“Aku sudah mengambil keputusan dan aku tidak akan mengulanginya lagi.” aku akhirnya bisa memberikan jawaban. “Terimakasih, kamu telah menolongku tadi.” Tambahku. “Baiklah jika begitu, aku percaya kepadamu.” Dia tersenyum dan meninggalkanku. Tak lama Dimas pulang menggunakan sepeda motornya. Aku hanya menatap di jendela ketika dia membunyikan klakson motornya. Aku hanya duduk mengingat-ingat apa yang dia katakan. Ini memang bukan yang pertama kali aku alami, tapi Diana sepertinya berbeda. Meskipun singkat, aku akan mempertaruhkan itu daripada aku menyesalinya seumur hidup.
Di kemudian hari, Diana sering datang ke kedai kami dan menemuiku, dia terlihat gembira setelah aku membantunya menyelesaikan esainya waktu itu. Seiring waktu berjalan, kami sepertinya menjadi lebih dekat, dan kami pun merasa terikat satu sama lain. Meskipun aku bisa membuatnya jatuh cinta seketika dengan tatapanku, tapi aku tidak mau menggunakan jalan pintas untuk mendekati dia. Kami pun sering menghabiskan waktu di kedai dan hubungan kami menjadi lebih dari sekedar teman. Aku bahagia meskipun ini akan menjadi momen yang singkat.
Di hari sabtu, Diana menyelipkan sepucuk kertas di bawah gelas kopi yang telah ia minum. Aku membukanya dan aku terkejut melihat isinya. “Jika boleh aku meminta satu hari saja, aku ingin berbicara denganmu empat mata, maaf jika ini mendadak, tapi dalam satu minggu lagi, aku akan pergi ke Inggris untuk melanjutkan kuliah S-2. Minggu depan, Pantai Kenangan, jam 4 pagi, aku ingin kita menikmati matahari terbit denganmu sebelum kita berpisah.”
Aku hanya terdiam, aku tak menyangka akan menerima pesan ini. Yang benar saja! Sinar matahari akan langsung membakar habis tubuhku. Sial, dia pergi ke inggris? Meskipun aku bisa pergi ke seluruh dunia dengan cepat, tapi Inggris merupakan tempat yang tidak bisa aku datangi. Tidak jauh beda dengan terkena sengatan matahari, aku akan segera tamat.
Dimas, membuka pintu dapur dengan kesal dan dia mendorongku. “Lama amat, ngapain aja?” dia membentakku. Dia melihatku mengenggam sebuah kertas dan dia merebutnya dari genggamanku. Kemudian dia membawa kopi yang sudah aku buat dan kembali tanpa satu kata pun. Dimas tidak berbicara sedikitpun, tapi raut wajahnya menunjukkan bahwa dia pun memikirkan isi dari kertas yang diberikan Diana. Kedai telah tutup dan kami hanya diam mematung. Dimas lalu pergi meninggalkanku tanpa sepatah kata pun.
Besoknya, kami membuka kedai seperti biasa, dan kami masih tidak bericara satu sama lain. Semenjak memberikan potongan kertas itu, Diana pun tidak terlihat datang ke kedai ini. Sudah satu minggu setelah Diana memberikan pesan itu. Artinya hari ini, tepatnya pagi ini dia akan segera pergi meninggalkan kota ini. Pengunjung malam ini sangat banyak. Jam dua pagi kami baru selesai melayani pelanggan. Kami menikmati secangkir Kopi Original setelah selesai. Kopi ini terasa nikmat sama seperti pertama kali aku membuatnya. Begitupun dengan Dimas, dia sangat menikmati kopi itu. Suasana di kedai sangat hening, yang terdengar hanya suara silih berganti dari kami yang menikmati kopi.
“Benar kata Pak Wilman, kopi ini memang terjaga kualitasnya.” Dimas membuka pembicaraan. “Iya benar, jika saja kakekmu tidak mempunyai kenalan untuk pasokan bahannya, aku kesulitan mencari bahan yang bagus.” Jawabku. “Ini sudah satu minggu sejak Diana memberikan pesan, sekitar satu setengah jam lagi pukul empat. Apakah kamu yakin mau menemuinya?” Dimas akhirnya menanyakan itu kepadaku. Aku terdiam sejenak. “Ya, aku akan menemuinya.” Jawabku.
Seketika Dimas beranjak dari kursinya dan meninju pipiku hingga aku terjatuh. Aku hanya diam saja, karena memang pukulannya sama sekali tidak akan melukaiku. Dia kemudian meninju wajahku berulang-ulang sambil meneteskan air mata. “KENAPA..??? KENAPA..???” dia berteriak kepadaku sembari menangis. “Ini pilihanku dan kamu harus menghargainya.” Jawabku Dimas terus menangis dan mengangkatku. “Kamu tahu kan bahwa dia hanya akan sementara ada di hidupmu?” dia berteriak. “Aku mewarisi semuanya untuk membantumu, kenapa kamu sekarang memilih jalan ini? bukankah dulu kalian sudah sepakat tentang perjanjian itu?” dia menarik kemejaku dan menatapku marah. “Kamu juga tahu bahwa kamu hanya sementara mendampingiku dan kenapa kamu memilih jalan ini?” Aku memegang kedua pundaknya.
Seketika dia melepaskan genggamannya dan tersungkur menangis terisak-isak. “Sekarang kamu bebas, kamu tidak akan terbebani oleh masa lalu keluargamu.” Aku menariknya dan merangkulnya. “Satu permintaanku, izinkan aku mengantarmu sekarang.” Dimas mengusap wajahnya dan bergegas menyiapkan motornya.
Kami menaiki motor pergi ke tempat yang sudah dijanjikan, jaraknya lumayan jauh. Dengan terbang, mungkin aku bisa sampai sekitar lima menit bahkan kurang. Sekitar satu jam perjalanan kami akhirnya tiba di Pantai Kenangan. Pantai itu masih gelap, nampak seorang perempuan tengah duduk di pesisir pantai dengan sebuah lentera.
Aku bergegas menemuinya dan Dimas hanya menunggu di tempat kami berhenti. “Terimakasih, untukmu, ayah dan kakekmu.” Aku tersenyum kepadanya. “Selamat tinggal, Dewa.” Dia berusaha tersenyum meskipun terlihat menahan air mata yang tak terasa mengalir. Aku berjalan menemui Diana yang sudah tahu akan kedatanganku.
“Hai, sudah lama menungguku? maaf aku agak terlambat. Hari ini banyak sekali pelanggan.” Aku menyapa Diana yang sedang duduk menatap pantai yang masih gelap gulita. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum. “Tak apa, sini duduklah di dekatku.” “Selamat ya, kamu bisa melanjutkan kuliahmu di Inggris,” kataku.
“Aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu… Aku…” Rasanya bibir ini menjadi kaku. “Aku sudah tahu. Semua tenang dirimu, semuanya.” Dia memotong pembicaraanku. “Maaf jika ini membahayakan dirimu, tapi aku tahu kamu tidak bisa menemuiku disana. Aku tahu semuanya. Aku hanya ingin mengatakan ini sebelum pergi. Aku menyukaimu. Jika kau berkenan, tunggulah aku.” Diana berbicara sambil meneteskan air mata. Aku hanya terdiam. Bagaimana ia tahu semuanya tentang diriku. Padahal hanya keluarga Dimas yang tahu asal-usulku dan mungkin Pak Wilman, dan mereka sama sekali tidak mengenal Diana.
“Kamu harus pergi kan Dewa? Sebentar lagi Matahari akan terbit. Maaf telah membahayakanmu.” Diana berdiri dan hendak meninggalkanku. Aku menggengam tangannya tetapi dia tidak menoleh. “Darimana kamu tahu diriku yang sebenarnya? Apakah dimas memberitahumu?” Aku bertanya kepadanya dan menggengam erat tangannya. “Elena, nenekku bernama Elena. Dia begitu mengagumimu, aku selalu didongengi dirimu semenjak aku kecil dan sejak itu aku ingin bertemu denganmu.” Dia menangis tersedu-sedu. Elena, nama itu tidak asing di telingaku.
Aku teringat, Elena adalah perempuan yang pertama kali membuatku jatuh cinta pada manusia. Kejadian di kedai yang kualami dengan Diana sama persis seperti kejadianku dulu dengan Elena. Hanya setelah itu, kejadian yang buruk menimpanya. Itu semua kesalahanku. Keluarganya pindah ke kota lain yang sehingga aku kehilangan kabar darinya. Aku mendengar kabar bahwa Elena meninggal beberapa tahun yang lalu.
“Maafkan aku, andai saja aku bisa kembali bertemu dengannya.” Aku menitikkan air mata. “Apa yang kamu lakukan? Kamu harus pergi sekarang! Lepaskan aku!” Diana berusaha melepaskan genggamanku tapi aku tidak melepaskannya. “Temani aku untuk yang terakhir kali, sudah lama aku tidak melihat matahari terbit. Aku ingin melihatnya bersamamu.” Aku menggenggam erat jemarinya dan dia menatapku sambil menangis. Kemudian Diana memelukku, sangat erat. Matahari terbit memang sangat indah. Sudah lama aku tidak merasakan hangatnya sinar mentari pagi. Sinar itu mulai menyinariku, menusuk semua bagian tubuhku yang perlahan memudar. Pelukkan Diana tak lagi erat, dia menangis tersungkur menggengam pasir. Aku berusaha membisikkan sesuatu pada Diana.
“Pertemuan kita hanya sesaat, aku sangat merhargainya, tetapi kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dariku. Terimakasih, Diana. Terimakasih, Elena.”
Cerpen Karangan: Zed
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 30 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com