Tak tersa Sewindu telah berlalu setelah kamu dinyatakan telah tiada. Aku ingat betul waktu itu, sebelum kamu pergi bareng orang-orang pecinta alam yang selalu aku anggap jahat atas hilangnya kamu. Tas besar dengan corak oren yang papa kamu belikan saat dia di Australia dan lampu senter kecil yang jadi gantungan ranselmu. Sedangkan aku sedari semingggu lalu terus mencoba menahanmu pergi.
“Kenapa sih orang-orang selalu mempertaruhkan sebuah nyawa untuk hal yang mereka pandang indah?” aku bertanya sembari memelas. Kemudian kamu malah menatap keatas langit dan memperhatikan awan yang terbawa angin. Kemudian kamu menjawab “gak tahu”.
Kemudian ada hening sejenak seketika matamu menatap sekitar tiba-tiba kamu menunjuk kearah pohon yang berjajar di seberang jalan, “eh lihat, pohon-pohon yang berjajar itu menurutmu mirip apa?”. Aku melihat ujung telunjukmu, melihat pohon yang berjajar, dan menjawab ”kaya brokoli lemes di pasar”. “Yaampun, Ebi. Pantes ajah temen-temenlo manggil lo pandir” katamu, “coba deh lihat lagi, itu entuh kaya anjing yang duduk”. Jawabmu dengan nada sewot namun menggemaskan. Aku memandangnya lagi, “iya juga, ya. Kaya anjing tapi ketimpa brokoli satu truk”. Kamu tertawa kecil dan menepak pundakku. “Eh sudah dulu ya. Uda disamper nih di rumah” katamu. “Memangnya harus banget?” kataku mencoba menahan. Tetapi tanpa kata kamu hanya tersenyum, kemudian pamit dan pergi. “Jangan kangen berlebihan ya” ucapmu sebelum pergi. Entah kenapa saat itu solah-olah berat menumpuk pada lubuk hatiku, memandang punggumu dengan ransel besarnya yang semakin jauh, semakin jauh, kemudian hilang ditelan jarak.Andai saja saat itu Aku tahu bahwa hari itu hari terakhir aku mendengar suaramu.
Sudah berselang lama kamu hilang Aku selalu menyelahkan diriku. Mungkin Aku akan menerima ajakanmu untuk ikut pergi susur goa di bandung. Lelaki pandir macam apa yang tidak bisa menjaga pacarnya. Laki-laki itu, yaitu aku Ebi. Seorang lelaki dengan segala kekurangannya yang tidak diperbolehkan ikut oleh ibunya susur goa karena punya masalah bathophobia. Nasib punya nama Ebi seperti sebuah salah satu bahan masakan dari udang kecil yang dikeringkan. Bahkan selalu kesal ketika kamu ajak aku berbelanja di minimarket kamu selalu ngecengin aku dengan memegang satu pak ebi sambil berkata “Eh ini family kamu kan? Diajak ngobrol dong” katamu mengejek.
Walaupun berita tentang hilangnya kamu sudah berlalu lama, aku selalu bertanya-tanya. Kenapa harus kamu yang hilang, kenapa gak si itu, si ini dan segala pertanyaan tentang kenapa kamu bisa hilang? Menurut cerita dari tim yang waktu itu bersamamu, Saat hujan lebat dan membanjiiri dalam goa saat menuju jalan keluar tiba-tiba kamu terpisah saat itu semua orang panik. Hingga akhirnya kamu sendiri terjebak di dalam goa karena tirpisah dengan barisan.
Sudah sewindu, Aku masih selalu mengunjungi tempat kopi paling enak menurutmu yang letaknya dekat dengan toko roti kakakmu. Sama seperti waktu itu aku selalu memesan kopi hitam pekat yang pahit, yang selalu kupesan juga membuatmu kadang bertanya: “Apah enak kopi sepahit itu, kamu kagak kesurupan kan?” Tanyamu selalu sama begitu.
Aku sudah lulus kuliah dan menjadi guru bahasa Indonesia di suatu sekola SMA Negeri. Tak jarang teman-temanku selalu bilang “kenapa kagak cari yang lain, kenapa gak coba moveon…” Aku juga ingin. Sayangnya ternyata melupakan seseorang yang dulu pernah ada satu dimensi kehidupan seperti sulitnya menyentuh siku dengan lidah sendiri.
Setalah pulang mengajar sore itu aku mencoba mampir lagi ke tempat kopi yang dulu. Tiba-tiba dari sebuah pintu ada sosok perempuan yang berjalan melewati meja kemudian menghampiriku. “Ebi, pakabar?” rupanya itu kakak Windi, kemudian ia duduk di mejaku kami dan ada obrolan yang canggung sampai akhirnya ia menanyakan “kamu masih belum punya pacar, kenapa, belum bisa moveon?” sebuah pertanyaan selalu sama yang sudah aku dengar ratusan kali dari orang lain.
Sejujurnya aku sangat malu dan takut untuk bertemu kakakmu lagi, perasaan bersalah yang selalu mengejar bahkan jadi bayangan di setiap gerak gerikku seolah-olah menjadi beban berat. Seharusnya aku bisa menjagamu, jadi lelaki yang dititipkan oleh kakak dan ibumu. Namun aku tidak bisa menjagamu saat kejadian itu. Goa yang bagaikan black hole yang menyedot dan menghilangkan benda-benda luar angkasa.
Aku hanya diam mendengar pertanyaan kakakmu itu lalu kakakmu melanjutkan. “Kami juga sama rindu Windi, sebuah rindu yang tidak lagi bisa balas temu rindu yang terus mengangkasa disetiap harinya tanpa tahu harus apa” dengan nada lirih. “Gue tahu, kalau lo sering mampir kesini setelah pulang kerja, gue tahu kok loe adalah orang terakhir yang berkomunikasi sama windi, gue tahu kok kalau lo masih belum menerima semua ini”.
Suasana kedai kopi disiang hari yang tenang dan hangat membuatku akhirnya menarik napas dan membuka suara; “Gue masih menyesal gak bisa berbuat apa-apa, gak bisa ngubah apah yang sudah terjadi” “Gak ada yang harus disalahkan kalo memang ini sudah kejadiannya kok, kami jugak gak menyalahkan lo, semua musiah tidak ada yang tahu kok, terus kenpa harus menyalahkan diri sendiri?” kakakmu.
Entah kenapa percakapan ini sangat menyesak di dadaku hingga tak terasa airmata tiba-tiba mengucur dan jatuh dengan sendirinya. Laki-laki memang tidak boleh menangis kecuali ia kecewa pada dirinya sendiri.
Sepulang dari sana aku mencoba berkonsultasi pada temanku yang seorang psikolog. Dia menyarankan agar aku punya teman berupa binatang peliharaan atau sebagainya. Ketika di perjalanan menuju rumah, aku berhenti di sebuah warung pinggir jalan dan memesan indomie goreng. Lalu tiba-tiba ada keributan disana tentang Si ibu warung yang kewalahan untuk merawat anak kucingnya. Entah kenapa waktu itu aku langsung meminta untuk merawat anak kucing itu.
Kucing tersebut merupakan sejenis kucing kampung yang aku beri nama Rose. Nama tersebut terinspirasi dari sebuah game Resident evil 8 yang merupakan anak dari pasangan tokoh dari game tersebut.
Sewindu telah lama berlalu kau selalu membuat aku lupa jam tidur, lupa bagai mana menutup mata pada jam sehat. Dimalam hari aku sering membuka kembali histori chat kita. Dari mulai DM IG, FB, WA dan segala aplikasi yang pernah kita gunakan untuk berkomunikasi. Yang jelas mengingatmu bagaikan meminum dua gelas kopi hitam pekat yang selalu kupesan di kedai kopi dekat toko kue kakakmu.
Setelah aku punya Rose aku sering mengunjungi website hewan peliharaan, selalu searching bagaimana merawat kucing, makanan yang tepat, sampai yang paling aneh apakah kucing bisa jadi ultraman. Rose meberikan warna baru ia selalu menyambut di depan pintu sepulang kerja, menghibur dengan cara berlari-lari lincah dan bermain dengan bola karet, yang jelas itu sedikit mengurangi beban di pundakku.
Sore hari aku sedang diatas balkon rumah dengan segelas teh pahit dan buku yang berjudul Setelah Hujan Reda karya Boy Candra yang baru setengah halaman dibaca. Tiba-tiba ada rasa ingin melihat Rose ke tempatnya karena saeharian ia tidak terlihat. Ternyata rose terbaring lemah dengan makanan yang masih tersisa. Lalu aku panik dan cepat membawanya ke dokter yang tak jauh dari rumah.
Perasaanku bagai angin yang bergemuruh seolah-olah angin dari utara menerpa tubuhku, sampai tangan dan kakiku sedingin es di kulkas dengan 5 derajat celsius saat menunggu kabar Rose yang diperiksa oleh dokter. Setelah diperiksa menurut Dokter Rose mengalami demam ringan.
Setelah dari sana aku langsung pulang kerumah sesekali memelihat kesamping bangku untuk melihat keadaan Rose. Aku amat khawatir untuk kehilangan lagi, amat khawatir melakukan hal yang sama, hal yang membuat orang yang telah menyentuh inti hidupku hilang. Sampai di rumah aku langsung memasukan Rose ke kandang dan memberikan dia obat beserta makanan kesukaanya dan membiarkan dia beristirahat dengan tenang.
Seminggu telah berlalu suatu hari yang mulai seperti hal yang baru Rose si lincah telah sembuh yang selalu meloncat-loncat riang, apalagi dengan bola karet yang baru saja dibelikan ibu. Sembari menemani rose aku membuka laptop dan menonton film Avenger End Game yang baru aku download dari situs web download film gratis di internet. Disela-sela film yang berjalan aku melahat ponsel dan sedikit mengintip insta story di hari itu.
Aku terkaget melihat fotomu dengan filter monokrom yang dibagikan kakakmu. Dalam story kakakmu menuliskan sebuah kata-kata “Hidup harus berlanjut, walau setengah apa yang menjadi hidupmu harus hilang”. Sebuah kata-kata yang memperkuat hari ini. Kemudian aku kembali lagi melihat film, saat itu merupakan adegan yang paling memoriebel yaitu ketika Natasya romanof berkorban demi mendapatkan batu jiwa untuk melengkapi infiniti stone.
Aku selalu ingat saat adegan itu kamu selalu berkata; “jika suatu saat dunia terkena wabah zombie lalu kita berdua terinveksi kemudian hanya ada satu vaksin kamu bakal suntikan bauat kamu sendiri atau ke aku?” “ya pastinya aku kasih ke kamu lah, kan aku sayang kamu dan kagak mau kehilangan” Kamu malah tertawa dan menjawab “gak, kagak boleh Aku menolak. Kalo kamu kasih ke Aku, nanti aku suntikin ke kamu. Ebi kamu nolong diri kamu sendiri” “Lah, kenapa?” “Karena sayangku lebih besar” Sembari memamerkan senyummu yang mengalahkan cerianya keberhasilan Avenger waktu itu. “walaupun nantinya aku harus menembak kepala dengan tanganku sendiri?” Jawabmu singkat “ya”
Sewindu yang telah berlalu semenjak kamu telah dinyatakan meninggal, Aku mulai terbiasa dengan kehidupan yang baru, kehidupan yang jauh dari kata mengingat. Karena kesibukan tiap hari menggerus waktu ruang dalam setiap putaran jam. Bising menggantikan hening oleh kehadiran Rose yang seolah bagaikan anugerah secara tiba-tiba. Nyanyian kesunyian mungkin hilang semenjak teman-teman lamaku sering berkunjung ke rumah dan bermain Ea football di PS 5 yang baru aku beli dari toko online.
Namun, namamu selalu jadi fatamorgana disetiap dering notifikasi teleponku, Seolah-olah angin yang menerpa jendela adalah suaramu memanggil namaku, suara pintu yang terbuka seolah tanda hadir dirimu. Aku mulai meyerah pada rindu yang kian hari, kian menjelma jadi manusia. Cinta memang seperti talas yang kau simpan di dalam kulkas, yang masih berakar dan bertunas, walaupun sudah lupa rupa dan baunya tanah.
Sewindu yang berlalu setelah kehilanganmu, dirimu masih mengetuk pintu kamarku.
Bandung, 2 Desember 2018.
Cerpen Karangan: Kika Melanie Blog / Facebook: Kika Melaniek Jr, aku manusia
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com