Jam 6 sore Audrey mendapat pesan berisi foto dengan keterangan “Ini kan tiket nya Rey?.” Orang yang mengirim pesan itu adalah perempuan bernama Embun. Ini baru pertama kalinya Embun pergi menggunakan kereta di usianya yang sudah lumayan tua, 30 tahun. Embun sudah berada di stasiun sore itu, keretanya berangkat jam 19.15. Setelah mendapat balasan pesan dari Audrey temannya, dia mulai tenang. Tidak ada lagi yang harus disiapkan pikirnya, dengan muka sumringah sambil berdiri di dekat pemeriksaan tiket. Tiga puluh menit sebelumnya Embun kelimpungan di depan mesin percetakan tiket. Audrey membantunya memesankan tiket kereta beberapa hari sebelumnya secara online dan memberi tahu dia bagaimana cara mencetak tiket.
Embun masih berdiri di dekat petugas yang memeriksa tiket dan belum diizinkan masuk ke area keberangkatan karena belum waktunya. Dia mulai gugup dan berkaca, lalu pergi ke mini market terdekat untuk membeli cemilan. Dia sempatkan beberapa kali berkaca di cermin besar di dalam mini market tersebut. Terlihat refleksi dirinya di depan cermin, perempuan yang sering dikira berumur 25 – 26 tahun itu tingginya 160 cm dengan berat 55 kg, bergaya casual dengan kaus putih polos, celana jeans, sneakers, dan rambutnya dibawah bahu dicat high light. Tidak ada orang yang bilang Embun jelek, tapi hanya sedikit yang bilang dia cantik.
Akhirnya Embun masuk ke area keberangkatan, stasiun di Bandung ini lebih ramai dibandingkan pasar pada Jumat malam ini. Segerombol orang duduk padat menunggu kereta datang. Beberapa muka mereka tampak senang mungkin mereka pergi untuk pulang setelah lelah bekerja di Bandung. Beberapa dari mereka pun tampak muram mungkin mereka harus pergi untuk urusan yang tidak menyenangkan. Rata-rata mereka membawa tas besar pertanda akan meninggalkan Bandung dalam waktu yang cukup lama. Embun melihat bawaannya sendiri hanya satu kantong hitam kecil bermerk, berisi dua pasang baju saja, ya, karena hanya untuk satu hari saja Embun pergi. Dia duduk menunggu kereta tujuan Gambir-Jakarta datang. Hatinya berdebar tak karuan sambil bisik di dalam hatinya ini pertama kalinya dia pergi ke ibu kota sendirian malam-malam dengan urusan yang tidak terlalu penting, bertemu seorang pria yang belum pernah dia temui sebelumnya.
Embun duduk dekat jendela dalam gerbong eksekutif, sayang malam ini tidak ada pemandangan yang bisa dilihat di luar jendela, hanya hitam pekat dan pantulan bayangannya sendiri yang terlihat. Sebelahnya duduk seorang pria muda sepertinya sebaya dengannya. Sepanjang perjalanan si pria hanya fokus makan makanan ringan yang dia bawa sambil menelepon keluarganya. Entah apa yang dibicarakan, Embun tidak ingin tahu. Dia hanya fokus pada jantungnya yang berdebar setelah dia kirimkan pesan pada seorang pria di Jakarta sana “Dam, keretaku sudah berangkat”. Bagaimanapun berpergian naik kereta sangat nyaman, getaran roda yang beradu pada rel dan membuat kita bergoyang, bagaikan seorang ibu yang sedang menimang bayinya supaya tertidur.
Sepuluh menit setelah memejamkan mata dia mendapat pesan “kalau nanti sudah lihat banyak lampu berarti sudah hampir sampai, aku tunggu kamu di stasiun.” Kata si pria orang Jakarta. Sudah dari tiga hari sebelumnya mereka merencanakan tentang pertemuan ini. Embun tidak sabar bila harus menunggu lama supaya mereka ketemu di Bandung saja. Jadi dengan rela hati, dia memutuskan dia saja yang datang ke Jakarta. Embun ingin juga lihat ancol yang kira-kira sudah dua puluh tahun tidak dia kunjungi.
Sungguh pria yang pengertian, dari jauh-jauh hari Embun dipesankan kamar di sebuah hotel besar berbintang lima tepat daerah Ancol dengan kamar yang menghadap ke pemandangan laut. Ini yang membuat Embun semakin penasaran dengan sosok pria yang akan ditemuinya setelah sekitar dua minggu berhubungan tanpa bertemu, video call saja pun tidak. Yang Embun tahu pria ini adalah pria pintar yang berselera unik dan mahal. Seorang lulusan universitas no 1 di Indonesia, dan sedang melanjutkan pascasarjananya, masih di universitas yang sama. Politik jurusan yang dia tempuh namun sangat menguasai filsafat, dan sastra. Tentu seseorang yang gemar membaca dan bersosialisasi. Seorang pria yang gemar golf dan makan makanan klasik. Mereka kenal dari salah satu aplikasi kencan yang terkenal, sebuah aplikasi yang berasal dari Amerika namun banyak digandrungi juga di Indonesia.
Kereta sampai di Gambir, sungguh rasanya mau copot jantung Embun ketika laju kereta berhenti menandakan sudah sampai, jam menunjukan jam 22.15. Suasana Gambir di malam hari cukup gelap namun tetap banyak orang yang lalu lalang. Masih ada beberapa porter yang sigap mencermati orang yang bawa banyak bawaan.
Embun turun melewati jalur kedatangan menuju pintu keluar “apakah tampilanku sudah oke?” tanyanya dalam hati. “Aku tunggu tepat di luar area kedatangan, aku pakai kemeja hitam dan celana coklat” kata si pria dalam pesan singkatnya. Embun sampai pada area kedatangan, matanya berkeliaran mencari seseorang, sampai melihat sosok yang dia cari sedang berdiri tepat di bawah tiang besar dan sedang menatap dirinya. Embun berjalan dan si pria jalan mendekat pula. Embun memberikan senyum mengembangnya dan si Pria menyodorkan tangannya untuk bersalaman seraya berkata “ini loh yang namanya Damar”.
Damar membawakan tas Embun sambil berjalan ke parkiran. Sambil berjalan dan bercengkrama Embun memperhatikan Damar dengan seksama, badannya tinggi besar, kulitnya cukup putih untuk seorang pria, matanya hitam pekat sepekat kopi hitam yang diseduh tanpa gula, hidungnya mancung, bentuk rahangnya khas menunujukan asli mana dia berasal, ubannya berjejer rapi di kanan dan kiri rambut, dan sedikit-sedikit ditemukan di kumis tipisnya. Pria berumur 33 tahun ini sepertinya seorang tipe pemikir. Mungkin uban-uban itu adalah buah dari pemikiran-pemikirannya. Bagaimanapun Damar adalah sosok yang tampan perlente bagi Embun.
Embun masuk ke dalam mobil berwarna hitam, yang kata si pemilik beruban itu, mobilnya hanya ada enam unit di Jakarta. Ini pertama kali Embun naik mobil mewah, sungguh nyaman duduk di kursi depan sambil melihat langit malam Jakarta karena si pemilik sengaja membukakan sunroof mobilnya. Mereka mendengarkan lagu Janis Joplin berjudul Bobby McGee yang diulang beberapa kali.
Mereka pergi ke hotel yang sudah Damar pesan dari beberapa hari lalu, Embun tahu dia dan Damar akan bersama dalam satu kamar. Ini adalah hari yang nenyenangkan bagi Embun karena baru kali ini dari 30 tahun hidupnya dia diperlakukan seperti perempuan yang istimewa. Damar memperlakukan Embun dengan lembut dan perhatian.
Mereka menyandarkan badan di sofa sambil menikmati minuman penghangat badan. Embun membuka percakapan selanjutnya, “Dam there is something that you have to know” Embun tidak kuasa menceritakan suatu pengakuan diri dengan bahasa, setidaknya bila pakai bahasa lain dia tidak akan terlalu malu. “Tell me” jawab Damar. “First, my real name is not Embun” sambil menyodorkan tiket kereta yang tertera nama aslinya di sana. “hmm it’s okay, tapi boleh kan kalau aku panggil Embun aja, karena aku kenal kamu dengan nama itu” Sahut Damar. “Yes, it is okay, and the second I am a wife” ungkap Embun sambil menatap dalam ke mata Damar dan siap-siap menerima kemarahan Damar. Damar terbelalak kaget. Dia mengedipkan matanya beberapa kali dan memandang ke arah lain sambil sesekali menatap Embun, namun tidak ada sedikitpun ekspresi kemarahan di mukanya. Damar hanya terdiam mendengarkan Embun.
“aku seorang istri juga seorang ibu dengan 2 anak, rumah tanggaku kurang lebih sudah 5 tahun. Tiga tahun belakangan ini hubungan kami kurang harmonis, dan beberapa minggu ini aku menemukan bukti bahwa suamiku berselingkuh. Aku melihat video dan beberapa bukti chating-an mereka. Dia tetap selalu menyangkal. Yang aku rasakan bukan lagi hati yang sakit dan luka, itu sudah aku rasakan dari dua tahun belakang saat aku menemukan beberapa bukti pertama keisengannya. Tapi yang aku rasakan lebih menyakitkan bagiku, perasaan mati rasa dan kesepian. Kurang apa aku sebagai wanita? merengek-rengek minta uang untuk make up pun tidak. Sehari-hari aku hanya bekerja lalu pulang ke rumah dan mengurus anak-anak. Aku juga selalu menyempatkan waktuku untuk membahagiakan mertuaku. Tapi dia jarang pulang. Aku jarang disentuh olehnya. Sekalinya dia ingin menyentuhku di tengah malam saat dia pulang larut dan aku sudah tertidur lelap, aku ingin tapi aku pun lelah dan ngantuk. Apa salah aku menolak? Stigma masyarakat dari agamaku adalah kami, perempuan dilarang menolak saat suami ingin berhubungan. Tapi perempuan pun manusia, apa perlu aku mencari kebenaran sebuah kalimat di kitab agama kami yang membenarkan bahwa perempuan punya beberapa hak juga? Toh saat aku ingin bercinta dia tidak pulang ke rumah. Dan entah dia melakukannya dengan siapa saja. Kini selama beberapa bulan terakhir, keadaan ini pun membuatku menjadi pecandu, pecandu soju. Aku ingin mencari kesenangan.”
Embun menunduk matanya berkaca kaca. Seolah-olah semua isi hati dan perasaannya tercurahkan. Damar menatap nanap ke arahnya, terlihat empati yang besar terpancar dari kedua bola mata yang hitam pekat itu, seraya berkata “let me hug you, kamu pasti lelah, kamu kesepian”. Embun menyambut pelukannya, badan itu terasa hangat, Damar mempererat pelukannya.
Badan besar itu memeluk Embun lama, bau parfume nya membuat Embun semakin nyaman. Rasanya sudah lama sekali Embun tidak merasakan pelukan yang begitu hangatnya. Mereka saling melepaskan pelukan dan saling bertatap. Damar mendekatkan mukanya menuju bibir Embun, Embun memejamkan mata. Mereka berciuman.
Masih di sofa yang sama Embun naik ke atas pangkuan Damar masih berciuman sambil membuka kancing kemeja Damar satu persatu. Damar menggendong Embun dan menaruhnya di ranjang, dilucutilah pakaian Embun satu persatu hingga hanya jam tangan lah benda satu satunya yang menutupi tubuhnya.
Malam itu sungguh pendek karena fajar sudah muncul di ufuknya, namun bagi Embun dia sedang melewati malam yang panjang. Suara seruan pagi sudah duluan muncul dan mereka belum selesai. Perihal ranjang adalah cerita yang panjang. Sampai kepada suatu perkara yang sudah selesai, Damar mencium kening Embun, ditatapnya kedua mata hitam itu oleh Embun, mata yang menenggelamkannya kedalam sebuah simpul, ikatan tali temali dalam hati, lingkaran kusut yang buram seperti kabut, cinta. Embun mulai jatuh hati. Damar tidak melepaskan pelukannya sambil tertidur dan mendengkur, suara dengkurnya tidak kalah keras dengan suara ombak Ancol diluar sana.
Cerpen Karangan: Devina Putri Aruma Blog / Facebook: devinadepot Saya seorang single mom, karyawan swasta, dan juga mahasiswi magister manajemenn di salah satu Universitas swasta di Bandung. Menulis adalah kegemaran saya di kala senggang.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com