Hari ini Agresia tiba di desa kecil untuk memulai karirnya sebagai seorang pengajar untuk waktu yang belum ia tentukan sampai kapan. Agresia yakin bahwa di desa ini masih banyak anak-anak yang belum mendapatkan kecukupan pendidikan dasar.
“Neng, mau kemana?” seorang lelaki tua duduk diatas becak menanyakan tujuan Agresia. “Permisi Pak, saya mau ke sini,” balas Agresia seraya menunjukan alamat tujuannya yang ada dikertas kecil miliknya. “Oh, kesini. Saya tau Neng, silahkan,”
Sekitar pukul 10.00 Agresia tiba tepat di kediaman Kepala desa yang bernama Jaka, beliau sangat ramah dan menuntun Agresia menuju tempat tinggal yang telah mereka sediakan untuknya. Agresia sangat lelah dengan perjalanannya dan memutuskan langsung beristirahat sebelum menyiapkan bahan ajarnya besok ke sekolah.
Dingin menusuk kulit putih Agresia, dia merasakan suasana desa itu sangat berbeda dengan desa yang pernah ia tinggali sebelumnya. Tangannya kemudian mencari jaket tebal di dalam lemari kayu tua, dengan cepat Agresia mengenakan jaket itu dan melangkahkan kakinya menuju teras.
Tepat saat dia membuka pintu rumah, dia terkejut akan rutinitas para penduduk desa. Dia memperkirakan masih sangat dini untuk para petani dan gembala untuk bekerja ke tempat tujuan mereka masing-masing. “Pagi Neng,” seorang wanita tua membawa keranjang cokelat menyapanya seraya menampilakan senyum sederhana. “Pagi Bu, dini sekali Ibu pergi bekerjanya,” balas Agresia kembali tersenyum. “Iya, nanti soalnya mau ke pasar juga jadi, harus cepat biar gak ketinggalan. Nanti keburu harga sayurnya turun,” jawab Ibu itu. Agresia kemudian mengerti alasan mereka untuk lebih dini pergi bekerja. Agresia malu akan dirinya sendiri yang malah sangat santai di usia mudanya.
Sekolah tempat Agresia mengajar tidak begitu jauh dengan kediamaannya, dia hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit untuk tiba disana. Dalam perjalanan menuju sekolah, dia melihat begitu banyak anak-anak yang menggembalai kambing dan domba. Agresia bahkan heran ketika seorang anak laki-laki disana sangat gembira berlari mengejar anak domba yang lari dari gerombolannya. Dia memprediksikan usia anak itu, merasa bahwa anak itu seharusnya berada di sekolah saat ini untuk belajar. Agresia sedikit sedih melihat itu, dia bahkan menyusun rencana untuk mengajak anak itu untuk datang ke sekolah besok.
Papan kayu tua terlihat memampangkan nama Sekolah Dasar tujuan Agresia, “Sekolah Dasar Desa Mahoni” Agresia menyipitkan matanya untuk melihat tulisan di papan itu, jelas sekali tulisan itu sudah memudar dan menyisakan cetakan halus yang sulit dibaca. Dengan segera Agresia masuk kesana dengan antusias.
“Anda Ibu Agresia Yunita?” Tanya lelaki berkaca mata jengkol itu kepadanya. “Iya, betul Pak,” jawab Agresia sopan. Lelaki itu ternyata Seorang Kepala Sekolah di SD Mahoni, Lelaki itu memiliki tahi lalat besar di pelipisya, tubuhnya yang tinggi kurus ditambah dengan ikat pinggang yang ditarik hingga ke tengah perutnya membuat penampilan lelaki itu sedikit lucu. Agresia memperkirakaan orang tua itu berusia lima puluh tahunan.
Kelas yang diampu-nya ternyata sangat ceria, mereka aktif dan mudah menerima pelajaran yang Agresia ajarkan. Buku-buku mereka semua tampak begitu usang menandakan mereka sangat gemar membaca. Sekitar jam satu siang, bel sekolah berbunyi yang menandakan pembelajaran hari ini telah selesai. Sama seperti murid lainya, dia pulang dengan senyum yang mengembang di wajah manisnya.
Ditengah perjalanan Agresia tiba-tiba terkejut dan hampir menjerit ketika seekor domba menubruknya dari belakang. Dia dengan refleks melompat ke parit yang ada disampingnya. Brughh! “AAA.. pergi dari sini!” teriaknya ketakutan. Hal itu ternyata, membuat Pria yang mengejar domba itu tertawa, “Astaga, hahaha bisa-bisanya pitbull menubruknya,” ucap lelaki itu disela-sela tawanya. Agresia menggeram akan tingkah Pria yang menertawakannya. Namun, tanpa disangka Pria itu langsung melompat kedalam parit dan mengendong tubuhnya. Mata Agresia seketika melotot tak percaya akan aksi Pria itu. Agresia melompat secepatnya ketika Pria itu membawanya keluar dari parit bau itu.
Dengan gugup Agresia bertanya kepada Pria itu, “Apa itu dombamu?” Pria itu menatapnya sambil tersenyum manis, “Ya, dia pitbull anak domba saya,” jawab Pria itu kepadanya. “Kenapa namanya pitbull? itu seperti nama anjing,” Tanya Agresia kembali. “Kalau begitu, Aku ingin tau namamu siapa, agar bisa menjawab pertanyaan itu,” Tanya Pria itu kembali. “Namaku Agresia,” jawab Agresia singkat. “Agresia, kata yang sedikit similar dengan kata Agraris.” jawab Pria itu seraya melipat kedua tanganya didepan dada. “Entahlah,” Agresia berucap. “Agraris berarti petani, seharusnya Kau seorang petani bukan seorang guru,” lanjutnya. “Kau tau dari mana Aku bekerja sebagai guru?” Tanya Agresia menelisik.
Dengan panjang lebar, Pria itu menjawab semua pertanyaan Agresia. Agresia merasa pria itu begitu menarik dan lucu. Semua hal yang menarik keluar dari bibirnya, membuat Agresia nyaman di dekatnya. Agresia mengenal Pria itu dengan pertemuan yang aneh, di parit yang bau namun terkesan menjadi tempat bersejarah bagi mereka. Pria itu bernama Fiki, Pria yang bertubuh tegap dan tinggi, Kulit local yang sehat, mata tajam dan sepasang lesung pipi yang dalam. Agresia benar-benar tidak menyangka ada seorang Pria tampan di desa yang kecil ini.
Hari-hari Agresia begitu cerah, ini libur pertama bagi Agresia dan dia telah menyusun rencana untuk kembali ke tempat dimana ia melihat anak gembala kemarin. Agresia ingin mengajaknya untuk sekolah dan memulai pendidikan baginya. Dengan cepat dia berlari ke padang hijau tempat anak itu biasa menggembala. Agresia yang melihat anak itu, kemudian berlari menuju ke arahnya. Dia bahkan berusaha menghilangkan traumanya kepada domba sejak pittbull menubruknya dari belakang.
Dengan nafas yang terengah, dia memangil pengembala kecil itu, “Kau, Kau yang disana. Anak gembala,” teriaknya kencang. Namun sayang anak gembala itu tidak mendengarnya karena, sibuk dengan gerombolan domba yang dia tuntun. Agresia bukan tipikal yang mudah menyerah, dengan sekuat tenaga ia datang mendekat dan semakin mendekat ia dapat dengan jelas melihat wajah tampan anak laki-laki itu.
“Hai,” sapa Agresia kepada-nya. Anak itu seketika menatapnya bingung dan merasa asing dengan wajah Agresia. “Hai kembali, Ada keperluan apa? Apa Kakak ingin membeli domba saya?” jawab Anak laki-laki itu sopan. “Tidak, tidak. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” ujar Agresia. Anak laki-laki tersenyum dan balas bertanya, “Aku Niki, penggembala domba,” Agresia sadar akan keramahan Niki, dia pun mengajak Niki untuk berbincang dengannya. Semakin lama Agresia mencari celah agar Niki tertarik untuk ke sekolah besok dengannya. Namun saat mengatakan hal itu, Niki malah balik menyerang ajakan Agresia. Niki menolak ajakan Agresia, dia benar-benar nyaman dengan rutinitasnya sebagai pengembala. Meski demikian Agresia tidak kunjung menyerah, dia mencoba menyakinkan Niki untuk memulai pendidikan dasarnya saja.
Niki tetap menolak bahkan meninggalkan Agresia, dia tidak menyukai pendapat Agresia bahwa sekolah menjadi yang terpenting untuk dapat sukses. Niki langsung berpaling dan mengarahkan domba-dombanya untuk mencari padang yang lain. Namun, saat Niki memanggil anak domba kecil bernama pitbull, Agresia terkejut. “Niki, sebentar,” Agresia menahan tangannya. “Ada apa lagi Kak, sudah kukatakan-“ “Pitbull itu anak dombamu?” potong Agresia. “Ya, dia anak domba yang bernama anjing,” balas Niki. Raut wajah Agresia seketika heran, Niki bahkan malas melanjutkan penjelasanya. “Aku sangat malas menjelaskan asal nama itu, aku sendiri saja heran mendengar nama pitbull pada anak domba ini. Tapi ya Kakakku, dia memang sedikit aneh,” “Nama Kakakmu siapa Niki?” lantas Agresia semakin penasaran.
Agresia terkejut ketika nama Fiki diucap Anak itu, ternyata Fiki dan Niki adalah Kakak-beradik. Niki tertawa saat tau kakaknya dan Agresia sudah saling kenal, Niki bahkan heran mengapa bisa kakaknya begitu ramah pada wanita ini. Kakak-nya sangat terkenal dengan kebodohannya merayu wanita dan sangat pemalu namun, mendengar cerita Agresia dia merasa kakaknya adalah orang yang percaya diri.
Agresia hari ini kembali mengajar dan pulang dengan jalan yang sama, hari ini dia bertemu lagi dengan Fiki. Fiki tampak sedang menuntun gerombolan domba-dombanya. Agresia sebenarnya tidak ingin berpapasan dengannya namun, Fiki melihatnya lebih dulu seraya melambaikan tanganya pada Agresia. Agresia melihat itu, akhirnya tersenyum kaku dan malu, dia bahkan ingin menghilang dari sana secepatnya.
Fiki menjumpainya, dengan wajah yang antusias dia bahkan bertanya apakah Agresia mau ikut dengannya untuk menggembalakan domba-domba itu. Awalnya Agresia ragu, namun akhirnya mengiyakannya karena dia juga ingin mencari pengalaman dengan bergembala. Sangat banyak domba-domba yang harus mereka tuntun dan itu membuat Agresia tau bahwa pekerjaan Fiki dan Niki tidak mudah.
Mereka sampai di padang tempat para domba mengisi perutnya, Fiki tersenyum dan langsung menggenggam tangan Agresia menuju pohon rindang yang besar di tengah padang itu. Agresia awalnya terkejut ketika Fiki menggenggam tangannya sambil berlari kecil. Tak sadar, degup jantungnya begitu cepat, Agresia bahkan merasakan kenyamanan sentuhan tangan Fiki yang kasar.
Tiba di bawah Pohon hijau yang rindang, Fiki kemudian melepaskan genggamannnya. Dia langsung duduk sambil memandang Agresia yang masih setia berdiri. “Kau tidak duduk?” Tanya Fiki memandang Agresia. “Ya,” jawab Agresia gugup. “Disini sangat indah bukan? Aku tidak tau nama atau jenis pohon besar apa yang melindungi kita sekarang. Tetapi Aku tau, dia sangat baik,” Agresia menatap dirinya, “Kalau Kau tidak tau ini pohon jenis apa, buat saja nama-nya sesukamu,” balas Agresia kepadanya. “Mahoni, jenis pohon itu pernah kudengar,”
Sejak hari itu Fiki menamai pohon rindang itu dengan nama Mahoni. Setiap kali Agresia pulang bekerja, dia akan kesana untuk bertemu dengan Fiki. Hari-hari dia lalui dengan Pohon Mahoni dan Fiki disampinya. Fiki menjadi sandaraannya ketika lelah dan pohon Mahoni akan menjadi pelindungnya.
Hari-hari berlalu dengan cepat, tidak tau apa yang terjadi Fiki merasakan sesuatu pada hatinya. Dia merasakan bahwa kehadiran Agresia menjadi alasannya untuk selalu datang pada pohon Mahoni. Hari ini Fiki bahkan menyiapkan segala sesuatunya, dia akan menunggu Agresia di parit tempat mereka pertama kali bertemu. Dia ingin menyatakan sesuatu yang kerap ia rasa candu namun begitu menyiksanya.
Satu jam Fiki menunggu, wanita itu tidak kunjung datang. Hingga saat petang pun Agresia tidak muncul, dengan harapan yang masih ada, dia berlari ke tempat tinggal Agresia. Mengetuk pintu itu dengan keras dan raut wajah yang ketakutan. Jaka mendengar itu, datang dengan kebingungan, dia melihat Fiki begitu emosi saat mengedor pintu hijau itu.
“Fiki, hentikan!” teriaknya. “Yah, dimana Agresia?” balas Fiki. “Ayah, dimana Agresia?” Tanyanya sekali lagi pada Ayahnya. Bagai BOM, Fiki mendengar semua perkataan Jaka yang merupakan ayahnya dengan tidak percaya. Dia begitu terluka ketika wanita yang dia cintai pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Benci, ya rasa itu semakin menyelimuti Fiki ketika mengingat nama Agresia Yunita.
Hingga tiga tahun berlalu, sebuah surat hijau dengan gambar pohon dan domba didalamnya diterima oleh Fiki. Tulisan tegak bersambung itu, membuat Fiki enggan membacanya apalagi, tertulis dengan nama wanita itu. Agresia menuliskan surat untuknya, surat yang menjelaskan pada Fiki mengapa ia pergi.
Fiki kemudian membawa surat itu ke tempat yang sudah lama tidak dia kunjungi, dia berjanji akan kembali ke sana jika wanita yang ditunggunya kembali. Namun, dia kecewa karena hanya surat yang datang bukan Agresia-nya. Fiki membuka surat itu perlahan dan membacanya, tangan yang semula gemetar kembali lumpuh ketika membaca isi surat itu.
“Ku katakan padamu kisah terbaikku, ini begitu terlambat tapi aku harus tetap menulisnya. Pohon Mahoni dan domba kecil itu yang membuatku kembali meng- ingatmu. Jangan marah padaku, aku minta maaf atas luka yang kuberikan pada Pria baik sepertimu.”
Agresia wanita optimis kembali menyapa Fiki setelah waktu yang lama. Dia harus merelakan kesempatan bersama Fiki karena, tidak ingin menjadi masalah bagi Pria itu. Agresia baru menyadari penyakit keturunan yang diwariskan dari Ibunya saat itu. Penyakit yang membuatnya harus melupakan siapapun yang pernah ia sayangi. “Alzheimer ini adalah penghalangku untuk tetap disisi-mu.”
Tamat
Cerpen Karangan: Teresia Sinaga Blog / Facebook: Teresia Sinaga
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com