Suasana UKS begitu sepi, tentu saja hanya ada seorang gadis yang sedang mengobati beberapa luka di tangannya, beberapa kali ia meringis kesakitan. Gadis itu bernama Bina. Bina merupakan gadis yang pendiam, pintar namun tidak mempunyai satupun teman karena Bina kehilangan pengelihatannya sejak ia masih kecil. Waktu itu ia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan ia tak bisa melihat lagi.
Bina bangkit lalu mengambil tongkat dan meninggalkan ruangan UKS, ia berjalan menuju kelas walaupun ia tak bisa melihat tetapi Bina bisa merasakan bahwa orang-orang seperti menatap dirinya. Sejak bersekolah di sini dan mereka tahu bahwa Bina tak bisa melihat, mereka selalu membully Bina dengan keras bahkan Bina sering kali melaporkan hal itu pada pihak sekolah, namun sayangnya tak ada satu orang pun yang ingin menolong dirinya.
“Heh buta, lo itu enggak pantes sekolah di sini hahaha” “Iya enggak pantes, jijik banget sih loh” “Lo itu ga pantes hidup, mending lo mati aja” Bina hanya bisa terdiam mendengar perkataan mereka yang begitu menyakitkan, Bina sudah terbiasa mendengar perkataan kejam dari mereka yang selalu menghina dirinya. Mati? Apa Bina harus mati agar mereka senang?
Derasnya hujan yang turun dari langit membahasahi seluruh kota, kedatangan hujan yang biasanya menyejukkan hati dan mampu membuat suasana yang begitu nyaman. Akan tetapi, berbeda dengan Bina sepertinya hujan saat ini sangat mengerti dengan keadaan Bina.
“Lo itu enggak pantes hidup, mending lo mati aja” Bina menghentikan langkahnya, perkataan itu selalu terngiang di benaknya. Apa harus ia mati? Bina berjalan menuju jalan raya yang dimana banyak pengendara yang berlalu lalang, Bina sudah tidak tahan lagi untuk menjalani kehidupan yang seperti ini.
Tittttt! Bina menolehkan kepalanya ketika mendengar suara klakson mobil di arah sana, Bina meneteskan air matanya dan tersenyum tipis. Ahh… Bina benar-benar akan mati hari ini. Selamat tinggal dunia.
BRUK Bina meringis kesakitan ketika ada seseorang yang menarik dirinya dengan kasar sehingga Bina terjatuh. Bina memandang lelaki yang sepertinya seumuran dengan dirinya, lelaki itu juga terjatuh dan terdapat luka kecil di lengan lelaki itu. Lelaki itu mengambil payung yang juga terjatuh, ia bangkit dan menghampiri Bina yang masih terduduk dengan hujan yang deras dan hal itu membuat tubuh Bina menjadi basah kuyup. Lelaki itu menyamakan posisinya seperti Bina bahkan ia memayungi Bina. Tanpa disadari oleh Bina, lelaki itu tersenyum tipis. Bina terdiam, ini pertama kalinya ada seseorang yang menolong dirinya. Lelaki itu mengambil payung
“Nama lo siapa?” tanya lelaki itu yang kini mengelus rambut basah Bina. “Bina” “Bina? Namanya cantik, nama gue Gentala” Gentala? Ah, Bina harus mengingat nama lelaki ini yang sudah menolong dirinya.
“Lo buta ya?” Bina menganggukkan kepalanya dan Bina bisa merasakan Gentala memberikan tongkat miliknya yang mungkin tadi sempat terjatuh. “Nih dijaga baik-baik tongkatnya, jangan bunuh diri enggak baik. Lo pantes hidup” Gentala menarik tangan kanan Bina dan meletakkan payung yang ia bawa tadi di tangan Bina. “Lo butuh payung udah basah kuyup, gue pergi dulu” Bina mendengar suara langkah kaki Gentala yang mulai menjauh, Bina yang hendak pergi meninggalkan tempat itu langkahnya terhenti ketika mendengar teriakan dari Gentala yang berhasil membuat jantung Bina berdetak dengan kencang.
“Mata lo cantik, gue suka” Gentala melambaikan tangannya kearah Bina, Gentala tau Bina tak bisa melihat hanya saja Gentala harus melambaikan tangannya pada gadis secantik Bina ini.
Sejak pertemuan pertama antara Bina dan Gentala, mereka sering bertemu. Gentala selalu menemani Bina, ia selalu mengantarkan Bina ke sekolah, menjemput Bina bahkan Gentala pernah memukul seorang laki-laki yang waktu itu mengejek Bina buta. Gentala orang yang pertama memeluk Bina ketika Bina menangis, orang yang pertama mengatakan ‘lo enggak papa?’, orang yang selalu membuat Bina tertawa. Dengan kehadiran Gentala hidup Bina menjadi berwarna. Seperti saat ini, Bina mendengar Gentala yang mengeluh karena sedang bermain kelereng bersama seorang anak kecil laki-laki yang datang entah dari mana.
“Ih abang payah” kata anak kecil lelaki itu. “Eh bocah, gue cuma ngalah ya” “Alasana huhuhu” Bina tertawa terbahak mendengar kedua laki-laki yang berbeda usia itu. “Kakak cantik, kok mau sih temanan sama abang jelek ini” ejek si anak kecil lelaki ini. “Heh, jelek matamu. Orang ganteng gini” Anak kecil itu mengabaikan Gentala dan menghampiri Bina, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Yah namanya juga anak zaman sekarang. Anak lelaki itu membuka aplikasi kamera dan duduk di pangkuan Bina. “Eh, mau ngapain?” tanya Gentala. “Mau foto sama kakak cantik” “Kok gue ga diajak?” “Karena abang jelek” Gentala menghela nafasnya dan menghampir bocah itu lalu merampas ponselnya dan kini ia duduk di samping Bina, melihat di kamera wajah Bina tak terlihat. Gentala merangkul Bina untuk mendekat ke dirinya. Jantung Bina berdetak dengan kencang memang sejak pertemuan pertama mereka Bina selalu merasakan perasaan yang seperti ini. Cekrek “Nah ni jangan lupa kirim ke abang” bocah itu turun dari pangkuan Bina dan pergi meninggalkan Gentala dan Bina
Ting. Gentala melihat ponselnya ternyata anak laki-laki tadi sudah mengirimkan foto mereka bertiga dengan caption ‘wajah abang paling jelek’ Gentala terkekeh pasalnya ia tak memiliki saudara, dan melihat anak kecil yang tiba-tiba mengajaknya bermain kelereng Gentala menjadi bersemangat dan melupakan Bina yang sejak tadi hanya duduk dan mendengarkan celoteh mereka.
“Coba lo senyum terus Bin… Lo cantik” Bina tertegun mendengar perkataan Gentala, ia hanya bisa tersenyum tipis mendengar perkataan lelaki itu. “Bin, lo mau pulang?” tanya Gentala. “Kenapa? Kamu ada urusan?” “Iya, mau temani mama dulu di rumah sakit” “Oh ya enggak papa” Gentala tersenyum, ia mengambil tongkat milik Bina dan melipatnya, ia pun mengambil tangan kanan Bina dan melingkarkan tangan Bina di lengannya. “Yuk cantik” Bina mengangguk dan tersenyum tipis.
Bina termenung di kamarnya, sudah hampir 4 bulan Gentala tak pernah lagi berkunjung ke rumahnya bahkan Bina mencoba menelepon pria itu, tapi hasilnya nihil. Kemana Gentala? Gentala selalu mengabari dirinya bahwa ia selalu menemai mamanya di rumah sakit, Bina sempat bertanya apakah mamanya sakit? Dan Gentala tak menjawab itu, Gentala hanya mengatakan bahwa mamanya baik-baik saja. Bina tak pernah menanyakan dari mana Gentala berasal, bagaimana bisa dia berada di sekitar rumahnya, dan dimana Gentala sekolah? Setiap bertemu dengan Gentala ia hanya menikmati Gentala yang selalu menghiburnya bahkan pria itu juga selalu membuat ibu Bina tertawa terbahak-bahak.
“Masih belum ada kabar ya dari Gentala nak?” Bina menggelengkan kepalanya. “Mungkin Gentala masih temani mamanya di rumah sakit. Nanti juga dia kabarin kamu kok” Bina hanya mengangguk kepalanya.
Trrrrrtttt “Halo?… oh iya saya ibunya Bina ada apa ya mba?” Bina hanya bisa mendengar percakapan antara ibunya dengan seseorang yang tak ia kenal. “Alhamdulillah, terimakasih mba” Bina menggerutkan keningnya bingung. “Kenapa bu?” “Sayang, kamu dapat donor mata. Ada orang yang mau donorin matanya buat kamu. Kata suster yang tadi telepon ibu matanya sangat cocok sama kamu” “Serius bu? Jadi Bina bisa melihat lagi?” “Iya, sayang tentunya bisa melihat wajah gantengnya Gentala” “Ih ibu”
Mendapatkan informasi bahwa Bina mendapatkan pendonor mata, kini Bina sedang menjalankan operasi waktu sudah berjalan 1 jam namun pintu operasi belum kunjung untuk terbuka. Ibu Bina sangat gelisah ia khawatir dengan keadaan putri satu-satunya ini, ia selalu berdoa agar operasinya bisa berjalan dengan lancar, mengingat bahwa ini adalah operasi pertama yang dilakukan oleh Bina.
Kreeek! Pintu ruangan operasi terbuka, dan menampakkan diri dokter yang bertanggun jawab dalam operasi Bina. “Anak saya dok, bagaimana?” “Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar, dan pasien akan kami bawa ke ruangan yang telah disediakan dan kita membutuhkan waktu selama satu minggu untuk membuka perban di matanya, jadi ibu harus menemani Bina selama masa pemulihan ya” “Terimakasih dok”
Seminggu kemudian, ini merupakan hari yang ditunggu-tunggu Bina ia sudah tak sabar melepaskan perban di matanya. Tapi, di sisi lain Bina sangat merindukan Gentala. Hingga saat ini, Gentala tak kunjung memberikan kabar, padahal Bina ingin sekali melihat wajah Gentala dan bagaimana reaksi Gentala ketika mengetahui bahwa Bina bisa melihat lagi.
Tok… tok… tok “Hallo Bina, udah enggak sabar ya” Bina menganggukan kepalanya dengan senyuman yang sangat lebar. “Ya udah, sekarang kita coba buka perbannya ya” dokter pun membuka perban mata Bina secara perlahan-lahan.
“Nah Bina, coba buka matanya pelan-pelan” Bina pun membuka matanya secara perlahan ia bisa melihat agak sedikit buram, namun tak lama kemudian ia melihat wajah jelas ibunya yang kini tersenyum pada dirinya. “Alhamdulillah” Bina merasakan pelukan hangat dari sang ibu. “Bina bisa lihat” ibunya hanya mengangguk dan menangis terharu karena putrinya kini bisa melihat seperti semula.
“Bu… Bina kangen Gentala” ibunya hanya bisa terdiam mendengarkan perkataan putrinya. “Bina, ada yang harus saya sampaikan sama kamu” Bina menatap dokternya dengan bingung karena melihat ekspresi dokternya yang begitu sedih. “Saya mamanya Gentala” “maksud anda?” “Saya harap kamu enggak benci sama putra saya Bina. Gentala home schooling sejak SMP, ia anaknya begitu periang, namun karena sakit ia tak bisa kemana-mana dia enggak bisa main bola basket, dia enggak boleh makan sembarangan dan dia harus check out di rumah sakit. Gentala sering cerita tentang kamu sama saya, dia bilang Bina gadis yang cantik, baik, ramah dan pintar. Gentala suka sama kamu Bina, tetapi karena penyakitnya ia tak bisa bilang begitu ke kamu. Sampai akhirnya, penyakit Gentala yaitu kankernya sudah mencapai stadium akhir karena itu Gentala enggak pernah mengabari kamu, enggak pernah berkunjung ke rumah kamu lagi. Dan alasannya kenapa Gentala tidak memberitahukan kamu mengenai kankernya karena dia enggak mau kamu sedih. Dan Gentala sudah meninggal sebulan yang lalu, dan yang mendonorkan mata ini untuk kamu adalah Gentala, Bina”
Bina dan ibunya menangis dengan kencang. Bina tak tau, ternyata Gentala mengalami kehidupan yang sulit juga. Bina menyesal, seharusnya Bina menemani Gentala di akhir-akhir hidupnya. “Ini surat yang sempat ditulis Gentala… buat kamu Bina” Bina membuka kertas yang berwarna biru muda itu, terdapat pita berwarna pink di kertas itu. Bina pun membacanya dengan isakan yang tak bisa ia tahan.
To: Princess Hay Bina… apa kabar? Ah, pasti baik bukan? Kalau kamu sudah menerima surat ini bahkan sudah membacanya pasti kamu bisa melihat lagi kan? Dan pastinya kamu menerima surat ini setelah aku sudah tiada lagi di dunia ini hehe. Bina… kamu cantik, kamu pantas untuk hidup bahagia Bina jangan pernah mendengar omongan orang lain dan jangan pernah putus asa untuk menjalani hidup yang berat ini. Aku yakin kamu pasti bisa menghadapi kesulitan yang menimpa hidupmu, kamu berhak bahagia.
Bina… titip salam sama ibu kamu bilang terimakasih sudah melahirkan gadis cantik seperti kamu dan terimakasih telah memberikan dukungan untukmu. Ah, kalau kamu ketemu si bocah jangan lupa bilang yaa abang ganteng ini kangen hahaha. Dan pastinya kamu akan bertemu sama mamaku, tolong bilang padanya bahwa aku sudah bahagia di surga tak perlu khawatir.
Bina, jangan pernah mengeluarkan air mata lagi ya karena saat ini mataku adalah milikmu. Awal kita bertemu, sorot matamu begitu penuh dengan warna. Melihat itu, aku ingin melakukan segalanya untukmu. Tetaplah tertawa, jangan pernah bersedih lagi. Aku cinta kamu Bina dan aku akan menjadi matamu di sini.
Bina menangis sejadi-jadinya dan menatap sebuah foto yang berada di surat itu, foto dirinya, anak kecil dan Gentala yang tengah tersenyum. Itu adalah pertama kalinya Bina melihat wajah Gentala, wajah yang begitu tampan, senyuman manis dan bibirnya yang pucat.
“Gentala, terimakasih aku cinta kamu juga”
Cerpen Karangan: Wilda Pebrina Blog / Facebook: Facebook: Wilda Febriana Perkenalkan nama ku Wilda Pebrina atau biasa di panggil Wilda. Aku merupakan salah satu mahasiswa Universitas Mulawarman jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan kini aku telah menempati bangku kuliah semester 5.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 16 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com