Bahkan seberapa aku berusaha, dia tetap saja enggan untuk melihat seberapa usaha diriku untuk membuatnya jatuh cinta
“Aku mencintaimu,” kalimat itu terucapkan dari bibirku. Jelas, raut wajahnya menampakan keterkejutan. Aku langsung menundukan kepalaku, karena malu telah mengakui pengakuan yang secepat itu padanya.
Dia masih diam, belum ada satu kalimatpun yang terucap dari mulutnya. Lantas memberanikan diri untuk melihat wajahnya. Betapa terkejutnya aku, saat menyadari bahwa laki-laki yang berada di hadapanku menteskan air matanya.
Saat aku ingin mengusap air matanya, tangannya dengan pelan menepis tangaku. ” jangan mengucapkan kalimat itu lagi, ” katanya, seraya menatapku dengan tajam. Aku mencoba mencerna kalimatnya yang masih tak kupahami, “Kamu tidak suka?” tanyaku padanya. Ia mengalihkan pandangannya, “Jangan sakiti hatimu untuk mencintaiku. Jangan pernah terlalu berharap,” ujarnya mengalihkan pandangannya dan enggan menatap diriku yang berada tepat di hadapannya.
Hati seolah-olah tersayat pada saat itu juga, perkataanya seolah-olah menyuruhku untuk tidak terlalu menaruh hati terlalu dalam kepadanya.
Sudah lama aku mengaguminya, bahkan sejak pertemuan pertama kita kala aku menangis karena tersesat saat usiaku masih sepuluh tahun. Tangan indahnya mengulur untuk membantuku bangun, lalu dekapannya sangat menenangkan, hingga tak sadar bahwa aku tersenyum tatkala tangannya mengusap lembut rambutku. Sudah lama kita bersama-sama, sampai akhirnya aku menyadari bahwa perasaan ini bukan hanya sekedar persahabatan, melainkan perasaan cinta. Aku pada saat itu, benar-benar mencintainya.
“Sedari dulu, aku tidak ingin mendengar kalimat itu terucap. Aku tidak ingin kamu bersikeras untuk jatuh cinta padaku. Jadi tolong hilangkan perasaan itu.” katanya, nada suaranya berubah menjadi dingin.
Tanpa sadar, air mataku jatuh begitu saja. Rasa sakit yang kini kurasakan begitu lara, melihat dia pergi meninggalkanku sendiri di sana, tanpa adanya sepatah kata selamat tinggal setelahnya. “Nampaknya akhir dari kisah ini adalah sebuah perpisahan yang tidak diinginkan. Kamu yang aku cinta ternyata tidak dapat dengan mudah aku dapatkan. Lalu, malvian, mengapa mencintaimu harus sesakit ini?” lirihku sambil menangis, di saat dia benar-benar pergi kala senja sudah menghilangkan jejaknya.
Sudah dua bulan aku dengannya tidak pernah bertutur sapa meski sering bertemu. Hubungan kami renggang setelah kejadian dua bulan itu. Kami bukan lagi sepasang sahabat yang kemanapun selalu bersama, kami hanya sisa-sisa kenangan masa lalu yang seharusnya sekarang sudah terlupakan. Namun aku, sama sekali belum bisa melupakan akan dirinya yang sampai sekarang aku masih mencintainya.
Hingga suatu hari, keberadaanya tidak dapat aku temui lagi. Sudah dua minggu aku tidak pernah berjumpa dengannya. Ada rasa janggal yang belakangan ini aku curigai tentang laki-laki itu, lantas dengan segenap keberanian yang aku miliki, aku mendatangi rumahnya yang cukup jauh dari kediamanku. Dengan menggunakan sepeda, aku menelusuri jalan untuk menuju rumah malvian.
Sampai tiba, di sebuah rumah sederhana yang nampak begitu sunyi sepi. Lantas aku mengetuk pintu dengan perlahan, siapa tau malvian bersedia membukakan. Hingga pintu itu terbuka, dan nampak wanita paruh baya keluar dari rumah itu dengan tau wajah yang nampak terkejut ketika melihatku.
“Ibu, malvian nya ada?” tanyaku dengan sedikit ragu.
Bukannya menjawab, wanita itu justru menangis meraung sambil menghaburkan badannya memeluk erat tubuhku. Aku yang masih terdiam kaku saat itu, lantas dengan perlahan mengelus punggung wanita paruh baya itu yang tak lain adalah ibu dari malvian.
“Malvin sudah pergi, nak.” katanya disela-sela tangisnya di pelukanku.
Aku masih belum paham maksudnya, otaku sangat sulit untuk mencerna satu kalimat saja. Lantas aku melepaskan pelukan itu secara perlahan, untuk kembali bertanya lebih jelas padanya. “Malvian pergi kemana?” tanyaku. Ibu malvian masih terus menangis, “Ikhlaskan ya nak, malvian sudah tidak ada.”
Seketika tubuhku lemas ketika mendengar ucapannya. Aku terduduk dengan rasa lemas dan juga air mata yang mulai mengalir di pipiku. Serasa mimpi, aku mencoba memukul pipiku, namun rasanya sangat sakit. Jadi, malvian yang aku cinta sekarang sudah tiada?
“Ma-malvian sudah tidak ada? Ibu bohong kan?! Malvian ga pergi kan, dia ada di dalam rumah.” kataku, sambil terus mengis meraung. “Sudah ya, ikhlaskan malvian.” jawabnya sembari menenangkanku. “Ini, surat buat kamu dari anakku. Dia menitipkan ini, katanya untuk gadis yang ia cinta.” kata ibu, sambil menyodorkan sepucuk amplop surat berwarna coklat padaku. “Tapi bu, aku bukan orang yang malvian cinta.” mendengar aku berkata demikian, lantas ibu menggeleng pelan. “Baca saja nak, itu adalah pesan dari malvian.” Aku lantas mengangguk sebagai jawabannya, dan kemudian berpamitan dengan ibu malvian utuk pergi ke sebuah danau yang biasa dulu aku dan malvian sering kunjungi. Untuk membaca surat yang malvian berikan.
Aku terduduk di sebuah dahan pohon yang sudah tumbang. Lalu secara perlahan membuka surat itu, dan membacanya.
Untuk serin,
Kutulis surat ini, sebelum aku pergi untuk abadi.
Kau tau, di mataku kau masih gadis kecil yang menangis tak kala dirinya tersesat di sebuah pasar yang nampak ramai. Kau masih cantik, seperti saat pertama kali kita bertemu.
Serin, kamu benar. Bahwa perasaan cinta suka datang tiba-tiba, dan sekarang aku sedang merasakannya. Maaf tidak bisa jujur dengan perasaanku sendiri, karena aku takut semua itu bisa menjadi alasanmu tersakiti.
Maafkan aku kala itu bersikap acuh dengamu, maafkan aku yang memilih mejauh. Semua itu bukan aku lakukan tanpa alasan, karena aku takut apa yang aku bayangkan akan terjadi.
Serin, aku menderita penyakit kanker sejak dulu dan sekarang sudah stadium akhir. Sudah saatnya ajal tiba dan datang menjemputku. Aku takut kamu terlalu dalam mencintaiku, jadi aku buat kamu membenciku saat itu. Kamu tak usah takut jika jatuh cinta sendirian, karena aku sudah mencintaimu sejak dulu, sejak saat pertama kali kita bertemu.
Maafkan malvian yang sudah menyembunyikan kebenaran seperti ini, dan jangan menangis ya? Aku selalu ada di samping kamu jika kamu merasa sendiri.
Jangan lupa menjengukku di tempat terakhirku, karena aku selalu menanti kedatanganmu. Meski kita sudah jauh, namun namamu masih ada dan tersimpan rapi di lubuk hati.
Itu saja yang ingin aku sampaikan. Aku tau kamu sedang menangis, tapi jangan terlalu lama, karena aku tidak suka melihatnya..
Selamat tinggal serin, semuanya terlalu singkat untuk kita jalani bersama. Kisah kita biarlah menjadi kenangan saja, tidak usah kamu menyesalinya. Aku bersamamu, karena aku mencintaimu
Good bye, dan tersenyumlah. Malvian.
Seketika aku tersadar, bahwa semua yang aku kira adalah salah. Ternyata malvian yang aku cinta juga memiliki rasa yang sama. Namun takdir tidak menyertai cinta kita, dan tuhan lebih sayang malvian.
Meski dengan rasa yang sedih, akan kurelakan malvian agar dia damai dalam tidur abadinya. Selamat jalan kisah usai, ceritamu akan kukenang meski harus dengan jiwa raga yang lara.
Cerpen Karangan: Amelia Putri Tyfani
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com