“Jadi, apa kamu mencintaiku?”. Ucap seorang lelaki yang duduk bersebelahan denganku ini. “Aku harus bilang berapa kali padamu? Aku tidak akan pernah mencintaimu walau itu akan membuatku menyesal di kemudian hari.” Aku bahkan sudah muak mendengarnya mengucapkan hal itu setiap hari, aku sudah tak sanggup. “Oh, ayolah.. Aku tau kau saaaangat mencintaiku, ya kan? Tapi kau tak berani mengatakannya karena kau merasa malu. Tipe cewek sepertimu itu suka disebut tsundere… kalau ga salah.” “Arghhh, sudahlah. Lebih baik kau menyerah saja pada perasaanmu itu. Lagipula aku sudah ada orang yang disuka.” “Apakah orang itu merupakan aku?”. Ekspresi wajahnya mirip seperti anak anjing, aku ingin sekali memeluknya. Tapi aku urungkan niat itu karena ucapanku tadi yang menolak perasaannya mentah-mentah. “Bukan, dia lebih baik darimu. Dia juga tidak banyak bicara sepertimu.” “Orang yang tidak suka bicara akan gampang dilupakan loh, aku yakin kau akan segera lupa kalau kau pernah menyukai dia.” “Arghh, siapa juga yang peduli? Cepat kembali duduk di tempatmu dan DIAM! Sebentar lagi guru akan datang.” “Baik nyonya, aku mencintaimu~”. Oh, Ya Tuhan. Kapan penderitaan ini akan berakhir..
Keesokan harinya, dia masih mengucapkan hal yang sama, dia lebih agresif dari kemarin. Hari ini dia mengikutiku kemanapun aku pergi, sehingga aku bersembunyi di toilet wanita agar dia tak bisa menerjang masuk kesini.
“Apa kau bisa berhenti mengikutiku? Ini sudah waktu pulang sekolah dan kau masih mengikutiku hanya untuk mengatakan hal itu lagi?” “Tapi rumah kita kan bertetangga, apa kau lupa akan hal itu?” Yaampun, ternyata aku sudah pikun, aku lupa dia sudah menjadi tetanggaku 6 bulan kemarin, berbarengan dengan saat dia pindah ke sekolah. “Karena kau selalu mengatakan ‘hal itu’, aku jadi lupa bahwa kau juga merupakan tetanggaku.” Dia memasang wajah ‘tanpa dosa’-nya itu lagi sambil menodongkan wajahnya di depan mukaku, aku ingin sekali menonjok wajah itu, sekali saja.
Aku berhenti di sebuah minimarket sebentar, dan dia masih mengikutiku. “Apa kau tidak kelelahan?” “Tidak tuh, bahkan keringatpun tak keluar sama sekali.” Aku tidak menjawabnya lagi, aku pun mulai berbelanja untuk makan malam hari ini. Dan saat aku akan mengambil daging, tanganku berpapasan dengan tangan seseorang, dan saat aku menoleh keatas, dia adalah Wali kelasku. “Ah, halo, Bu. Saya tidak menyangka akan bertemu dengan Ibu disini, apa ibu akan memasak daging juga malam ini?”. Ucapku berbasa-basi. “Ahaha, iya nih, anak Ibu kebetulan ingin makan daging hari ini. Jadi setelah pulang sekolah ibu mampir kesini, apa kamu juga akan memasak makan malam dengan menu daging hari ini?”. “Ah, iya, Bu. Hehe.”
“Oh, iya. Ada yang ingin ibu bicarakan denganmu, Nina. Akhir akhir ini nilaimu semakin menurun, dan akhir akhir ini di kelas kau selalu keliatan murung. Ibu turut berduka cita atas apa yang terjadi pada teman sebangkumu itu, tapi ibu harap kamu dapat melupakannya. Karena ibu khawatir dengan kondisimu. Ya sudah, Ibu duluan ya. Belajarlah lebih rajin lagi.” Aku tersentak. “Sudah kubilang, kan. Kau lupakan saja dia dan semua akan kembali normal.” Bagaimana bisa kau mengucap hal itu dengan enteng? Kau kira aku adalah orang yang gampang melupakan seseorang?.
Keesokan harinya, ketika aku sedang meletakkan barang-barangku di loker, aku bertemu lagi dengannya, dan dia menyuruhku ke atap saat istirahat siang ini.
Siang harinya, aku segera menuju ke atap untuk menemuinya. Karena dia bolos hari ini, aku jadi tak sabar untuk menemuinya di atap. Ini sangat bertentangan dengan pernyataanku, kan? “Jadi, apa jawabanmu masih sama?” “Ya, dan jawaban itu tak akan pernah berubah.” “Kalau kau begitu terus, aku akan kesusahan untuk…” “Kalau begitu… BERHENTI MENGUCAPKAN HAL ITU KEPADAKU!!”. Aku membentaknya, tak terasa air mataku mengalir. “Kau kan ada orang yang disuka, kau bisa melupakanku dan bahagialah dengan orang itu.” “Tidak, aku akan melupakan orang itu, seperti katamu, orang itu membosankan.” “Kau akan melupakannya atau orang itu sebenarnya hanya bualanmu saja?” “Sudahlah, pokoknya aku tak akan pernah merubah jawabanku. Tidak akan pernah.” Aku pergi meninggalkannya, rasanya sangat hampa saat tahu bahwa dia sudah menghilang ketika aku membelakanginya. Dan aku menangis lagi.
Keesokan harinya, dia tidak terlihat lagi, tentu saja dia tidak menggangguku lagi. Hingga siang ini, aku belum menemukan dia, aku tau tempat favoritnya adalah kantin sekolah. Tapi dia tetap tidak terlihat. Aku panik. Aku merindukan suaranya kala menanyakan ‘hal itu’ padaku, aku mulai meneteskan air mataku lagi. Akhirnya aku berpapasan dengan temanku, Lala. Lala terlihat panik ketika melihat kondisiku, dan aku menceritakan semuanya padanya.
Setelah aku menceritakan semuanya padanya, dia berkata, “Pergilah, aku akan bilang pada guru selanjutnya bahwa kau izin karena sakit.” Lalu aku segera mengambil tasku dan berlari keluar gerbang segera. Lalu, Lala memanggilku. “Semangat, ya! Aku akan terus mendukungmu!” Aku mengangguk, lalu berlari secepat mungkin untuk menemui ‘Dia’.
“Aku tahu kau akan datang ke tempat ini, hahaha. Sebegitu kangennya kah denganku?” Aku bertemu dengan dia di jembatan, tempat saat dia ditabrak oleh mobil yang dikemudikan oleh orang yang sedang mabuk. “Kau tahu..? Seberapa tak terhingganya aku merindukanmu.” Aku menangis lagi. “Lalu apa jawabanmu, setelah melihatmu begini, kau pasti akan menjawab perasaanku kan?”. “Jawabanku tetap sama, aku tidak mau kehilanganmu, Axel.” “Kalau begitu, kau tidak akan menemuiku di Surga, karena jika kau tak mengatakannya, aku akan ada di sini selamanya.” Aku hanya bisa diam untuk sesaat, dan tangisanku pun semakin tak bisa kubendung.
“Ayo, cepat katakan. Aku hanya bisa bertahan di sini hingga jam 6 sore, selebihnya kau tahu kan apa yang akan terjadi?”. “B-baiklah.. A-aku akan mengatakannya.” Aku menghela nafas
“Aku mencintaimu, Axel. Aku sangat sangat mencintaimu.” Aku menangis sejadi-jadinya. “Terimakasih karena telah menyatakan perasaanmu, lupakanlah aku. Dan bahagialah dengan orang lain yang lebih baik dariku. Sampai bertemu di Surga, Nina.”
“Bolehkah aku memelukmu?” Ucapku seraya mengusap air mataku. “Ya, kemarilah.” Aku bisa merasakan kehangatan badannya, meskipun tubuhnya semakin lama semakin memudar, dan akhirnya menghilang. Aku tak kuasa menahan tangisku, tangisku pecah saat itu juga.
Beberapa bulan setelah dia menghilang, kehidupanku kembali berjalan normal. Dan aku masih belum bisa menemukan orang yang lebih baik darinya. Dia tidak tahu bahwa orang yang tulus mencintaiku hanyalah dia seorang. Aku masih mengharapkan dia mengatakan “Aku mencintaimu.” Di depan wajahku. Ya, aku mencintaimu, Axel. Terimakasih untuk selama ini, Aku mencintaimu.
Cerpen Karangan: Dhafin Fauzan Facebook: Dhfn Fauzan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com