Kejadian itu sudah 10 tahun berlalu. Namun aku masih menyimpannya dengan jelas di dalam memori ingatanku. Namaku Irene, Airin, atau apalah itu. Pada saat itu, ketika aku masih duduk di bangku SMA, tepatnya kelas 2. Seseorang selalu menungguku sepulang sekolah di depan gerbang, dengan gugupnya dia memberikan aku surat setiap harinya. Namun sayangnya surat-surat itu tidak pernah mau kubaca. Aku hanya menerimanya saja, namun setelah itu hanya tertumpuk di laci meja belajarku. Bahkan tak jarang langsung kubuang.
Hingga tiba saatnya aku merasa kesal. Bukan hanya setiap hari memberiku surat, dia juga pernah ngasih cokelat, bahkan seikat bunga. Aku tidak suka, seketika anak-anak yang lain mulai menggodaku. Mengatakan bahwa pria itu adalah kekasihku. Mulai hari itu, aku membencinya. Tak jarang kumaki-maki dia di depan umum. Ketika aku bersama Wati sedang jajan bakso di kantin, lagi enak-enaknya makan, dia datang membawa sebatang cokelat lagi. Kusuruh dia pergi, tapi dia diam saja. Dia tidak mau pergi jika aku belum menerima cokelat itu. Aku muak! Kurebut cokelat itu dari tangannya, ku buang ke lantai, lalu kuinjak-injak sampai cokelat itu hancur dan kotor karena sepatuku.
“Pergi! Aku gak mau lihat wajah kamu lagi!” kata-kata itu terlontar dari mulutku dengan lantang. Seketika semua orang yang ada di sana menatap ke arahku. Aku benar-benar malu, tapi aku emosi. Kulihat pria itu menundukkan kepalanya, sebelum amarahku semakin jadi, dia bergegas pergi dengan tubuhnya yang terlihat lemas.
Wati bilang, aku sudah keterlaluan, aku tidak bisa menghargai perasaannya. Menurutku, sih, itu bagus. Biar dia tidak lagi suka kepadaku. Saat itu, Wati sepertinya tidak mengerti, betapa aku merasa terganggu karena kehadirannya. Sejujurnya, aku juga sama sekali tidak tertarik oleh pria itu, ditambah lagi sikapnya yang begitu agresif. Kulihat, dia hanyalah anak yang berpenampilan biasa-biasa, berpakaian terlalu rapi menurutku itu cupu, culun dan kolot. Meski dia tidak menggunakan kacamata tebal seperti kutu buku lainnya, tapi aku yakin, dia orang yang sangat rajin pergi ke perpustakaan.
Kalian harus tahu, tipe idealku itu bukan seperti dia. Aku suka pria yang jago olahraga, dan memiliki posisi yang cukup baik di sekolah. Seperti Barga. Ya, aku memang sudah menyukai Barga cukup lama. Harusnya pria itu sadar, jauh sekali penampilan dia dengan Barga. Dasar tidak tahu diri.
Semenjak kejadian di kantin beberapa waktu yang lalu, aku jadi tidak pernah melihatnya lagi. Bahkan kehadirannya tidak bisa aku rasakan di tempat yang sama. Entah dia ada dimana, saat itu aku jadi sadar, untuk apa aku mencarinya? Toh, harusnya aku senang, tidak ada lagi yang menggangguku.
Namun entah apa yang aku rasakan, setiap pulang sekolah, biasanya ada yang menungguku tepat di depan gerbang hanya untuk memberikan secarik kertas yang berisikan untaian-untaian kata yang tidak pernah kubaca sama sekali. Rasanya ada yang kurang. Rasanya, aku mulai berpikir bahwa aku benar-benar keterlaluan waktu itu. Pasti pria itu marah padaku, dia membenciku, dan berpikir bahwa aku adalah wanita yang kasar, seperti tidak pernah diajari sopan santun oleh kedua orangtuaku. Tapi sungguh, aku tidak seperti itu. Dan mulai besok, sepertinya aku harus meminta maaf pada pria itu. Kuakui, ini semua salahku.
Keesokan harinya, pada tanggal 13 Oktober 2009 aku datang menemuinya di kelas 2 Ipa B. Kulihat tidak ada di sana, bahkan tasnya saja tidak ada di bangku tempat dia duduk. Kutanya Ihsan, yang kutahu dia yang paling dekat dengan pria itu.
“Ihsan, ya?” tanyaku pada saat itu memastikan. “Iya, ada apa, ya?” katanya. “Lihat Haris gak?” kuharap namanya benar, karena selama ini, aku sama sekali tidak tahu nama pria itu. Kulihat Ihsan kebingungan, kemudian dia sepertinya mengerti. “Oh, Oris, ya?” ah, aku tidak tahu kalau namanya itu Oris. “Ada apa?” tanya Ihsan lagi. “Oh, jangan-jangan kamu Irene, ya?” Ihsan tahu namaku. “I-iya,” aku jadi gugup. “Oris sudah lama gak masuk sekolah. Sudah sering dia begitu.” Aku terkejut bukan main. Jadi selama ini dia tidak sekolah? Pantas saja aku tidak pernah melihatnya.
“Ke-kenapa sering gak masuk sekolah?” aku takut itu karena dia marah kepadaku. “Dia sakit.” “Sakit apa?” “Kurang tahu,” Ihsan menjawab singkat, kemudian dia pergi meninggalkanku. Jantungku berdesit, entah apa yang aku khawatirkan, padahal bisa saja Oris hanya sakit batuk pilek.
Aku tidak pernah tahu, bahwa sorenya sepulang sekolah ketika aku sampai di rumah, Wati tiba-tiba meneleponku. Terdengar suara tangis di sambungan telepon, aku bertanya pada Wati, ada apa? Wati cukup diam, dan menghirup udara dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Setelah itu, Wati bilang jika Oris sudah tiada. Dia meninggal dunia. Sekitar pukul 1 siang, karena penyakit yang dideritanya. Kanker darah atau leukimia yang sudah stadium akhir. Dimana sel kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuh Oris.
Pada saat itu, aku tidak tahu harus bagaimana, yang kulakukan hanyalah menangis larut dalam perasaan bersalah yang teramat dalam. Mendengar kabar tersebut, layaknya tersambar petir di siang bolong. Lututku lemas, aku merasa hancur, aku seakan membenci diriku sendiri. Dalam hati, kuucapkan beribu-ribu maaf untuk Oris.
Setelah pulang dari pemakaman, tempat dimana peristirahatan terakhir Oris, aku bergegas mengurung diri di dalam kamar. Masih dalam kesedihan, kubuka laci meja belajarku yang penuh dengan surat-surat pemberian Oris waktu itu. Kuambil salah satu surat itu yang berwarna biru, kulihat bait-bait tulisan tangan yang terlihat begitu rapi tersusun membentuk untaian-untaian kata yang mampu membuatku semakin terisak.
Untuk Irene Pradipta Kamu lucu. Mari kita berkenalan. Tapi, aku sudah tahu namamu. Namaku Oris. Oris saja, tidak pakai kepanjangan. Biar apa? Biar irit. Jika sudah berkenalan, bolehkah kita berkencan? Kenapa ngajaknya lewat surat? Karena, aku tidak berani. Aku suka padamu. Jadilah wanitaku, di sisa-sisa akhir hidupku. Mau?
Dan kalian harus tahu, setelah aku membaca surat itu, aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada pria biasa itu, pada pria yang selalu menungguku sepulang sekolah di depan gerbang hanya untuk memberiku surat, pada pria yang pernah memberiku cokelat dan seikat bunga, pada pria yang sudah ku maki-maki di depan umum, pada pria yang kini sudah tiada.
Tiada penyesalan seumur hidupku jauh sebelum aku mengenalnya. Akupun memutuskan untuk menikah pada tahun 2017 dengan pria yang usianya lebih tua 5 tahun dariku, dan kini aku sudah dikarunia seorang putri.
Terimakasih, Oris. Kamu sudah mengajarkanku bagaimana aku harus mencintai suamiku setulus hati, aku akan selalu menghargai apa-apa yang telah dia beri untukku. Maafkan aku, Oris.
END
Cerpen Karangan: Dinda Cahya Rizkita Blog / Facebook: Dinda Cahya Rizkita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com