Tidak memerlukan banyak waktu hingga aku akhirnya tiba di lokasi dan melihat Lauren kini tengah duduk dengan gelisah di salah satu kursi yang ada di kafe itu.
“Kak Lauren.”
Seorang gadis bertubuh jangkung dengan rambut panjangnya yang terurai itu langsung menatap ke arahku dan berdiri. Ia berjalan menghampiriku, kemudian menarik sebelah tanganku dan membawaku berjalan menuju tempat di mana ia duduk.
“Duduk sini.” Aku menuruti permintaannya. “Ini.. ada apa sebenarnya, Kak?” “El. Izinkan aku bertanya satu hal padamu. Jawab dengan jujur dan jangan mencoba menghindar.” Aku menelan salivaku. Pikiranku mulai berkeliaran. Namun, entah mengapa ada bayangan wajah gadis keras kepala itu tiba-tiba ikut melintas di benakku.
“Apa yang kau pikirkan tentang Tasya?”
DEG! Aku seketika tertegun. Menatap seperti apa pada Lauren, aku tidak tau. Aku tidak menyangka jika pertanyaan itu akan keluar dari mulutnya. Semakin memperkuat bukti bahwa memang benar dugaanku bahwa ini ada sangkut pautnya dengan gadis keras kepala itu.
“Jawab, Michael.” “A-aku.. tidak tau.” “Jangan pura-pura bodoh. Tasya sekarat sekarang!” Sekarat? Jadi, benar soal penyakit yang dikatakan gadis itu? Bukan hanya bualan untuk menarik perhatianku saja? Aku masih tidak percaya, tapi aku juga tidak ingin membuktikannya.
“Apa yang kau pikirkan tentang Tasya, El?” “Itu.. aku..”
Tiba-tiba ponsel milik Lauren berdering. Dia tampak panik mencari ponselnya di dalam tas lalu segera menjawab panggilan tersebut.
“Halo?” “..” “Iya, Tante.” “..” “Apa?!” Aku tersentak kaget. Lauren memandangku dengan mata berkaca-kaca. Entah apa yang dibicarakan. Pasti itu bukan sesuatu yang menyenangkan. “..” “B-baik, Tante. Aku akan mencobanya.” “..” “Iya, Tante.”
Beberapa saat kemudian, Lauren menurunkan ponselnya lalu memasukkan benda itu kembali ke dalam tasnya. Air matanya sudah menetes, tapi saat berbicara denganku ia mencoba untuk menahan isak tangisnya.
“Tolong, El. Tasya membutuhkan jawabanmu sekarang. Apa yang kau pikirkan tentangnya? Dia.. tak punya banyak waktu. Jika kau memang mencintainya, katakan sejujurnya. Jika tidak, katakan alasannya.” “Aku..” “Katakan, El. Tasya tidak punya banyak waktu.”
Baiklah. Aku mengaku. Aku memang menyukai gadis keras kepala itu. Aku menyukainya. Dia gadis yang ceria, baik, dan lucu. Setidaknya itu kesan pertamaku sebelum akhirnya aku tau dia menyukaiku dan dengan caranya dia mengejarku lebih dulu. Jujur, aku terganggu.
“Michael!” “Aku suka Tasya!” Hap. Aku langsung menutup mulutku. Lauren sempat terdiam lalu senyuman terpatri di bibirnya. Ingin ku tarik kata-kataku barusan, tapi Lauren sudah meraih tanganku. “Ikut aku ke rumah sakit. Katakan padanya bahwa kau menyukainya.”
Aku pasrah ketika Lauren menarikku, menyuruhku masuk ke dalam mobil, kemudian ia membawaku menuju rumah sakit. Setibanya di sana, Lauren masih menarik tanganku lagi sambil berjalan hingga kami tiba di depan sebuah kamar rawat inap. Beberapa orang yang ada di sana nampak murung, saling memeluk dan berlinang air mata. Aku menebak bahwa mereka adalah keluarga Tasya. Jika melihat situasinya sekarang ini, kondisi Tasya sepertinya memang cukup parah.
“Masuklah, El. Dia membutuhkanmu.”
Aku pun masuk ke dalam kamar. Setibanya di sana, aku benar-benar tak bisa menahan keterkejutan saat mendapati gadis itu memang sedang terbaring lemah dengan selang oksigen yang terpasang di hidungnya dan infus di tangannya. Di samping ranjang, ada sebuah alat pendeteksi detak jantung.
Entah mengapa, aku begitu merasa bersalah sekarang. Ditambah lagi aku melihat mata gadis itu terpejam, tidak terbuka sedikitpun meski aku sudah berada di dekatnya. Kubuang segala rasa gengsi dan maluku untuk meraih tangan gadis itu. Aku duduk pada sebuah kursi di samping ranjang.
“Bangun, Tasya. Ini aku.”
Sesak. Dadaku terasa sesak sekali. Tiba-tiba saja aku menyesali semuanya. Aku ingin Tasya kembali seperti dulu. Aku ingin Tasya yang ceria, heboh, dan lucu itu mengerjarku. Aku ingin Tasya bernyanyi dengan iringan musikku.
“Kumohon. Bangun, Sya.” Air mataku sudah menetes. Tidak peduli pada apapun lagi saat ini. Aku hanya ingin Tasya bangun. Setelah ini aku janji tidak akan menjauh darinya. Tidak akan lagi pergi darinya. Tapi, aku ingin Tasya bangun. Aku ingin mendengar suaranya.
“Aku.. menyukaimu.” Setelah mengatakan demikian aku menunduk dan menangis di atas punggung tangan Tasya yang kugenggam. Aku tidak menyangka jika akan seperti ini akhirnya. Kupikir Tasya akan melupakanku dengan aku mengabaikannya. Ia bisa memulai hidup baru dengan yang lain. Namun, ternyata sampai akhir hayatnya ia memilih tetap mencintaiku.
“Hiks.. Tasya..”
Beberapa detik kemudian, aku merasakan tangan yang kugenggam itu bergerak. Aku langsung mengangkat kepalaku dan memandang wajah Tasya. Matanya mulai terbuka. Saat itu juga aku merasa lega. Aku baru menyadari ternyata Tasya sedang memeluk fotoku.
Aku langsung teringat pada kalimatnya yang ditulis pada surat itu. Soal rencananya yang ingin menghabiskan detik terakhirnya dengan memeluk fotoku.
“Tasya, hei. Ini aku.” Gadis keras kepala itu sedikit memiringkan kepalanya dan kami pun saling berpandangan. Aku melihatnya tersenyum. Sorot matanya juga sangat tenang.
“Kau.. datang,” lirihnya. “Iya, Tasya. Aku datang. Maaf jika selama ini aku membuatmu sakit hati. Aku tidak pernah berkata jujur bahwa aku sebenarnya juga menyukaimu. Maaf.” Gadis itu tersenyum makin lebar. Tidak mengatakan apapun, hanya tersenyum. Aku pun membalas senyum manis itu. Namun, tak berselang lama senyum itu mulai memudar. Ia menggerakkan kepalanya kembali menghadap langit-langit kamar.
Perlahan matanya terpejam diikuti dengan suara panjang dari mesin EKG.
“Tidak, tidak.. Tasya!” Aku langsung menekan tombol darurat yang ada di atas ranjang itu dan beberapa saat kemudian dokter datang. Kedua orang tua Tasya ikut masuk ke dalam kamar. Aku berdiri di tengah-tengah Ayah dan Ibu Tasya.
“Tante..” Tidak ada jawaban dari wanita yang berdiri di sebelah kananku itu. Ia hanya merangkulku kemudian menyandarkan kepalaku pada bahunya. Hatiku terenyuh. Saat aku melihat dokter di sana mulai berhenti melakukan pekerjaannya, tangisku semakin pecah.
Dokter itu berjalan menghampiri kami yang berada di sudut ruangan dekat pintu. Ia mengembuskan hela nafas dan menggeleng. Aku—kami—tau apa maksudnya itu. Tasya sudah pergi tepat setelah aku memberikan sebuah jawaban untuknya. Aku.. menyukainya. Sangat menyukainya.
Di upcara pemakaman esok harinya, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan semua yang aku rasakan di depan seluruh anggota keluarga Tasya juga teman-temanku dan teman-teman Tasya. Sungguh. Aku menyesal karena pernah bersikap acuh pada gadis itu. Cintanya padaku begitu tulus.
Kau akan selalu punya tempat di hatiku. Maafkan aku ya, Tasya. Sekali lagi maafkan aku.
Cerpen Karangan: Ciaaa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com