Siang hari mereka berkeliling ibu kota, kota yang acap disebut kota polusi dan korupsi namun menyimpan sejuta makna bagi orang yang jatuh cinta. Damar lebih memilih mengajak Embun ke tempat-tempat bersejarah sambil menerangkan cerita-cerita di balik tempat itu. Terik panas membuat mereka beristirahat di sebuah kedai eskrim daerah Veteran yang sudah berdiri dari tahun 1932. Tidak banyak yang dilakukan Embun karena Damar selalu sigap, bahkan untuk urusan mengambil minum dan pesanan. Damar memperlakukan Embun seperti ratu.
Embun penasaran dalam hatinya dia bertanya “aku perempuan yang sangat biasa biasa saja, tidak begitu pintar, cantik, dan sexy. Bukankah kata biasa itu tidak menarik? kenapa dia yang berduit, sangat pintar, dan cukup tampan memperlakukan aku seperti ini?”. Damar bicara tiba-tiba seolah mengerti apa yang dipikirkan Embun dalam hatinya. “Coba kamu noleh ke pinggir! Kamu tahu, kamu itu menarik, kamu gak kelihatan sudah punya anak dua. Kamu pun masih terlihat sekitar umur 26 tahunan. Kamu pintar, aku lebih nyambung ngobrol denganmu ketimbang sama anak-anak pejabat pemilik partai. Aku bilang mereka keren dan pintar padahal gak ada apa-apanya”. Tutur Damar. “Tapi aku gak pernah merasa begitu, kadang aku gak ngerti, siapa aku, bagaimana aku? aku sering kali gak merasa percaya diri, dan jelas gak merasa bahagia” Jawab Embun. “Kamu kehilangan jati dirimu sebagai perempuan, arti perempuan saja biasa buatmu, mungkin karena kamu lama hidup dengan seorang patriarki. Tugas mengurus anak dan segala urusan rumah bukan tugas perempuan saja, tapi tugas lelaki juga. Untuk apa Simon de Beauvoir berjuang keras untuk penyetaraan gender di awal abad 20-an, dan untuk apa Olympe de Gouges dihukum mati demi menegakan hak-hak perempuan dan menghapus perbudakan. Kalau kamu masih berpikir begitu, kamu kehilangan jati dirimu sendiri sebagai perempuan. Kamu kehilangan nalar kritismu”.
Embun terbelalak, semua kata-kata itu keluar dari mulut seorang laki-laki. Bagaimana bisa seorang laki-laki bisa sangat peduli dengan kesetaraan gender? Jantung Embun berdebar, dia merasakan aliran darahnya mengalir deras seperti sensasi kesemutan. Dalam hati dia berbicara “aku mengalami serangan panik, ini panik yang luar biasa, aku benar-benar jatuh cinta. Oh Tuhan bagaimana ini? celaka aku!”
Hingga setelah beberapa tempat bersejarah mereka kunjungi di kota itu, mereka pergi ke tujuan terakhir yang ingin Embun kunjungi sebelum kereta membawanya kembali ke kota asal. Ancol pantai kecil nan imut yang membuat hati kalut. Mereka berdiri di atas jembatan kayu seraya melihat pemandangan laut yang terbentang. Angin tidak cukup besar hari itu namun tetap syahdu terasa merasuk ke dalam pori pori sanubari. Suara ombak yang riak terdengar merdu saat cinta terasa dungu. Diatas langit ada sekelompok burung terbang memutar seperti sedang menonton pasangan sejoli yang sedang melamun menjauhkan pandang.
Embun memecah sunyi “Aku melihat 2 ciptaan Tuhan yang indah di sore ini, laut dan kamu”. “Aku adalah si abu-abu, terhimpit terbelenggu diantara kamu dan suamimu. Aku perahu ikan tanpa nelayan terombang ambing di tengah lautan tidak jelas tujuan, kita hanya ingin berenang namun enggan karam” seru Damar, lalu melanjutkan kalimat yang memupuskan harapan Embun “aku tidak mau mengikat kamu, aku bukan orang yang ber-romansa, masih banyak ambisi dan cita citaku yang harus aku wujudkan, aku gak mau semua rusak karena perihal cinta. Kamu perempuan yang benar-benar menarik dan buatku nyaman, tapi kamu bukanlah sebuah pelabuhan Embun” Sambung Damar.
Damar melepaskan pandangannya lagi ke laut tepat di garis ufuk yang sekarang menguning semakin pekat perlahan dan matahari tenggelam. Embun masih sama melihat pemandangan indahnya sunset yang terlihat jelas hingga langit menjadi gelap, bayangan orang disampingnya pun tidak nampak, langit gelap. Tapi hatinya lebih gelap. Sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Damar mengantarkan Embun sampai ke stasiun, membawakan tasnya sampai ke pintu keberangkatan. Dia terus melihat ke arah Embun sampai punggung itu tidak terlihat lagi, teringat di kepalanya kata-kata Embun sebelum dia pamit “mungkin 3 tahun lagi kita bisa bertemu, setelah semua ambisi menjadi basi”.
Lima bulan berlalu dari pertemuan mereka, banyak hal yang terjadi pada Embun, keretakan rumah tangganya yang semakin menjadi hingga akhirnya Embun memutuskan untuk menggugat cerai suaminya. Hanya satu yang dia ingat sebelum datang ke pengadilan agama untuk mendaftarkan percerainnya, Embun tidak rela untuk menjadi perempuan yang bodoh. Baginya lebih baik menjadi pintar dari pada menjadi cantik. Kepintaran adalah modal utama sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Dia ingin menjadi Kartini bagi dirinya sendiri.
Damar menghilang tidak ada kabarnya sama sekali, sempat Embun mencari kabar Damar tapi nihil. Embun tidak tahu bagaimana perasaan Damar yang sebenarnya terhadapnya. Tapi yang terasa olehnya adalah cinta yang tak terbalas. Namun Embun sangat berterima kasih kepada Damar, dia mengajarkan suatu hal. Apa itu perempuan.
Berbulan-bulan berlalu beberapa laki-laki singgah dalam cerita kehidupan Embun. Mereka datang dan pergi, sering kali Embun yang pergi dan menghilang meninggalkan mereka. Semenjak bertemu Damar, Embun berubah menjadi sosok yang percaya diri, itu membuat dirinya semakin menarik. Tapi tetap saja tidak ada satupun yang Embun cintai, hatinya bagai tertinggal pada kenangan suatu malam di hotel berbintang hari itu, Damar dan Damar selalu dia. Embun bagai terjebak dalam lubang tak bertangga.
Sudah hampir tiga tahun berlalu, bagaimana kabar Damar? apakah dia sudah mendapat gelar doktor nya? apakah dia sudah punya Mercy dan rumah di pegunungan? Bagaimana kabar uban-uban itu apakah semakin banyak? Pertanyaan-pertanyaan ini terlintas di benak Embun saat dia duduk di dalam gedung serba guna besar suatu universitas terkenal di Bandung, saat menunggu namanya dipanggil agar rektor memindahkan gandulan pada toganya. Embun menyelesaikan pascasarjananya dengan nilai cum laude. Ibu dua anak yang bergelar M.hum. pada usia 33 tahun, baginya tidak ada keterlambatan untuk pendidikan bagi perempuan.
Minggu 18 Agustus 2019, Pagi itu suasana bandara Soekarno-Hatta tidak begitu ramai, Damar turun dari tangga pesawat. Pulang kembali ke Indonesia setelah menjalankan bisnisnya di Canada selama 2 tahun terakhir ini. Senyum menyeringai saat dia menapakan kakinya kembali di tanah kelahirannya. Berjalan santai ke area parkir, sebelumnya dia menyuruh seseorang mengantarkan mobilnya ke bandara. Tiba dia di depan mobil Mercy berwarna biru keluaran terbaru, membuka pintu dan mengendarainya menuju kedai Es krim yang pernah di datanginya 3 tahun lalu. Setelah memesan 1 mangkuk eskrim rasa vanilla, dia melamun. Dia rindu negara ini, dia rindu Jakarta, rindu masyarakat dan kebudayaannya, rindu rasa eskrim di tempat ini, rindu Embun. Setelah berjam-jam diam di kedai es, dia menghabiskan mangkuk eskrim ketiga nya, lalu bergegas ke suatu tempat.
Pagi itu pula Embun berangkat ke stasiun mengejar kereta yang akan berangkat pukul 8 pagi. Jantungnya dag dig dug tak karuan, dia ingat momen pertama kali berangkat ke Jakarta 3 tahun silam. Dengan menggunakan rok mini jeans dan kaos polos ketat, dia duduk menyenderkan punggungnya ke kursi. Rambutnya yang semakin panjang teurai dengan warna Ash, tertindih disandaran kursi oleh punggungnya sendiri. “Tidak usah banyak berkaca hari ini, tak seperti hari itu. Entah kenapa aku pergi di hari ini. Mau apa aku ini? Masihkah dia mengingat aku? apa kabar dia sekarang? rasa ini masih sama tidak pudar dan regas.” Embun bicara sendiri dalam hatinya.
Kereta sampai di stasiun Gambir pukul 11.30. Embun naik taxi menuju Ancol. Setibanya di pantai, dia jalan menuju spot kesukaannya untuk melihat keseluruhan laut, di atas jembatan kayu. Baru saja beberapa langkah, dia berhenti dan melihat jam tangannya yang menunjukan pukul 13.00, lalu dia menatap pemandangan tepat di depan matanya, bukan laut yang dia lihat, tapi sesosok pria. Pria yang tetap sama, badannya sama sekali tidak berubah, tetap tambun. Pakaiannya tetap necis dan rapi, uban-uban itu seakan akan selalu dibuat permanen, tidak berkurang dan tidak bertambah banyak.
Embun mempercepat langkahnya karena ingin segera melihat kedua bola mata yang hitam pekat itu sambil berkata dalam hatinya “aku tak percaya ini, apa aku bermimpi, engkau kah itu Damar?”. Si pria menoleh ke arah Embun sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Embun semakin mendekat, “ya itu dia, mata itu tetap hitam” tuturnya. Saat Embun hampir sampai, si pria tiba-tiba menghilang. Embun menangis “ini hanya ilusi yang menjadi narasi” ucapnya. Dia tersedu sedan, air matanya jatuh bercucuran sambil mengingat kenangan tiga tahun silam dan mengingat cinta yang tak pernah terbalas.
Terjadi kemacetan yang padat sekitar Mangga Dua menuju Ancol. Kendaraan sama sekali tidak bisa jalan dan banyak orang yang berkerumun. Nampaknya terjadi kecelakaan hebat. Ditemukan sebuah mobil mewah berwarna biru menabrak truk. Terdapat satu korban di dalamnya, sang supir itu sendiri. Warga sekitar menginformasikan bahwa kejadian tabrakan itu terjadi sekitar jam 13.00. Dan diketahui korban bernama Damar.
Cerpen Karangan: Devina Putri Aruma Blog / Facebook: devinadepot Saya seorang single mom, karyawan swasta, dan juga mahasiswi magister manajemenn di salah satu Universitas swasta di Bandung. Menulis adalah kegemaran saya di kala senggang.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com