Gavin termangu menatap danau kecil di taman. Dulu ini adalah tempat favoritnya dan Reina untuk menghabiskan senja. Sekarang sudah tak bersisa, kenangan itu hilang selamanya bersamaan dengan meledaknya sebuah bom bunuh diri.
Gavin menatap Reina, gadis manis yang sangat ia cintai. Reina tersenyum membalas tatapan Gavin. “Kamu kenapa liat aku segitunya?” tanya Reina. “Kamu cantik” jawab Gavin. Wajah Reina tersipu malu, dan membuatnya semakin manis. “Gombal!” ucap Reina mendorong lemah bahu Gavin. Mereka tertawa bersama. Menghabiskan senja di tepi danau di sebuah taman.
“Rei” ucap Gavin sambil merangkul bahu Reina. “Hmm” ucap Reina menanggapi. “Umur kita udah cukup buat ke jenjang yang serius. Aku mau kita segera menikah” ucap Gavin lalu mengambil kotak kecil di saku bajunya. Menyodorkannya pada Reina. Reina amat terkejut, matanya berkaca kaca. “Maukah kamu menjadi istriku?” tanya Gavin. Tanpa harus diulang dua kali. Reina mengangguk, mau. Gavin memeluk Reina.
“Ini cincin kamu” ucap Gavin, ia memasukkan cincin emas putih di jari manis Reina. Cincin sederhana namun sangat cantik mendarat di jari Reina. “Makasih Vin..” ucap Reina terharu. Gavin kembali memeluk Reina erat.
Senja hari ini turut menjadi saksi mereka. Hari sudah gelap, lampu taman sudah menyala. “Kita pulang?” tanya Gavin. Reina tak menjawab, ia memandang Gavin penuh arti. Tatapan yang berbeda. “Rei? Kita pulang?” tanya Gavin, Reinapun akhirnya mengangguk.
Jalanan sudah sepi, weekend. Gavin dan Reina berjalan untuk pulang. Jalanan hanya diterangi satu dua lampu. “Vin..” ucap Reina, Gavin menoleh. “Hmm?” balas Gavin. “Kita ke gereja yuk” ajak Reina. Gavin bingung. “Udah malem Rei?” ucap Gavin. “Tadi pagi kan kita belum ikut misa” ucap Reina. “Ini weekend loh, lagian aku juga mau bersyukur atas hari ini” ucap Reina sambil tersenyum, memperlihatkan cincin di jarinya. Gavin tersenyum. “Yaudah, ayo” ucap Gavin.
Merekapun mampir di gereja di samping jalan. Jemaat gereja malam ini lumayan banyak, ada sekitar 20 orang dengan 1 pendeta. Gavin dan Reina duduk diantara jemaat yang datang. Sepi, senyap, hening. Gavin menatap Reina yang kini sedang memejamkan matanya. Reina membuka sedikit matanya, mengintip Gavin yang diam diam menatapnya. Suasana hening, hanya terdengar suara pendeta.
‘Pukk’ terdengar seperti ada yang melempar sebuah benda. Gavin menoleh kearah suara, melihat pria bertopeng. Gavin cepat berhitung dengan situasi. Sepersekian detik Gavin menyadari. “Awaaasss!!!!” seru Gavin. “Duuaaarrr!!!” terdengar suara yang amat memekakkan telinga. Seluruh isi gereja luluh lantak. Gavin menarik tangan Reina, namun naas dampak bom itu lebih dulu sampai ke Reina. Tubuhnya hancur bersama dengan jemaat lain. Hanya Gavin dan beberapa jemaat yang berhasil keluar dari gereja kecil itu.
Bangunan gereja hancur terbakar, nafas Gavin menderu kencang. 5 jemaat lain yang berhasil menyelamatkan diri mulai mengetahui situasi. Mereka menangis memanggil manggil nama kerabat yang terbakar didalamnya. Gavin amat terpukul, tubuhnya jatuh terduduk.
“Reina..” Desis Gavin.
Hari itu hari berkabung nasional. Bom bunuh diri telah menghancurkan sebuah gereja bersejarah. Semua keluarga dari korban terpukul mendengar berita anggota keluarganya menjadi korban. Mereka menuntut agar pelaku dikenai hukuman dan bertanggung jawab atas semua ini. Gavin diperiksa sebagai saksi. Gavin meceritakan semua detail kejadiannya. Polisi sudah menetapkan bahwa pelaku bom juga tewas dalam ledakan itu. Bom bunuh diri.
“Mas?” ucap seorang pak tua. Gavin menoleh. “Iya Kek? Ada apa?” tanya Gavin sopan. “Apa mas tau alamat ini?, mata saya sudah tak jelas melihat” ucap pak tua itu. Gavin menerima kertas kecil itu, lalu berfikir sejenak. “Saya tau Kek” ucap Gavin. “Bisa mas antarkan saya kesana?” tanya pak tua itu. Gavin patah patah mengangguk. “Bisa kek..” ucap Gavin.
Langit mulai gelap, Gavin dengan sabar menuntun pak tua itu. Hingga sampai di alamat seperti yang tertera di kertas kecil itu. Alamat yang terdengar ganjil itu. Gavin mengamati sekitar, ia tak pernah kesini sebelumnya.
“Sudah sampai Kek” ucap Gavin. “Ayo mas masuk, ini toko warisan turun temurun keluarga saya” ucap pak tua itu. Gavinpun ikut masuk ke dalam toko yang terlihat seperti toko elektronik itu. Didalamnya alat alat elektronik banyak terdapat. “Toko ini jual barang elektronik Kek?” tanya Gavin. Sepi, tak ada jawaban. Gavin mengamati sekelilingnya, tak ada pak tua itu. Gavin menelan ludah.
“Kek?? Kakek dimana?” teriak Gavin. Ia berjalan mengelilingi ruangan itu. Ada pintu ke ruangan lain. Gavin membuka pintu itu perlahan. Silau!!! Gavin memejamkan mata karena saking silaunya. Sekelilingnya seperti ada lampu ribuan watt, Gavin tak sanggup membuka matanya.
Hening.. Gavin membuka perlahan matanya, ia ada dimana?. Gavin melihat sekelilingnya. Tepi danau taman. “Vin?? Vin??” panggil seseorang wanita. Gavin memfokuskan pandangannya. Reina. Gavin tersenyum. Ternyata bayangan itu masih ada. Gavin! Bangun!” ucap Reina menepuk pelan pipi Gavin. Terasa, sangat terasa. Gavin bangkit, ini bukan mimpi?. Reina sungguhan ada didepan matanya. “Reina” ucap Gavin perlahan amat terkejut, Reina ada dihadapannya. Bukan bayangan apalagi mimpi. Sungguhan ada di hadapannya sedang duduk bersamanya. “Kamu tidur ya? Dari tadi dibangunin susah banget!” ucap Reina. Gavin mengamati sekitar. Benar! Ini tepi danau favoritnya dan Reina.
“Kamu kenapa sih Vin?” tanya Reina. “Enggak kok” ucap Gavin, masih bingung. Bagaimana ini bisa terjadi?. Gavin mengingat ingat, apa gara gara membuka pintu di toko elektronik itu?. Gavin memikirkan sesuatu. “Sekarang jam berapa?” tanya Gavin. “Kamu lupa ya? Kamu kan punya jam tangan kok nanya ke aku” ucap Reina lalu tertawa, Gavin menggaruk kepala. Gavin melihat jam yang melingkar di tangannya. Jam 16:45.
“Sekarang tanggal berapa?” tanya Gavin. “Kamu kenapa sih? Kok aneh gini?” tanya Reina. “Ini kan tanggal 23 September” ucap Reina. Gavin terkejut, itu adalah tanggal bencana yang memisahkannya dengan Reina terjadi. Gavin menelan ludah, apakah ia kembali ke masa lalu?. Setaunya hari ini tanggal 30 September, seminggu setelah kejadian naas itu terjadi.
Gavin menatap langit sore, bagaimana ini bisa terjadi?. Gavin berpikir apakah ini kesempatan yang diberikan Tuhan padanya?. Jika iya, Gavin bertekad untuk menyelamatkan Reina dari bencana itu. Ia tak ingin kehilangan Reina untuk yang kedua kalinya.
Gavin menatap Reina. “Kamu kenapa liat aku segitunya?” tanya Reina, Gavin menelan ludah. Bagaimana bisa Reina mengucapkan kalimat yang sama seperti seminggu yang lalu? Nadanya juga sama. “Kamu cantik” ucap Gavin. Reina tersipu malu ia mendorong lemah bahu Gavin. “Gombal” ucap Reina. Ini juga sama. Apa jangan jangan ia tak bisa mengubah takdir Reina?, lantas apa gunanya ia jika waktu mengizinkannya memutar kembali kenangan itu.
“Rei” ucap Gavin. “Hmm” ucap Reina tak menjawab. “Umur kita udah cukup buat kejenjang yang serius. Aku mau kita segera menikah” ucap Gavin lalu mengambil kotak kecil disaku bajunya. Menyodorkannya pada Reina. Reina amat terkejut, matanya berkaca kaca. “Maukah kamu menjadi istriku?” tanya Gavin. Reina mengangguk. Gavin memeluk Reina, pelukan yang tak sama seperti seminggu yang lalu. Pelukan yang lebih erat, Gavin tak ingin kehilangan Reina untuk yang kedua kalinya.
“Vin!” ucap Reina. “Mau sampai kapan kamu peluk aku?, sesak nih aku gak bisa nafas!” ucap Reina disertai kekehan darinya. Gavin melepaskan pelukannya, ia menggaruk kepala yang tak gatal.
“Ehmm.. Rei.. Ini cincin kamu” ucap Gavin menyodorkan kotak cincin pada Reina, mata Reina berkaca kaca. “Aku gak mau kehilangan kamu” ucap Gavin setelah memasang cincin di jari manis Reina. Reina tersenyum. “Kamu ngomong apa sih? Emang aku mau kemana?” ucap Reina, Gavin tersenyum getir. Reina tak tau ada bencana yang sedang mengintainya. “Aku gak mau kehilangan kamu” ucap Gavin. Reina tersenyum. “Aku gak bakalan ninggalin kamu” ucap Reina. Gavin memeluk Reina, bagaimana cara agar Reina menghindari mautnya?.
Mereka sedang berjalan berdua, malam sudah datang. Gavin melihat jam di tangan, pukul 18:15. Kejadian mengerikan itu terjadi pukul 18:55. 40 menit tersisa, apa yang harus Gavin lakukan untuk menyelamatkan Reina?. “Vin.. Kita ke gereja yuk!” ucap Reina, Gavin sontak berteriak. “Jangan! Jangan ke gereja!” teriak Gavin parau, Reina bingung. “Kenapa Vin?” tanya Reina. “Jangan ke gereja!, mendingan kita makan atau kemanalah” ucap Gavin menarik tangan Reina menjauhi arah gereja. “Tapi kan tadi pagi kita belum misa” ucap Reina. “Gak usah, mendingan kita pergi” ucap Gavin semakin kuat menarik tangan Reina. “Kamu kenapa sih? Nanti Tuhan marah loh” ucap Reina, terserah! Di fikiran Gavin hanya bagaimana menyelamatkan Reina.
“Kita makan malam aja yuk!” ajak Gavin, Reina pun menyetujuinya. “Rei, kita makan di restoran ini aja ya” ucap Gavin, setelah mereka sampai di depan restoran minimalis namun sangat artistik. Reina mengangguk. Mereka duduk di meja nomor 11. Gavin melihat jam di tangan, pukul 18:35. 20 menit lagi, Gavin mengamati sekitar tak ada yang akan membahayakan keselamatan Reina.
“Vin?” tanya Reina. “Hmm” Gavin menoleh. “Kamu nungguin siapa? Kok liat jam mulu” ucap Reina. “Enggak kok nggak nungguin siapa siapa” ucap Gavin, Reina tersenyum manis. Senyum yang sama seperti di gereja. Gavin menelan ludah, bagaimana ini bisa terjadi secara kebetulan?. Gavin menatap meja, nomor 11. Apa!!! Nomor 11?? Itu adalah barisan kursi yang kami duduki sewaktu di gereja. Gavin semakin tegang menunggu ‘Bencana’ itu datang. Pikiran Gavin melayang kemana mana, jika ia tidak bisa menyelamatkan Reina.. Maka biarlah ia yang akan menggantikan Posisi Reina. Karena takdir tidak bisa diubah. Gavin melirik jam di tangan, 18:45. 10 menit lagi, Gavin semakin gusar.
Reina menggenggam tangannya, menenangkan. “Kamu kenapa sih Vin?” tanya Reina, aku menggeleng. Mencoba tersenyum. Reina ikut tersenyum.
18:50. 5 menit lagi, kenapa waktu begitu tega?. 500 meter dari restoran itu, terdapat kejadian yang amat luar biasa. Sebuah truk besar memuat pasir sedang oleng, pengemudinya sedang mabuk berat. Truk besar itu menabrak apapun dihadapannya. Korban berjatuhan. Suara teriakan orang orang terdengar, Gavin menelan ludah. Inilah waktunya?.
“Rei!! Cepat Pergi!!” teriak Gavin sebisanya. Reina tak mengerti. “Pergi sekarang!!!” teriak Gavin parau, Reina menjauhi meja ia berlari kearah pintu belakang. Gavin akan menyusul Reina, namun naas takdir itu tidak bisa diubah.. “Brakk!!!” badan truk menimpa setengah bangunan restoran, Gavin dan beberapa orang tertimpa dibawahnya.
Dibalik reruntuhan Gavin masih bisa bernafas, ia mendengar teriakan orang orang dan Reina yang akhirnya mengetahui apa yang terjadi. “Aku sudah menyelamatkanmu Rei.. Aku sudah menyelamatkanmu..” ucap Gavin dalam hati, lalu sang waktu amat kejam mengambil hidupnya.
“Vin.. Aku akan terus cinta sama kamu” ucap Reina lirih. Ia mengusap bulir air mata di pipinya. Matanya terus memandang cincin indah di jarinya. “Aku janji Vin..” ucap Reina sembari memandang langit sore yang sekarang mulai tertutup mega merah. Reina terisak menangis.
Cerpen Karangan: Seli Oktavia Blog / Facebook: Sellliii Oktav Ya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com