Namanya Danial. Tepatnya Danial Atmijaya. Laki-laki tinggi dengan dua lesung pipi. Dia tidak tampan, tidak juga kaya raya. Dia bukan pangeran sekolah atau kapten dari klub olahraga apapun.
Danial hanya siswa biasa dengan kehidupan yang juga biasa-biasa saja. Tapi, entah kenapa aku selalu jatuh saat melihatnya. Selalu merasa bahwa dunia akan runtuh saat dia tersenyum. Dan selalu merasa seperti berada diatas awan saat mendengarnya tertawa.
Pada awalnya kami tidak saling mengenal meski kami satu kelas. Hingga pada akhirnya Tuhan memilih untuk memperkenalkan kami. Yang lebih mengejutkan adalah, Danial yang lebih dulu mengulurkan tangannya. Saat itu, aku belum merasakan apa-apa dengannya. Semua masih terasa biasa-biasa saja, belum sampai aku melihatnya tertawa untuk yang pertama kalinya.
“Aku Danial. Kamu pasti Tiara” Danial tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Saat jam istirahat, ruang kelas selalu kosong. Biasanya kugunakan untuk membaca buku atau tidur sebentar. Aku tidak menyangka jika akan ada orang yang mengajak untuk berkenalan.
“Iya. Aku Tiara.” “Aku boleh duduk disini?” Aku melirik bangku kosong disamping dan kembali menatapnya. “Boleh. Kan kosong”
Danial menarik sedikit kursinya kebelakang sebelum dia duduk disana. Saat itu suasananya terasa canggung. Sangat terasa tidak nyaman hanya diam dalam keheningan.
“Lulus nanti mau ambil kuliah atau langsung kerja?” Kuubah posisi dudukku sedikit miring kearahnya, agar kami mengobrol dengan lebih santai. “Kuliah. Mau ambil jurusan hukum. Kalau kamu?” Danial tidak menjawab. Justru yang kulihat dia sedikit tegang. Aku tidak tahu alasannya apa, tapi aku seperti merasa bersalah.
Percakapan kami berlanjut sampai bel masuk berbunyi. Percakapan yang entah kenapa terasa sedikit berbeda dari yang biasanya kulakukan dengan temanku, tapi aku tidak merasa sedikitpun terganggu.
Sejak itu kami mulai sering berbicara berdua. Terkadang kami akan pergi ke kantin bersama, atau sekedar ke perpus untuk belajar bersama. Danial juga sering melukis wajahku, hampir setiap hari dia akan membawa buka gambar dan melukisku dijam istirahat kedua. Saat kutanya kenapa dia selalu melukisku, dan jawabannya membuatku merasa tidak nyaman.
“Masih belum ya?” Aku duduk di bangku taman dengan menyangga wajahku menggunakan kedua telapak tangan. Dua meter dihadapanku, Danial terlihat bolak-balik melihatku dan buku gambarnya. Tangannya sibuk mencoret-coret buku gambar dengan pensil.
“Masih belum. Sebentar lagi.” Aku cemberut, dalam pose ini selama setengah jam membuat telapak tanganku kesemutan. Aku sudah tidak tahan lagi.
“Selesai!” “Coba lihat”
Buku gambar itu diserahkan padaku. Lukisan Danial selalu bagus, begitu juga sekarang. Itu terlalu bagus sampai aku tidak yakin bahwa orang yang dia lukis itu diriku, bukan orang lain.
“Kenapa kamu selalu melukis wajahku?” Danial menepuk-nepuk belakang celananya, membersihkannya dari rumput tanpa memalingkan wajah. “Supaya aku nggak pernah lupa sama kamu”
Aku juga ingat saat aku pulang diantar oleh Danial untuk pertama kalinya, dan kami kehujanan. “Tiara, kamu belum dijemput?” Aku menggeleng. “Papa nggak bisa jemput. Ada urusan di kantornya”
Kulihat Danial mengambil helm berwarna biru polos dari motornya dan disodorkan padaku. Aku masih belum mengerti apa maksudnya, jadi aku hanya mengerutkan kening. “Ayo. Aku antar kamu pulang” Aku menatapnya sebentar dan motor bebeknya bergantian. Aku tersenyum. “Naik motor ini?” Danial terlihat canggung yang membuatku merasa sedikit bersalah. “Maaf, ak–” Aku tidak membiarkannya untuk menyelesaikan kalimatnya, langsung kurebut saja helm berwarna biru polos di tangannya dan memakainya dengan cepat. “Ayo”
Setelah duduk di jok belakang motornya, kami melaju meninggalkan gerbang sekolah. Tapi sialnya, belum ada lima menit kami pergi, hujan deras sudah menguyur jalanan. Membuat seluruh baju kami basah. Setelah beberapa saat, kami melihat ada halte yang cukup ramai orang berteduh. Kami memutuskan untuk ikut berteduh disana.
“Kamu nggak apa-apa kan? Maaf, kita jadi kehujanan gini” Melihat ekpresi bersalahnya aku sungguh tidak tidak tahan. Tanpa sadar aku menarik telapak tangannya dan kugenggam erat. “Aku nggak apa-apa. Bukan salah kamu juga. Kan kita nggak tahu kalau tiba-tiba bakalan hujan” Danial tersenyum dan kubalas tersenyum. Entah kenapa, udara dingin disekitar tidak begitu terasa. Mungkin ini efek dari jatuh cinta. Ya, aku sudah jatuh padanya. Pada Danial Atmijaya.
“Terima kasih. Danial sayang Tiara”
Ada perasaan aneh yang menjalar diseluruh pembuluh darahku. Darahku terasa mendidih dan seperti ada ribuan kupu-kupu bertebaran di dalam perutku. Terlalu menyenangkan untuk mendengar pengakuan Danial secara langsung.
“Tiara juga sayang sama Danial”
Saat itu tangan Danial terasa semakin dingin dan sedikit gemetaran. Dan bibirnya juga sedikit pucat. “Danial, kamu kedinginan?” Dia tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya pelan. Baju kami memang basah kuyub, sampai tidak ada lagi bagian yang kering.
Tiba-tiba aku teringat, di dalam tasku ada jaket yang kemarin Bela pinjam. Aku langsung mengeluarkan jaket berwarna merah muda dan memasangkannya pada Danial. Dia sedikit terkejut menatapku dan aku balas menatapnya dengan tersenyum. Lalu kami tertawa bersama. Saat itu kami tidak tahu apa yang kami tertawakan, tapi kami merasa bahwa itu menyenangkan.
“Sekali lagi, terima kasih. Tiara–” Dia seperti ingin melanjutkan kalimatnya, tapi akhirnya hanya menutup kembali bibirnya.
Itulah pertama kalinya aku pulang dengan Danial. Dan aku tidak menyangka bahwa itu akan menjadi terakhir kalinya aku pertemu dengan dia.
Setelah hari itu, Danial tidak pernah lagi terlihat. Aku tidak pernah melihatnya berada ditempat duduknya. Danial hilang seperti ditelan bumi dan tidak pernah muncul.
Sebulan sudah Danial tidak masuk, Rasanya seperti ada yang kosong dalam diriku tanpa Danial, dan hari ini aku baru tahu, kalau dia sudah pindah sekolah. Aku tidak tahu harus apa. Aku merasa telah dibohongi oleh Danial. Dia pergi tanpa pamit denganku, bahkan setelah apa yang dia katakan di halte saat itu.
Aku ingin pergi ke rumahnya, ingin memaki dirinya, berteriak padanya, dan bilang bahwa dia jahat, tapi bahkan aku tidak tahu dimana tempat tinggalnya selama ini. Aku baru sadar, bahwa selama ini aku tidak tahu apapun tentang Danial.
Sejak saat itu hidupku menjadi kacau. Aku sudah mencoba untuk hidup seperti sebelum aku mengenal Danial. Tapi semuanya sia-sia. Terlalu banyak hal yang telah kami lalu dalam tiga bulan perkenalan kami. Terlalu banyak kenangan yang ditinggalkan Danial untukku.
Tiga tahun sudah berlalu, aku sudah menjadi mahasiswa tingkat dua. Seperti yang dulu pernah kuceritakan pada Danial, aku mengambil jurusan hukum. Tentang Danial, sampai sekarang aku masih belum bertemu dengannya. Ada perasaan rindu yang semakin hari semakin kuat. Tapi aku tidak tahu, kemana aku harus membawa semua rasa rindu ini pergi. Aku hanya ingin bertemu dengannya, meski aku hanya memiliki satu kali kesempatan untuk bertemu, aku akan merasa sangat bahagia dan bersyukur. Danial, Aku rindu kamu. Tidak bisakah kita bertemu lagi?
Aku duduk di taman yang dekat dengan kampus. Karena hari ini akhir pekan, banyak orang memilih untuk menghabiskan hari di taman. Aku hanya mengamati semua orang yang berlalu lalang dihadapanku. Anak kecil, orang tua, sepasang kekasih, sekumpulan sahabat. Semuanya ada. Tiba-tiba aku kepikiran dengan Danial. Yah, Danial. Sudah lebih dari tiga tahun. Itu bukan waktu yang singkat.
“Boleh aku duduk disini?” Suara ini seperti tidak asing. Ini seperti suara– “Danial!” Aku menoleh, dan tenggorokanku seperti tercekat. Ini… Ini benar-benar Danial. Ini memang benar-benar Danial yang berdiri di hadapanku. Dia juga mengucapkan hal ini di perkenalan kami. Ini sungguh Danial. Orang yang ingin aku maki tiga tahun lalu, orang yang ingin aku teriaki tiga tahun lalu, dan orang yang aku rindukan setiap hari.
Aku tidak peduli kalau sekarang aku menangis, aku tidak peduli kalau sekarang kami sedang berada di taman. Aku hanya ingin memeluknya. “Danial. Aku rindu. Aku rindu. Tiara rindu Danial”
Tapi yang membuatku terkejut, Danial segera melepasku dan menatapku seperti orang asing. “Maaf, apa aku mengenalmu?”
Pikiranku seperti kosong seketika. Tidak mengira bahwa itu adalah kalimat yang akan dia ucapkan dipertemuan pertama kami setelah tiga tahun.
Sebelum aku bisa mulai bertanya, seorang perempuan berpakaian suster datang menghampiri kami. Dia lebih pendek setengah kepala dariku. “Danial! Kamu kemana saja? Bagaimana kalau kamu tidak ingat jalan pulang dan tersesat.” Danial tersenyum, dan aku baru sadar kalau Danial sekarang mengenakan baju pasien rumah sakit.
“Danial, kamu sakit? Apa ini alasan kamu pergi” “Ah, kamu. Apa kita saling mengenal? Kalau iya, maaf karena aku tidak mengenalimu. Dokter bilang Allzeimerku sudah sangat parah. Selamat tinggal.”
Danial dan suster itu pergi. Punggung mereka perlahan menjauh sebelum hilang dari pandanganku. Saat itu aku tidak bisa berpikir jernih.
Allzeimer Jadi ini alasan Danial menghilang. Jadi ini alasan Danial selalu melukis wajahku. Tapi kenapa dia masih belum bisa mengenali aku?
Aku menangis. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menangis. Mengapa Tuhan begitu kejam?
“Terima kasih, Danial sayang Tiara”
“Supaya aku nggak pernah lupa sama kamu”
Kata-kata yang pernah diucapkan Danial kembali terdengar di kepalaku. Aku merasa seperti hampir gila. Ini terlalu kejam.
Danial
Danial
“Tiara! Apa kau sudah siap? Kita akan terlambat” Aku berhenti mengetik pada keyboard. Aku menatap nama Danial, kata terakhir yang ada di layar sebelum Bela kembali mengetik pintu.
“Iya, aku sudah siap”
Untuk Danial, ku masih berharap kalau kita akan bertemu kembali suatu saat. Terima kasih untuk waktu tiga bulannya yang singkat yang kita habiskan bersama. Setelah pertemuan singkat kita, aku masih rindu denganmu. Tidak tahu, kapan ini akan berakhir. Yang pasti, Danial, Tiara cinta Danial.
Blam
—
“Tiara”
Langkah Danial berhenti didepan ruang rawatnya. Suster Fani, yang sudah masuk lebih dulu juga menghentikan langkahnya.
“Ada apa Dan?” Danial tersenyum. “Tidak ada. Aku hanya merasa nama Tiara bagus. Saat Suster punya anak perempuan dengan dokter Ziddan, nama Tiara tidak buruk”
The End
A/N : Cerita ini hanya cerita fiktif dari pemikiran absurd author. Kalau ada kesamaan cerita, nama, atau yang lainnya, author minta maaf karena dapat dipastikan tidak ada unsur kesengajaan didalamnya.
Cerpen Karangan: Mella_Pia Blog / Facebook: Mella_Pia
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 31 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com