“Ini pesanan anda.” Senyum Reni sambil menaruh makanan dihadapan seorang wanita paruh baya, kemudian beralih pada sosok lelaki di hadapan wanita tersebut. Mata Reni membesar dalam sekejap.
“Mas Dipta?” “Reni?” saut lelaki itu tak kalah kagetnya. “Lama gak ketemu Mas,” kata Reni canggung. “Ah, iya Ren. Kamu kenapa ada di Jakarta? Kuliah kamu gimana?” “Em … itu mas, semester ini aku gak dapat beasiswa jadi aku cuti dan merantau kesini.” “Oh begitu …”
“Siapa? Teman kuliah?” tanya wanita di hadapan Dipta. “Adik tingkat,” jawab Dipta sambil tersenyum kepada wanita itu. Reni memandang Dipta. Mata mereka bertemu. “Siapa?” Tanya Reni sambil melirik wanita itu. “Ah … pacarku.” Jawab Dipta ragu.
Reni langsung memandang wanita itu secepat kilat. Ia menamati dari atas sampai bawah. Bagaimana bisa seseorang yang berpacaran dengannya dari awal dia memasuk kuliah, tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah 4 semester mereka lewati bersama. Dan sekarang dia tanpa tau malu mengatakan berpacaran dengan wanita lain? Apa ini bisa dikatakan perselingkuhan? Atau mungkin Reni yang kurang berpengalaman tentang berpacaran sehingga tidak paham jika Dipta tak menghubunginya selama setahun itu sudah sah dianggap putus? Selain itu Reni lebih tak terima karena wanita itu jelas-jelas lebih pantas jadi ibunya Dipta dibanding jadi pacarnya.
“Lebih tepatnya calon istri.” Suara wanita itu membangunkan lamunan Reni. Membuat mata Reni semakin terbelalak. “Kita berdua akan menikah bulan ini. Jika ada waktu mungkin kamu bisa datang. Seperti yang kamu tahu … Diptaku tercinta ini teman-temannya di Semarang semua. Jadi karena kamu disini. Mungkin kamu bisa jadi perwakilan mereka.” Reni terdiam sebentar, mencoba menelan kenyataan pahit tersebut.
“Ah … Akan saya usahakan untuk datang. Saya akan hubungi teman-teman juga, siapa tahu ada yang kebetulan pada hari itu sedang di Jakarta. Selamat atas pernikahannya. Saya permisi dulu mau melanjutkan kerja.” Terlihat jelas Reni memaksa senyuman di wajahnya. Dia melirik sekilas wajah Dipta dengan mata yang mulai memerah. Dia langsung menuju kamar mandi dan menangis sesampainya menutup pintu. Penantian yang ia tunggu selama ini menjadi tak ada nilainya dalam sekejap.
Reni pulang kerja dengan wajah tak bersemangat. “Ren,” panggil sebuah suara dari belakang tubuhnya. Reni membalikkan badan seketika. Dia mendapati Dipta disana. Dipta berjalan mendekati Reni tanpa ijin. Dia menyodorkan sebuah amplop di depan wajah Reni. “Apa ini?” “Buka aja.” Reni mengambil amplop itu dari tangan Dipta. Dia membuka dan mendapati Cek dengan angka satu dan banyak nol dibelakangnya. Matanya terbelalak, dia menatap Dipta seakan butuh penjelasan.
“Aku tadi tanya Fika temen kamu, kamu cuti kuliah buat bayar biaya berobat ibu kamu kan?” “Walaupun benar, tetap aku gak bisa terima, Mas.” “Terima saja Ren. Aku pernah berada di situasi yang sama. Anggap saja ini bayaran untuk permintaanku.” “Permintaan apa?” “Soal tadi. Tolong jangan bilang pada siapapun aku akan menikah.” “Loh, kenapa?” “Memalukan bukan? Kalau mereka tahu aku menikah dengan wanita tua.” Reni terdiam sebentar, mencerna kata demi kata yang baru saja diucapkan Dipta.
“Kalau malu kenapa nikah?” tanya Reni dengan nada tinggi. “Karena wanita itu punya banyak uang.” “Kamu gak cinta sama dia?” Dipta hanya menggelengkan kepala.
“Kamu … benar Mas Dipta yang aku kenal?” “Aku bukan Dipta yang dulu. Aku sudah menyerah menjadi Dipta yang kamu kenal.” “Kenapa? Kenapa Mas malah jadi parasite kayak gini?” “Parasite? Gimana dulu sulitnya aku hidup, kamu tahu? Lagi pula aku gak bisa nolak! Karena dari awal aku ke Jakarta, wanita itu yang menawariku jadi model. Bahkan dia membayar hutangku setiap bulannya, selain itu dia juga membantu membayar biaya rumah sakit adikku. Karena itu aku selalu berbaik hati padanya, sampai dia salah paham dan mengajakku berpacaran. Aku gak bisa menolak karena aku hanya bisa membalasnya dengan tubuhku. Bahkan saat dia mengajakku menikah. Aku hanya bisa berkata iya. Bukannya ini sama menguntungkan bagi kedua belah pihak?”
“Cinta itu bukan simbiosis mutualisme! Tetap saja ini gak benar!” “Apa yang gak benar? Kamu tahu apa soal hidup aku? berapa hutang orangtuaku? Sampai aku tua pun belum tentu bisa lunas, ditambah lagi biaya rumah sakit adikku. Siapa yang mau menikahi laki-laki miskin, banyak hutang dan punya adik yang sakit? Kalaupun ada … apa kamu yakin orangtuanya akan rela merestui? Karena itu juga aku ninggalin kamu saat itu. Lagi pula, menurutku gak ada bedanya aku kerja keras buat bayar hutang atau menikahi wanita itu. Yang membedakan hanya aku lebih hidup enak jika memilih wanita itu. Apalagi dia sudah tua dan tak punya anak. Tentu jika dia meninggal semua hartanya akan jadi milikku.”
Reni memandang ke arah amplop yang dipegangnya. Dia berfikir apapun yang dia katakan tak akan bisa mengubah pikiran gila Dipta. “Apakah ini uang wanita itu?” “Tenang saja, uangnya gak akan habis sampai tujuh turunan. Kamu bisa segera membayar pengobatan ibu kamu. Dan lanjut kuliah lagi semester depan.” “Aku gak mau menerima uang menjijikkan ini, Mas.” “Apa? Menjijikkan?” Dipta menghela napas panjang. “Kalau gak mau, buang aja!” lanjutnya. Reni melempar amplop itu ke samping, ke tengah jalan. Mata Dipta melotot. “Ren!” bentaknya. “Ternyata Mas Dipta yang sekarang seperti ini … gak lebih dari parasite menjijikkan! Aku rasa lebih baik kita seharusnya tak bertemu disini. Jadi aku bisa mengingat Mas Dipta sebagai sosok cinta pertama yang berhati baik. Bukan seperti ini!” Reni berlalu pergi meninggalkan Dipta yang masih mematung.
Seminggu berlalu, sejak saat itu Reni tak melihat Dipta lagi. Dia menghilang lagi seperti setahun yang lalu. Tanpa kabar dan tanpa kata selamat tinggal.
“Ren.” Ucap seseorang dari balik tubuh Reni. Reni seakan mengalami dejavu. Reni berbalik dan mendapati Dipta tepat dibelakangnya. “Tenang saja aku gak akan bilang sama siapapun kalau kamu akan menikah.” Dipta menyodorkan sebuah amplop di depan wajah Reni. “Aku sudah bilang, aku gak mau nerima uang menjijikkan itu. Aku juga gak akan bilang sama siapapun kamu akan menikah!” “Ini bukan uang wanita itu. Ini hasil kerja kerasku. Ya, walaupun kebanyakan ini hasil aku minta upah diawal.” Tatapan Reni langsung tertuju pada mata Dipta yang berkantung. Wajahnya juga terlihat lesu.
“Terimalah Rin. Jangan keras kepala, inget ibu kamu harus segera dioperasi. Kamu juga gak boleh kelamaan cuti kuliah.” Dipta memberikan amplop tersebut ke tangan kanan Rina. Rina membuka amplop itu ragu. Kenyataannya dia memang tak punya pilihan lain. “Uang sebanyak ini. Mungkin butuh waktu lama untuk mengembalikannya, tapi aku janji aku bakal balikin, Mas.” “Kamu gak perlu balikin dalam bentuk uang … kamu hidup bahagia itu udah cukup buat aku. Dan juga, aku tahu sudah terlambat untuk mengatakannya tapi aku rasa aku harus mengatakannya.”
“Ayo kita putus Rin, lupakanlah aku, hiduplah bahagia. Bertemulah dengan laki-laki yang baik dan jangan berakhir menjadi parasite seperti aku,” sambung Dipta.
Air mata Rina menetes tanpa ijin. Rina tahu itu kata-kata klise yang biasa diucapkan banyak orang saat berpisah tapi entah mengapa dia cukup terharu dengan ucapan Dipta tersebut. Sepertinya Dipta tahu Rina menunggunya selama ini karena dia tak pernah mengucapkan kata selamat tinggal.
“Maaf, seharusnya aku bilang ini sebelum pergi ninggalin kamu. Aku cuma … masih belum bisa melepaskan kamu saat itu. Maka dari itu aku gak berani bilang, aku nunggu saat yang tepat untuk balik ke kamu tapi aku sadar sekarang, aku sudah tak pantas. Kamu pantas dapat yang lebih baik. Aku akan mencoba melupakan kamu dan mencoba mencintai wanita itu walau aku tak bisa janji akan benar terjadi. Tapi paling tidak, aku sudah berusaha. Aku harap kamu juga cepat melupakan aku. Anggap saja uang itu ganti rugi saat kita pacaran dulu. Kamu udah ngeluarin banyak uang buat bantu aku waktu itu. Dan jika kamu ada masalah hubungi aku, saat ada masalah saja. Aku pamit Rin …” Rina menahan tangan Dipta. “Jangan pergi … tidak bisakah Mas Dipta kembali seperti dulu lagi? Aku akan bantu Mas sebisa mungkin. Jadi tetaplah di sampingku Mas … Uang bisa dicari, pasti ada jalannya kok …” Dipta melepaskan tangan Rina perlahan. “Maaf Rin. Aku yakin aku akan menyesal meninggalkan kamu seperti ini tapi ini lebih baik dari pada kamu yang menyesal nantinya karena mempertahankanku. Aku yakin nantinya hidupmu akan sengsara. Karena itu pilihan yang tepat adalah ini. Mengubur Dipta yang dulu dan datang padamu hanya saat kamu sedang kesulitan. Maka dari itu bahagialah! agar kita tak perlu bertemu lagi.”
Dan begitulah Dipta pergi dari hidup Rina sampai saat ini. Saat dimana Rina memakai Toga dan tersenyum di depan kamera ditemani sang ibu disampingnya.
Cerpen Karangan: Desy Puspitasari Blog / Facebook: DesyPuspitasari
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com