin ada titipan untukmu. Ibu simpan di lemari pakaian ya.” “Iya, Bu. Terima kasih.”
Setelah Ibu mengusap kepalaku, ia berdiri lalu melangkah meninggalkan kamar. Sebelum menghubungi kembali Lauren, aku memutuskan untuk mengambil terlebih dahulu barang yang dimaksud oleh Ibu di dalam lemari. Barang itu berupa sebuah kotak yang ukurannya tidak terlalu besar. Aku membukanya perlahan.
“Hah?! Apa lagi ini, ya Tuhan?!” Ternyata isi kotak itu adalah sebuah bingkai foto yang lengkap dengan fotonya, yakni fotoku bersama seorang gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tasya. Aku masih ingat momen itu saat pertama kali ia menyapaku. Suaranya yang lembut, tawanya yang manis.
Hei, apa ini? Tidak, tidak! Aku ingin membuangnya. Namun, belum sampai aku di tempat sampah tiba-tiba ponselku berdering. Aku meletakan kotak itu di sembarang tempat lalu menjawab panggilan tersebut.
“Halo?” “Michael. Ini aku Lauren. Apa kau bisa menemuiku sekarang?” “Sekarang?” “Iya, sekarang. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan. Tadi aku sempat menghubungi ibumu. Apa dia menyampaikannya?” “Oh, iya. Ibu tadi mengatakan bahwa ada temanku yang menghubungi dan katanya ingin membicarakan seputar kegiatan ekstrakulikuler. Apa itu kakak?” “Aku berbohong, Michael.” “Hah?” “Maksudku, iya aku yang menghubungi ibumu dan mengatakan hal itu tapi aku berbohong.” Sungguh. Aku benar-benar bingung sekarang. Jika Lauren mencariku tidak ingin membicarakan seputar ekstrakulikuler, lalu apa?
“El. Kau masih di sana?” “Iya, Kak.” “Aku janji akan menjelaskannya nanti. Tapi, tolong temui aku di kafe depan komplek sekarang.” “Uhm..” “Tolong, El.” Jujur, awalnya aku ragu. Namun, entah datang dari mana dorongan itu hingga akhirnya membuatku mengiyakan ajakan Lauren. “Ya sudah aku ke sana sekarang. Tunggu ya, Kak.”
Aku mendengar helaan nafas lega dari seberang telepon dan setelah mengakhiri percakapan, Lauren memutus sambungan. Aku memandang ponsel di tanganku beberapa saat sambil mencoba mereka-reka apa yang sebenarnya ingin dibicarakan Lauren.
Mungkinkah ada hubungannya dengan..
“Argh, tidak!”
Cerpen Karangan: Ciaaa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com