Senja sangat dekat dengan Difta Gelario. Anak mahasiwi Psikologi. Suka banget ceramah dan bikin kepala Senja pusing.
Waktu itu Senja sedang duduk baca buku novel. Difta datang memberinya nasehat. 1. Olahraga. Selain membuat tubuh sehat, olahraga juga bisa meredakan stress. Meditasi 2. Jalani hobi yang menyenangkan 3. Sharing dengan orang terdekat 4. Jalani hidup pada masa sekarang 5. Memijat telinga 6. Membereskan ulang tempat kerja
“Hadeuh dasar anak psikologi beda sama sastra?” “Senja itu penting buat hilangkan stress.” “Lo mending cabut, gak usah ceramah kepala gue mumet.” jawab Senja ketus. “Iya deh.”
“Btw itu siapa?” tanya Senja menatap sosok berkecamata itu. “Dia Jeno Argatama.” “Jeno?” “Dia Jeno cowok paling pendiam, gak pernah bicara sama siapa pun suka sunyi.” kata Difta Gelar mengambil gorengan di tangan Senja. Sebagai maniak makanan berminyak, ia cuek saja pada penyakit panas dalam dan kolesterol. Baginya makanan ini surga dunia yang tak boleh terlewat begitu saja.
Di kelas Difta sedang duduk mempresatiskan sesuatu. Tampak dosen mengajar takjub pada kemampuan Difta.
Ciri-ciri orang yang sedang berbohong: 1. Mata tak berhenti bergerak 2. Arah pandangan mata selalu ke kanan 3. Senyumnya dibuat-buat 4. Wajah memerah, berkeringat, menggigit bibir, menarik napas dalam-dalam 5. Gerak-gerik tubuh yang gelisah
“Jadi Bohong adalah pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan pendengar percaya. Fiksi meskipun salah, tetapi bukan bohong. Orang yang berbicara bohong dan terutama orang yang mempunyai kebiasaan berbohong disebut pembohong. Garis antara kebohongan dan kebenaran sangatlah tipis.” Semua mendengarkan dengan seksama. Ada yang menyela bertanya. Difta memang berbakat menjadi psikolog handal. Dari tatapan matanya tertuju pada Senja. Gadis itu segera pergi dari sana.
Antara dirinya dan Difta cuma sebatas patner kerjasama. Mereka berbeda jurusan tapi bisa nyambung. Selalu berdua ke mana. Difta sangat mengerti apa yang Senja inginkan. Termasuk membahagiakan kedua orangtua. Ayah ibu menunggu kelulusan Senja sebagai sastrawan meraih gelar penulis best-seller. Buku terpanjang di rak depan toko buku. Dikenal banyak orang. Bahkan Ayah bukan orang pemaksa kalo gadis itu mau jadi penulis silakan agar bermanfaat bagi orang lain.
“Kenapa mau jadi penulis Nak?” “Karena senang menuangkan tulisan, mau hasilnya gak bagus yang penting bisa jadi kenangan.” ujar Senja saat berusia sepuluh tahun tengah berbincang di teras rumah. Ditemani pisang goreng dan segelas teh Ayah meminum kopi panas. “Bagus, semoga sukses ya.” “Iya Ayah.” “Ayah gak ngelarang asal bermanfaat bagi orang lain, ajarkan kelak jika ada kaum berminat menjadi penulis jangan sombong.” Firman mengelus kepala Senja. Motivasinya semakin tertanam ingin sukses secepatnya. Tapi semua perlu proses panjang.
Suatu hari Senja melihat Jeno duduk sendiri tanpa memegang apapun di tangan. Tangannya sangat halus. Mukanya tampak pucat. Segera ia hampiri. “Tidak…” Kemudian Jeno berlari seperti kemasukan setan. Heran sekali menatap Jeno begitu. Sedangkan Senja cuma diam saja tidak bergeming. Sampai di mana Jeno menabraknya dan mata mereka saling beradu.
“Gue minta maaf!” “Gak papa.” Akhirnya suara cowok itu keluar membuat jantung Senja berdebar. Di sisi lain Difta kelihatan tidak suka malah mengutuk agar Jeno enyah dari muka bumi.
Semakin hari Senja mendapatkan imajinasi untuk khayalan tulisan AU yang ia buat di aplikasi Twitter. Anak Sastra itu mulai menemukan jati diri tulisannya yang sempat terbengkalai. Ia belum tahu mengapa Jeno selalu menyendiri? Akhirnya terjawab setelah Senja memberanikan diri bertanya.
“Kenapa lo selalu pendiam kayak gak mau bergaul?” “Gue takut.” “Takut kenapa?” tanya Senja berulang. “Karena gue orang jahat.” “Jahat kenapa?” “Gue jahat, gue bikin Kakak gue meninggal Teddy pergi.”
Teddy Hermawan Kertajaya seorang cowok alumni Universitas Gunadarma. Dia hebat ketua BEM. Kebanggaan Mama dan papa. Sedangkan Jeno anak terbuang, dia bukan anak kandung. Kini Jeno menyesali perbuatan kalau tidak ugal-ugalan bawa mobil Teddy pasti masih selamat. Kakaknya anak baik berbakti, beda sama dirinya nakal. Dulu masa SMA bukannya belajar malah balapan liar. Sekarang Jeno berniat memperbaiki diri.
“Kamu anak nakal gak bisa bikin orangtua bangga pergi kamu.” “Aku mau di sini sama Mama kenapa selalu Teddy yang jadi kebanggan padahal aku anak Mama Papa?” “Itu karena kamu anak pungut yang di ambil di panti.” jawab Dion ayah tirinya. “Pergi dasar gak berguna.” ucap Lira ibunya. Mereka semua sama-sama jahat. Dan hatinya seakan sudah tertutup. Jeno akhirnya memutuskan ngekos berjuang mandiri. Merubah nilai jadi sempurna hingga bisa masuk perguruan tinggi. Memilih jurusan ekonomi.
“Lo mau tau jenis sumber ekonomi?” ucap Jeno berbasa basi.
Jenis sumber daya ekonomi 1. Tanah. 2. Tenaga kerja. 3. Modal. 4. Kewirausahaan.
“Iya terus kenapa?” tanya Senja menggaruk kepalanya. “Doain gue ya mau buat makalah soal itu, tugas kampus.” Jeno bisa berbagi dengannya padahal baru kenal beberapa Minggu dalam kurun waktu singkat Jeno berinteraksi dan memberikan informasi mengenai kegiatannya. “Pasti gue cabut mau ke kelas, mau kuis soalnya.” “Hati-hati!” Entah kenapa lambaian tangan Jeno terasa mau pergi. Dan Senja seperti sulit menerimanya.
Setelah mendengar kisah dari cowok itu Senja mencari ruangan kosong menumpahkan dalam tulisan. Kisahnya hampir selesai dan tamat. Akhir kisahnya gantung. Tidak tahu ke mana akan bermuara?
Hari Minggu Jeno mengajaknya makan di kafe. Kami berselfie bersama. Selain itu bermain permainan Timezone. Bermain game bersama sembari menari Jeno jago juga mendapat hadiah bonekanya di kasih ke Senja.
“Kalau bisa kita nanti ke sini lagi.” ujar Jeno tersenyum. “Boleh.” “Aku boleh panggil sayang?” Goda Jeno dengan kata manisnya. Cowok itu bukan tipe cowok romantis tapi berusaha mencari cara agar gadis di hadapannya tersipu malu. “Apa?” “Gak kok bercanda.” Mengengam tangan Senja sembari menyeruput arum manis. “Tidak ada yang lebih indah saat bersamamu, semoga tidak akan berakhir.” ucap Senja berjalan dan berkata dalam hati. Biarkan angin membawa arus perjalanan ini. Ia hanya ingin menikmati semua tanpa perlu meminta kejelasan.
Di dalam mobil sebelum masuk rumah sempat bertanya sama Jeno. “Gak mau cari pacar?” “Belum mau, karena takut gak bisa ngelindungun dia seratus persen, cukup single saja sudah bahagia, kalo nanti suka sama anak gadis orang harus dijaga baik-baik jangan sampai disakiti hatinya.” ucap Jeno panjang lebar. Membuka seat belt gadis itu turun tanpa rasa penyesalan. Jeno sudah menjadi paket komplit seorang cowok dewasa, dari ucapan melambangkan bahwa dia cowok setia.
Suara dari luar kampus mengangetkannya Jeno dibawa ke rumah sakit. “Jeno jangan pergi, jangan tinggalin aku.” “Biarin aja Jeno mati dia gak pantas buat hidup, karena dia ngerebut lo dari gue.” “Tapi gue cuma nganggap lo sahabat.” “Tapi gue maunya lebih!” pekik Difta tidak mau berhenti berharap. “Lebih baik gue menjauh, dan jangan temuin gue lagi.” ujar Senja di sela Isak tangisnya. Menyusul mobil ambulance Jeno pergi. “Senja gue minta maaf.” Percuma takdir telah menjauh. Saatnya melepaskan getaran cinta dan mencoba menerima.
Setahun kemudian Senja selalu menyekar ke makan Jeno berharap bisa dipersatukan bersama suatu saat nanti. Kini ia berhasil meraih mimpi menjadi penulis terkenal kemudian meraih gelar sarjana sastra. Sementara Difta menghilang sehabis lulus. Cowok itu tampak menyesal sudah menyakiti hati sahabatnya.
Selesai
Cerpen Karangan: Hardianti Kahar Blog / Facebook: TitinKaharz Panggilan: Titin Wattpad: @titinstory Mau cek sosmed silahkan ada di cerita sebelumnya
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 17 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com