Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Sebentar lagi matahari akan menyinari ruangan ini. Aku segera menghampiri pintu keluar dan membalikkan tanda “Buka” menjadi “Tutup”. Aku segera membuka semua tirai agar tak ada sedikit pun sinar matahari yang masuk. Setelah selesai, aku segera masuk ke dapur, menuju kamarku dan segera tidur. Menjelang pagi, Kedai Kopi Karuhun, Tutup.
Alarm berbunyi pertanda sudah waktunya aku bangun. Sebenarnya aku tidak benar-benar tidur, aku hanya berusaha untuk memejamkan mata sambil menunggu sore hari tiba. Setiap hari, Dimas akan datang pukul setengah lima sore, dia masuk lewat pintu belakang yang langsung menuju dapur dan kamarku. Dia mempersiapkan segala sesuatunya di dapur. Mulai dari memasak air, menyiapkan gelas, kopi, dan lain-lainnya.
Tok… toktok… terdengar ia mengetuk pintu kamarku. “Dewa.. bangun.” Dimas memanggilku. Kemudian ketukan pintu itu berhenti.
Aku bangun dari tempat tidurku yang cukup sempit ini. Meskipun begitu, aku nyaman berbaring disini seharian penuh, bahkan bertahun-tahun. Aku mencuci muka dan menyeka dengan handuk, aku melihat ke arah cermin dan terlihat kemeja putih dan celana hitam yang melekat di tubuhku. Aku mengambil apron hitam dan mengenakannya. Aku bergegas keluar dan melihat Dimas yang sudah memasak air dan mengeluarkan Kopi yang baru saja ia beli. Tak lupa ia membelikanku beberapa labu “Jus merah” seperti biasanya.
“Kamu tunggu air ini matang. Sudah ada pesanan lima Cappuccino, dua Americano dan tiga Kopi Karuhun Original. Aku akan segera membuka kedai ini.” Kata Dimas sambil pergi ke depan.
Aku mulai membuat pesanan yang Dimas katakan. Khusus untuk Kopi Karuhun Original, aku hanya bisa membuatnya di dalam dapur. Setelah selesai, aku membawa tiga cangkir Kopi Karuhun Original dan membawanya ke Kedai untuk diberikan kepada pelanggan. Untuk kopi ini pun kami hanya bisa menyajikannya di tempat, tidak untuk dibawa pulang. Dimas sedang membuat pesanan kopi lainnya. Kedai sudah buka dan sekarang masih sepi. Memang para pelanggan biasanya baru akan datang sekitar pukul enam sore, itu pun para tukang ojek online yang membawa pesanan mereka untuk pelanggan. Matahari sekarang sudah terbenam diganti oleh malam yang dingin. Para pelanggan satu-persatu mulai berdatangan.
Pelanggan pertama yang datang adalah Pak Karyo, seorang karyawan sebuah Bank swasta tak jauh dari kedai kami. Ia selalu memesan Espresso. Hanya lima menit saja ia disini, ia lalu pergi untuk pulang. Kemudian, Bu dian, salah satu karyawan toko serba ada. Dia selalu memesan Caramel Machiato, dia sering duduk di dekat jendela, menikmati kopinya sambil melihat kearah jendela, selalu begitu setiap ia datang kemari. Hari ini cukup banyak pengunjung yang datang. Beberapa orang memesan Kopi Karuhun Original yang memang menjadi ciri khas dari kedai kopi ini. Setidaknya sudah hampir seratus tahun resep ini aku pertahankan. Awalnya adalah kakekku yang membuat racikan ini, paling tidak itu yang aku jelaskan pada para pelanggan dari dulu. Di dinding belakang terdapat foto kakekku, ayahku dan terakhir fotoku, sebagai tanda bahwa kedai ini sudah dijalankan oleh tiga generasi. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya ketiga foto itu hanyalah foto satu orang saja.
Pintu kedai terbuka, dan nampak seorang perempuan datang dan mengalihkan perhatianku. Aku menjatuhkan tamper kopi. Dimas melirikku dan tersenyum, sepertinya ia tahu kenapa aku bisa ceroboh seperti itu. Diana, sosok perempuan yang akhir-akhir ini mengusik benakku. Dia datang dan menghampiriku.
“Hai, Dewa, apa kabar?” Diana menyapaku. “Ba..” “Mbak Diana mau pesan apa?” Tiba-tiba Dimas menyela. “Biasa, Kopi Original satu.” Dia tersenyum kepadaku dan mencari tempat duduk yang kosong.
Aku hanya terpaku dan melihat dia berjalan mencari tempat duduk yang kosong. Senyumannya tidak pernah hilang di pikiranku, mengingatkanku akan seseorang yang dulu pernah aku kenal. Selama hampir seratus tahun aku membuka kedai ini, iya seratus tahun. Aku baru menemukan seorang perempuan yang sanggup membuat jantungku kembali berdegup kencang.
“Jangan melongo gitu, cepat buatkan dan antarkan.” Dimas membuyarkan lamunanku. Aku bergegas pergi ke belakang untuk membuatkannya secangkir Kopi Karuhun Original. Kopi ini memang kopi yang cukup unik dan disukai oleh semua orang. Sejak pertama kali aku mendirikan Kedai kopi ini dengan kakeknya Dimas, kopi ini yang pertama kali kami buat. Tentunya dengan resep khusus dariku, yaitu beberapa tetes Jus merah sebagai campurannya. Setelah selesai membuatnya, aku segera menyajikannya kepada Diana yang sudah menunggu.
“Diana, ini kopinya.” Aku menyajikan kopi hangat itu di meja. “Terimakasih.” Diana tersenyum. Aku langsung kembali dan membantu Dimas menyiapkan pesanan lain.
Pukul sembilan malam, para pengunjung sebagian sudah pulang. Terlihat Diana sedang asyik dengan laptopnya sambil sesekali menghirup kopinya. Ia melihat sekeliling dan terkejut melihat kedai yang sudah hampir kosong. Ia kemudian melambaikan tangannya kepadaku, memanggilku. “Dewa sini sebentar.” Kata Dia. Aku sedang sibuk membuat beberapa espresso untuk membuat capucinno yang sudah ditunggu beberapa pembeli. “Sudah temui dia, ini kesempatanmu, jarang sekali aku melihatmu seperti ini.” kata Dimas sambil tersenyum dan mengambil alih pekerjaanku.
Aku melepas apronku dan mendekatinya. Diana kemudian bergeser dari tempat duduknya, mengisyaratkan agar aku duduk di sebelahnya. Aku ragu, tapi aku berusaha tenang duduk di sebelahnya. Meskipun dia sudah sering datang ke kedai ini, tetap saja, baru kali ini aku bisa sangat dekat dengannya.
“Kamu capek ya? Mukamu terlihat pucat dari dekat.” Kata Diana sambil memandangiku. “Enggak kok, biasa saja.” aku menjawab. Asal kamu tahu saja, make-up tebal ini sudah susah payah aku pakai, tetap saja aku tidak bisa menutupi wajahku yang pucat ini. “Jangan melamun, coba lihat esaiku tentang sejarah kota ini.” Kata Diana “Kata Dimas, kamu jago dalam sejarah. Seolah-olah kamu mengalami semua kejadian itu.” Dia menambahkan. Untuk seseorang yang sudah hidup ratusan tahun, wajar saja jika aku mengalami banyak kejadian masa lalu yang sekarang mereka sebut sebagai sejarah. Diana memang manusia baru, umur dia baru dua puluh tahunan. Wajar jika dia tidak tahu tentang kejadian di masa lalu yang sebagian besar memang aku alami.
Aku melirik kepadanya dan pandanganku tertuju pada lehernya yang putih bersih. Seketika nafasku menjadi cepat. Seketika semuanya berhenti bergerak. Diana tak akan menyadari jika aku sedang menatapnya dengan tajam, dia diam seperti patung. Aku melirik Dimas, dia pun diam tak bergerak. Aku tergoda dengan leher dia yang sepertinya akan mengeluarkan jus merah yang segar. Aku mendekatinya dan mencium wangi tubuhnya yang membuatku makin tergoda. Aku terus mendekatinya sembari membuka mulutku lebar. Mengeluarkan taringku yang akan menembus kulitnya.
Tiba-tiba Dimas menggengamku dari belakang dan aku pun tersadar. Nafasku terengah-engah dan semuanya kembali normal. Aku menoleh ke belakang dan Dimas sudah kembali berada di tempatnya. “Jangan melongo aja, gimana ini?” kata Diana sambil menunjukkan jarinya ke arah layar laptop. Aku kemudian membaca tulisannya, esainya cukup bagus, tapi aku memberikan beberapa tambahan dan memberikannya beberapa buku referensi untuk melengkapi esainya. “Ok, Thanks. Aku pulang dulu.” Dia beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkanku.
Dia melambaikan tangan pada Dimas dan akhirnya dia pergi. Pengunjung lain pun sudah pulang. Aku membereskan tempat duduk dan membersihkan kotoran dan noda di meja.
Jam sebelas malam, kami masih buka. Tetapi kedai sudah sepi, tinggal satu orang lagi pelanggan yang aku tunggu. Setelah sekitar setengah jam menunggu akhirnya dia datang. Pak tua dengan jaket kulit kusam, rambut gondrong yang sudah memutih, dan kacamata hitam yang selalu melekat di wajahya. Tak lupa topi flat cap yang selalu ia kenakan meskipun di dalam ruangan. Pak Wilman, ia sama sepertiku, wajahnya pucat dan sudah hidup bahkan lebih lama dariku. Dia duduk di pojok dan aku menyajikannya segelas Kopi Original.
“Duduklah disini anak muda.” Kata pak Wilman kepadaku. Aku pun menurutinya. “Sudah seratus tahun aku meminum kopi ini, rasanya tetap sama seperti pertama kali aku memesannya.” Kata pak wilman sambil menyeruput kopinya dengan nikmat. “Kau dan kakeknya bocah itu memang pandai meraciknya.” Tambah dia sambil menunjuk Dimas. “Iya betul pak, keluarga dia-lah yang sebenarnya membantuku mencari bahan yang bagus untuk menjaga kualitas kopi ini.” Aku hanya tersenyum.
Dia kemudian menggerakkan tangannya membolehkan aku pergi. Akupun beranjak dari kursi dan merapikan meja lain. Tak lama setelah itu, Pak Wilman memberikan uang dan ia pergi tanpa sepatah kata pun. Setelah selesai membereskan dan merapikan kedai, kami beristirahat dan menikmati segelas Kopi Original.
“Kamu terlihat senang ketika Diana datang, aku turut berbahagia melihatmu seperti ini.” Dimas tersenyum sambil meminum kopinya. “Tapi kamu yakin kamu memilih dia sementara dia tidak tahu siapa kamu sebenarnya? Dia hanya akan sementara ada di kehidupanmu dan kamu tahu itu!” Tatapan dia menjadi serius. “Aku memang tidak tahu bagaimana kehidupanmu dulu, tapi aku mewarisi informasi yang ayahku dan kakekku berikan tentang dirimu.” “Dan ketika aku melihat matamu yang berubah merah dan menatap tajam padanya, yang aku tahu kejadian itu terjadi baru satu kali ketika pertama kali kau menyukai seorang manusia.” Dia berbicara sambil terus menatapku. “Kau tahu bagaimana akhirnya bukan? Dan itu bukan akhir yang baik.” Dia seperti membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Aku hanya terdiam dan menunduk lesu. Baru kali ini aku melihat Dimas seperti ini. Meskipun dia tidak se-keras kakek dan ayahnya.
Cerpen Karangan: Zed
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com