“Lihat, malam ini langit kelabu. Pasti dia sedang bersedih.” Ucapnya lirih. Air sungai yang mengalir tenang menambah hangat suasana. Tatapannya kepada langit seolah memanggil mereka untuk segera turun. Membuatku semakin yakin dengan hal itu. Mendadak tetes demi tetes air berjatuhan menghujani wajahnya. Dia mengisyaratkanku untuk segera berteduh. Saat aku mulai berdiri, perlahan punggungnya menjauh dari pandanganku. Dia menghilang. Semuanya tiba–tiba menjadi gelap dan tidak terlihat. Dadaku terasa sesak. Aku mulai sedikit panik. Aku terbangun dari tidur. “Siapa perempuan tadi?”
Sepuluh menit aku menunggu di taman hutan kota. Minuman dingin yang kubeli mulai mengembun. Dari jauh terlihat Dinda datang bersama seorang wanita di belakangnya. “Maaf, kamu jadi menunggu lama.” Dia tersenyum kuda. “Tidak apa-apa.” “Ini bukumu,” dia mengambil sesuatu di dalam tasnya, “maaf, lama mengembalikannya.” “Sebenarnya buku ini juga sudah kubaca berulang kali. Jadi tidak masalah.” “Baiklah,” Dinda menoleh ke belakang, “kenalkan, ini temanku, Nina.” “Oh, salam kenal.” Dia hanya diam. Aku mencoba mengangkat tanganku dan melambai kecil, namun dia meresponnya dengan senyuman seraya menganggukkan kepala. Membuatku canggung menatapnya.
“Oh, iya, maaf aku lupa.” Dinda mengambil ponsel dan menuliskan sesuatu di dalamnya. Dia menunjukkan padanya. Wanita itu menggerakkan tangannya dengan berbagai macam bentuk. “Namaku Nina, katanya.” Dinda membantu menerjemahkan. “Jadi dia temanmu yang sering kamu ceritakan?” “Ya, dia juga ikut komunitas bahasa isyarat, sama sepertiku.” Dia kembali membuatku terpesona dengan senyumannya. Aku merasa tidak asing dengan senyuman itu. “Hanya saja aku belum bisa secepat Nina dalam menggunakan bahasa isyarat.” Tambah Dinda. “Oh, begitu.” “Jangan kaku begitu,” Dinda pergi meninggalkan kami, “aku beli minum sebentar. Kalian tunggu disana.” Dia mengisyaratkan minum kepada Nina. Suasana canggung semakin menguasai keadaan.
Seminggu setelah aku bertemu Nina, kami berdua sering berbincang santai lewat ponsel. Dinda berkata jika Nina menderita tunarungu. Maka dari itu, aku belajar bahasa isyarat agar bisa berbicara dengannya. Hari ini pun tiba. Nanti jam 7 malam di taman bantaran sungai. Kutunggu. Sembari menunggu, aku berulang kali membaca pesan darinya hingga tersenyum sendiri.
Seseorang dari belakang tiba-tiba menepuk punggungku. “Aoo …” Suara aneh muncul. Aku menoleh, “Nina?!” Karena baru pertama kali aku mendengar suaranya, seketika aku meneteskan air mata. Dengan segera aku menghapusnya. “Eng … apa … angish?” Dia mencoba berbicara dengan menambahkan isyarat dari tangannya sebagai penjelas. Aku mengerti apa yang dia katakan. Dengan sedikit rasa malu, aku memperagakan bahasa isyarat yang sudah kupelajari. “Aku senang bisa bertemu denganmu.” Dia terkejut.
Kami menghabiskan malam berdua di bawah langit. Dia menatap sekumpulan bintang, seakan dia sedang berbicara dengan mereka. Tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan masuk dari Nina. Kamu bawa payung? “Tidak.” Kulambaikan telapak tanganku. “R-I-R-I-S,” dia mengeja setiap huruf dengan isyarat. “Riris?” Dia menganggukkan kepala. “Akhu … khenang ….” “Kenapa?” Kedua tanganku menengadah. Dia hanya tersenyum dan mengakhiri pembicaraan. Dia beranjak pergi dari tempat kami menikmati malam yang tiba-tiba gerimis. Lambaian tangannya seolah berkata sampai jumpa padaku.
Pertanyaan kami berdua sejak beberapa hari yang lalu mungkin akan terjawab hari ini. Dinda mengajakku ke rumah Nina. “Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.” Dinda menggerutu. “Kalian temannya Riris, ya?” Sapa seorang wanita yang tiba-tiba keluar dari rumah Nina. “Ini rumahnya siapa, Din?” Tanyaku. “Jelas ini rumah Nina, lah.” “Nak Dinda?” Tanya wanita yang masih misterius tersebut. “I … iya, Bu.” “Tolong ikut Ibu sebentar, Nak.”
Dinda dan wanita itu masuk ke dalam rumah meninggalkanku sendiri. Tak berselang lama mereka keluar. Raut wajah Dinda terlihat seperti orang tertekan. “Terima kasih, Bu. Kalau begitu kami pamit untuk kesana sekarang.” Dinda menarik tanganku, mengajakku pergi dengan segera. “Kita kemana, Din?” “Ke rumah Nina.” Rumah Nina? Katamu itu tadi rumah Nina? Batinku dalam hati.
Pertanyaanku terjawab ketika kami tiba di depan gapura pemakaman umum. Kami berdua mencari tempat Nina dimakamkan. Dinda menemukannya tepat di tengah-tengah pemakaman. Di ujung gundukan tanah yang mulai ambles ditutupi bunga-bunga mawar yang sudah tidak berwarna, tertulis nama Riris. “Disini.” Dinda menunjukkannya padaku dengan napas tanya jawab. “Kamu yakin, Din? Dari namanya saja kita sudah tau kalau ini bukan makam Nina, ‘kan?” Dia memberikan amplop padaku. “Ini dari ibunya Nina yang tadi. Katanya ini untuk teman laki-lakinya Nina.” “Kenapa harus aku?” “Jangan bodoh. Selama ini teman laki-laki yang paling dekat hanya kamu.”
Di depan amplop tertulis nama Riris. Dari semua kejadian ini aku semakin bertanya-tanya, sebenarnya Riris itu siapa? “Bukalah. Kamu akan mengerti semuanya lewat surat itu.”
Hai, apa kabar? Kuharap kamu tetap sehat. Maaf beberapa hari ini tiba-tiba aku menghilang. Pasti kamu mencariku, ya? Hehehe, aku terlalu percaya diri sekali. Sebenarnya banyak sekali hal yang ingin kusampaikan. Tentang semua yang kusembunyikan selama ini, tentang diriku yang tuli, dan tempo hari terakhir kita bertemu. Sebenarnya aku ingin mengatakan semuanya saat itu. Tapi, untuk bicara saja aku tidak sanggup. Sudah sejak lama aku mengidap kanker tenggorokan, makanya aku sulit untuk berbicara. Jangan kaget, ya? Hehehe.
Oh, iya, aku sangat suka gerimis, loh. Kata ibuku, gerimis adalah hujan yang paling disenangi orang-orang. Makanya ibuku memberiku nama Riris, yang berarti gerimis. Tapi harapan ibu tidak sesuai kenyataan, sih. Karena penyakit ini aku malah dijauhi teman-teman sekolah. Maka dari itu, aku menutupi identitasku agar tidak ada lagi yang menjauhiku karena penyakit ini. Aku tahu sepertinya ini terlambat. Tapi mau bagaimana lagi. Aku takut kehilangan orang-orang disekitarku.
Maaf juga untuk yang satu ini. Sebenarnya sudah sejak lama aku mengenalmu. Bahkan aku pura-pura mendekati Dinda agar bisa berkenalan denganmu. Tolong sampaikan permintaan maafku pada Dinda, ya? Hehehe.
Dinda tersenyum kecil. “Aku sudah curiga dari awal.”
Aku adalah perempuan yang tidak sengaja bertemu denganmu di bantaran sungai. Perempuan yang putus asa terhadap diri sendiri. Tentu saja itu karena penyakitku. Aku tidak punya teman siapapun. Dan tiba-tiba kamu datang. Membuatku dengan cepat membasuh air mata yang keluar ugal-ugalan. Apa kamu masih ingat dengan benda ini?
Aku membuka isi amplop dan menemukan sebuah gantungan kunci bertuliskan Smile make you alive.
Lucu sekali ketika orang yang tidak kukenal memberikan benda seperti itu. Tapi terima kasih. Karena benda itu, aku bisa kembali menikmati kehidupan. Terima kasih juga, kamu sudah mau menemani di sisa hidupku. Aku sangat menyesal tidak bisa mengatakannya langsung padamu. Semoga dengan surat ini, aku bisa menyampaikan perasaanku selama ini. Love you, from Riris Oviana Dewi…
Cerpen Karangan: Dandy Blog: bahasakutulis.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com