Hujan diawal Januari tampak lebih sering turun. Ia datang membasahi bumi dan segala isinya. Pagi ini bersama derasnya hujan aku kembali mengenang dirinya. Entahlah seperti halnya hujan di bulan Januari diapun sekarang lebih sering datang dalam pikiranku. Bedanya ia tak seperti hujan di Januari yang membuat bumi segar setelah kemarau panjang melainkan ia datang membawa ingatan yang melelahkan pikiran. Bagaimana tidak lelah? Jika Ingatan yang selama ini kukubur dengan dalam. Terpaksa kembali hidup dan bersemayam di otakku.
Setiap hari, aku seolah memutar memori lama. Memori yang berisi begitu banyak kenangan.Kenangan yang selalu kuusahakan untuk tak lagi kuingat. Tapi nyatanya di bulan Januari aku gagal. Kenangan demi kenangan selalu teringat jelas. Seakan menceritakan kembali bahwa ada kisah yang pernah tercipta di bulan ini.
Disini aku kembali mengingat masalalu. Datangnya Januari memang sengaja membuatku kembali kemasa itu. Masa dimana aku masih bersama dengannya.
Tiga tahun silam, ketika Januari mempertemukan aku dengannya. Entah itu sengaja ataupun tidak, namun aku percaya tidak ada yang namanya kebetulan. Setelah bertemunya dua orang asing di gedung sekolahan. Saat itu dia adalah kakak kelasku. Seorang yang dikenal dan dikagumi banyak orang. Si pemilik senyum manis, dengan mata minimalis dan perkataan yang sopan lagi bijaksana.
Berkenalan dan bisa dekat dengannya adalah kemustahilan yang nyata bagiku. Bagaimana tidak? aku hanyalah murid baru sebagai adik kelas dengan gaya seadanya berharap bisa dekat dengannya yang berada jauh diatas sana. Namun, tidak ada kata mustahil selagi Allah berkehendak. Ia memberikan rasa lebih dari sekedar kagum yang kala itu kunamai dengan cinta.
Tepatnya Januari 2018 dia menyatakan perasaan yang selama ini kutunggu. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana bahagianya perasaanku kala itu, mendapatkan balasan perasaan dengan asa yang selama ini aku impikan. Senyuman dengan hati berdegub kencang itulah yang bisa kugambarkan. Sekarang bersama dengannya bukan lagi mimpi. Cinta, perhatian dan kasih sayangnya telah aku miliki. Harapan kebahagiaan bukan lagi hanya dariku tapi juga keluar dari haturan do’anya.
Kami pernah mengharapkan waktu yang indah itu datang. Dia pun pernah menjanjikan untuk selalu memberikanku kebahagiaan. Dia seakan membawaku terbang ke angkasa dengan menjadi sayap pelindungku.
“Aku sangat bersyukur karena bertemu denganmu.” “Aku akan selalu membahagiakanmu.” “Takkan kubiarkan airmata jatuh di pipimu.” “Kamu adalah yang terindah.” “kamu adalah yang berbeda.” “Aku akan selalu berada di sampingmu.” “Setelah lulus sekolah ini aku akan membawa hubungan kita kearah yang lebih serius.” Setidaknya itulah kalimat yang sempat ia janjikan. Kala itu aku dan orangtuaku sangat yakin. Janji dan katanya yang manis memberikan ketenangan untukku. Orangtuaku sangat mempercayakanku kepadanya. Bahkan mengenai harapan masa depan yang ia janjikan.
Hingga tibalah saat ketika cita-cita membuat kami berjarak. Dia melanjutkan pendidikan yang jauh dari pandangan mataku. Aku ingat beberapa hari sebelum ia pergi. Dia sempatkan datang ke rumahku meminta izin pada kedua orangtuaku seraya berjanji bahwa kepergiannya untuk kembali memberikan kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku percayaakan hal itu. Kutanamkan harap pada setiap perkataannya dan berjanji pada diriku sendiri untuk setia menunggunya disini.
Beberapa bulan berlalu hubungan kami masih seperti biasa. Perhatian dan kasih sayangnya masih sama. Setiap permasalahan kami selesaikan dengan baik, belum ada sifat ego yang tampak. Hari demi hari berlalu ada keanehan yang kurasakan, seperti ada sesuatu yang ia rahasiakan. Selang beberapa hari dia mulai tampak berbeda. Komunikasi tak lagi lancar, kala itu kupikir mungkin karena kesibukannya. Aku paham karena aku pun masih berstatus sebagai pelajar dengan rutinitas yang tak kalah padatnya.
Semakin lama semakin tak sama, itulah yang kurasakan. Dia semakin sering menghindar dariku. Dia seperti ingin melepas tapi belum menemukan cara untuk bebas. Aku sadar akan semuanya, aku paham disana masih ada yang lebih menggoda dariku, aku paham perihal itu. Namun, ada satu hal yang belum bisa aku relakan. Bagaimana mungkin aku rela melepaskan orang yang sudah mengajakku berjalan sejauh ini, bagaimana mungkin aku melupakan semua janjinya, bagaimana mungkin aku melupakan harapan yang sempat kami lafalkan bersama.
Hari itu cuaca diluar sedang hujan ketika ia mengatakan untuk menyudahi semuanya. Tanpa disadari air mata ini mengalir seperti derasnya hujan diluar, aku merasa kehilangan separuh jiwaku, aku merasa kehilangan kendali untuk berjalan dengan tegap. Janji yang dulu terucap jelas telah menjadi kalimat yang tak lagi berarti. Dia benar-benar telah pergi dan takkan lagi datang padaku. Dia menghilangkan aku dari ruang tinggal hidupnya. Dia melenyapkan kenangan bersamaku.
Sekarang kami memang telah menjadi orang asing dengan kehidupan masing-masing. Aku sungguh merasakan sakitnya sebuah pengharapan. Merasakan kekecewaan yang mendalam. Hingga akhirnya aku menjadi wanita yang tak peduli pada sekitar, kujadikan hatiku sekeras batu karang. Aku menjadi orang asing di kehidupanku sendiri. Aku hanya bisa diam ketika orang sekitar bertanya perihal tentangnya. Bukan karena tak memiliki jawaban hanya saja jika harus kukatakan dengan sebenar-benarnya aku takut mereka malah ikut membenci dirinya. Cukup aku saja yang tau, biar aku saja yang terluka, biar aku saja yang kecewa.
Setelah satu tahun berlalu Januari kembali menyambutku dengan perasaan yang masih tetap utuh. Harapan yang kugenggam erat harusku lepas dengan berat. Sebuah rasa yang masih kusimpan rapi harus kubunuh dengan separuh hati. Kuperjuangkan sekuat tenaga menghapus kenangannya. Aku ikuti segala kegiatan agar bisa melupakan pikiranku tentangnya. Ya, setelah hari dimana dia memutuskan hubungan kami. Aku menjadi orang yang sangat pandai berdrama, aku sungguh tampak bahagia padahal nyatanya malamku masih dihiasi dengan airmata.
Bagaimana mungkin aku bisa bahagia jika sakit hatiku belum menemukan titik sembuh. Sakit hati karena dikhianati oleh orang yang pernah menjanjikan kebahagiaan. Dia pergi, hilang, dan tak menyisakan sedikitpun jejak selain kekecewaan. Dia memang seperti senja yang hadir sejenak menyuguhkan keindahan lalu pergi menyisakan ketiadaan. Bagaikan rintik hujan yang datang tanpa suara masuk tanpa mengetuk dan pergi tanpa permisi. Menjanjikan hari untuk tidak ada pengkhianatan, membawaku melewati setiap detik kejadian yang tak pernah aku bayangkan hingga berada sejauh ini. Tapi nyatanya apa? Setelah jarak itu ada dia seketika lupa akan semuanya. Dia lupa bahwa masih ada aku yang menunggunya disini.
Andaikan saja tempat dan waktu itu tidak mempertemukan kami, andaikan dia tak memberikan janji manis mungkin saja aku tidak merasakan sesakit ini.
Tahun pertama hampir berlalu Januari kedua sebentar lagi menyambutku. Perlahan aku mulai menghilangkan perasaan itu. Walau sebenarnya ia tak benar-benar hilang. Aku hanya menguburnya bersama kenangan dan sesekali kuluangkan waktu menziarahinya untukku ambil pelajaran atau sekedar kukenang.
Di Januari tahun ini hatiku mulai bisa menerima. Aku menyadari bahwa sebuah kehilangan tidak semestinya kubenci barangkali dibalik kehilangan tersimpan sebuah keindahan. Ya, di Januari tahun ini aku sudah memaafkannya aku tak lagi mengharapkan kepulangannya. Ternyata kehilangan dia tak seburuk yang aku pikirkan masih ada dampak positif dari setiap airmataku yang jatuh. Meski kala itu dia seperti hujan yang datang tanpa diminta, lalu pergi tanpa pamit dan meninggalkan rasa sakit. Meski dibeberapa tahun lalu ia menyita waktuku, membuatku menunggu padahal dia telah pergi menjauh dariku.
Untuk Januari yang kedua kalinya aku tidak ingin menjadi wanita yang lemah, aku tidak ingin menghabiskan waktuku dengan kesedihan, aku harus bangkit dari keterpurukan. Aku harus bahagia, aku harus berhenti berdrama, aku yakin aku bisa. Aku harus lepas dari bayangannya, aku harus bisa berdiri kembali, aku harus bisa menerima takdir. Takdir dimana dia bukan lagi ia yang dulu. Aku harus menemukan tempat baru seperti ia yang sudah menemukan tempat baru disana. Aku harus bangkit untuk melanjutkan perjalanan ini. Aku harus membenahi diri agar kemudian bisa bertemu dengan orang yang tepat diwaktu yang tepat pula.
Seperti itulah asaku di Januari kali ini. Walaupun tidak bisa kupungkiri bahwa Januari kali ini kembali membuatku mengingatnya. Mengingat setiap tetes airmata, setiap langkah perjuangan dan asa yang duluku lakukan untuk melupakannya. Bagiku tidak masalah jika Januari menolak untuk dilupakan. Setidaknya aku bisa sadar bahwa dulu aku pernah sebodoh itu dalam hal percintaan. Barangkali dengan datangnya Januari membuat diriku lebih kuat, lebih bijak, dan lebih berhati-hati dalam mempercayai janji.
Sekali lagi lewat Januari kali ini, kusampaikan kepadanya bahwa aku sudah bahagia, tak ada lagi airmata, tak ada lagi luka dan kecewa. Kepergiannya kala itu memang membuatku merasa sejatuh-jatuhnya namun ada pelajaran berharga dimana aku paham dan sadar, bahwa tidak semua Janji bisa dipertanggungjawabkan setelah ada kata jarak antar mata.
Cerpen Karangan: Septia Blog / Facebook: Septia Tempat/Tanggal lahir: Siduk, 18 September 2001 Alamat: Sukadana Kab. Kayong Utara Prov. Kalimantan Barat
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com