Hembusan angin lembut menerbangkan kelopak bunga sakura, melepaskannya dari dahan tipis tempatnya berasal. Hamparan rumput hijau terbentang sejauh mata memandang. Matahari yang perlahan tenggelam menemani seorang gadis yang tengah berdiri menatap satu-satunya pohon maple yang berdiri diantara banyaknya pohon sakura. Daun pohon maple itu sewarna langit senja. Helaian surai hitam panjang wanita itu tertiup angin dan udara dingin menyapu wajahnya. Tatapan sayu dari mata tajam dengan iris violet miliknya seolah mengikuti awan mendung di langit.
Air mata wanita itu turun seperti lelehan es, mengalir deras dan pundaknya mulai bergetar. Kakinya perlahan melangkah maju, kedua tangannya terulur merengkuh laki-laki yang menempelkan keningnya pada pohon maple dihadapannya. Bahu laki-laki itu bergetar keras dan tangannya mengepal erat. Tidak ada suara isakan keras, hanya suara yang tercekat saat laki-laki itu menyebut nama seseorang yang sangat dia cintai.
“A-Lian…” Wanita yang dipanggil A-Lian, yang kini memeluknya dari belakang, menangis. Dia menangis namun senyumnya tak sedikitpun hilang dari bibir merahnya. A-Lian berbisik disela isakan kecilnya.
“Wang Shen… jangan menangis, aku tidak suka melihatmu bersedih.” Suara lembut A-Lian seolah hilang tertiup angin begitu saja. Laki-laki yang dia panggil Wang Shen masih menunduk dan menangis, suara isakan yang tadi tak terdengar kini perlahan mulai terdengar. Kaki gemetar pria itu tidak bisa menopang tubuhnya, dia jatuh terduduk. Dia perlahan membuka kepalan tangannya, sebuah cincin giok yang terkena noda merah darah tampak berkilat dibawah sinar bulan yang kini mulai muncul menggantikan matahari.
“A-Lian… maafkan aku. Maafkan aku…” Suaranya lirih, digenggamnya lagi cincin giok itu dengan erat.
Suara isakannnya tiba-tiba berhenti saat dia melihat sebuah tangan halus transparan ikut menggenggam tangannya yang terkepal. Dia mengenal tangan lembut itu, tangan yang selalu dia genggam. Tangan yang selalu mengusap wajahnya dengan hangat. Tangan yang selalu membawakannya makanan saat dia terlalu sibuk membaca dokumen kerajaan. Tangan yang dia sematkan cincin giok yang kini dia genggam.
Tatapannya perlahan naik mengikuti tangan yang menggenggamnya. Jantungnya kembali berdebar kencang, hatinya kembali sakit bagai teriris pisau. Tatapannya terkunci pada mata indah violet gadis dihadapannya, A-Lian.
“A-Lia-…” Suaranya tercekat dan air matanya kembali mengalir.
A-Lian tersenyum dengan mata yang tampak sembab, beberapa bercak darah mengotori jubah putihnya. Luka pada dadanya tampak jelas membuat bercak darah itu semakin gelap. Terlihat menyakitkan namun bibirnya tersenyum lembut menatap ShenShen.
“Wang Shen… terima kasih. Aku akan menunggumu di kehidupan selanjutnya.” A-Lian mengulurkan sebelah tangannya mengusap wajah Wang Shen yang kini tidak bisa dia rasakan kehangatannya.
“Jangan bersedih. Aku mencintaimu…” Begitu ucapannya selesai, tubuhnya perlahan menghilang menjadi butiran cahaya.
“Tidak.. Tidak… A-Lian! A-Lian!”
Wang Shen mencoba merengkuh tubuh A-Lian yang perlahan menghilang menjadi butiran cahaya kedalam pelukannya, namun percuma. Sampai tubuh itu sudah menghilang sepenuhnya, Wang Shen masih memeluk erat tempat dimana tadi A-Lian berada.
Suara isakannya semakin keras. Siapa pun yang mendengarnya akan ikut merasakan hatinya sakit. Langit pun sepertinya ikut bersedih dan menurunkan hujannya. Di malam yang dingin itu, sekali lagi sang pemilik takhta tertinggi dari kerajaan yang baru saja hancur karena diserang dari dua arah, perang dari luar dan kudeta dari dalam. Satu-satunya yang tersisa, Wang Shen, kini kehilangan dunianya.
Dibawah guyuran hujan, dihadapan pohon maple tempat dia sering menghabiskan waktu bersama istrinya, tempat yang menjadi favorit istrinya. Wang Shen bangkit dan menggenggam erat cincin giok ditangannya, menancapkan pedangnya ke tanah tepat dihadapan pohon maple. Matanya yang memerah menatap pohon itu sekali lagi dengan lembut.
“Disini! Tangkap dia!” Dibelakangnya suara ribut dari pasukan berkuda dan puluhan prajurit mulai mendekat. Wang Shen sama sekali tidak mempedulikan suara bising dibelakangnya, seolah dia tidak bisa mendengarnya. Tangannya yang bebas menggenggam erat gagang pedang miliknya.
“A-Lian, kita akan segera bertemu… tunggu aku…” Bisiknya lirih sebelum berbalik dan menatap tajam berpuluh-puluh prajurit dihadapannya.
Dengan teriakan keras dia menerjang maju dan menebas dengan ganas musuh dihadapannya dengan sebilah pedang di tangan kanannya dan cincin giok yang dia genggam erat di tangan kirinya. Tubuhnya berkali-kali terkena goresan dari pedang dan tombak namun dia terus menyerang seolah tidak merasakan sakit.
Pertempuran sengit terjadi antara satu orang melawan puluhan prajurit, satu orang yang berhasil menghabisi setengah dari jumlah pasukan yang menyerangnya. Wang Sheng baru berhenti saat kakinya sudah tidak bisa dia gerakan dan tangan kanannya terpotong. Tatapan bengisnya tertuju ke satu arah, tempat paling belakang dimana seorang pria duduk dengan angkuh diatas kudanya dan menatapnya dengan seringai meremehkan.
Pria diatas kuda itu perlahan mengarahkan kudanya mendekati Wang Shen yang sudah tidak bisa bergerak dan hanya teruduk dengan tatapan bengisnya.
“Wang Shen… Wang Shen.. Jangan khawatir kau akan segera menyusul istrimu, Fen Lian.” Pria itu berucap meremehkan dan menempelkan bilah pedangnya ke leher Wang Shen yang menatapnya tajam.
“Ptuih!” Wang Shen meludahi tangannya sebelum berucap. “Jangan.. menyebutkan namanya dengan… mulut busukmu.”
Pria itu tampak sangat marah dan kesal, genggamannya pada gagang pedang miliknya mengerat. Dia mengangkat pedang yang tadi menempel di leher Wang Sheng tinggi-tinggi. Dibawah sinar bulan yang samar dan hujan yang lebat pedang itu tampak bersinar. Dengan sekuat tenaga dia mengayunkan pedangnya ke leher Wang Sheng, seketika itu juga pandangan Wang Sheng berputar sebelum suara ‘duk’ terdengar.
Rumput yang semula hijau kini terkena ternoda merah, langit yang semula indah kini mendung dan hujan turun dengan lebat. Tangan kiri Wang Sheng yang tadinya terkepal kini terbuka, memperlihatkan cincin giok yang kini sepenuhnya berwarna merah. Kelopak bunga yang tertiup angin dan basah perlahan jatuh diatas tubuh yang kini sudah tidak lagi hidup.
-Maple Tree Selesai-
Cerpen Karangan: GummyGum
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com