Hubungan berbeda agama, sungguh membuatku takut akan cinta yang berakhir semu. Aku menyayanginya, tapi lagi-lagi Tuhan mengujiku dengan titik terendah, yaitu, saat cinta tak bisa bersama.
Perkenalkan, Aku Jasmin. Aku terlahir dari keluarga yang serba ada, kebahagiaan tentang harta, aku mendapatkannya. Tapi satu, ada hal yang tidak bisa aku jelaskan, yaitu saat aku tak mampu kehilangannya. Dia. Dia yang tak seiman denganku.
“Aku tahu kita berbeda. Tapi, boleh beri aku kesempatan untuk meyakinkan diri?” ucapku padanya. Dia tersenyum, tapi terlihat jelas hal yang tidak bisa tersiratkan. Pernikahan bukan hanya menyatukan aku dan dia. Tetapi keluargaku, dan keluarganya turut andil dalam hal itu.
“Jasmin, itu enggak mudah. Keluargaku, aku yakin mereka bisa menerima kamu, tapi aku, aku enggak yakin keluargamu akan sama dengan keluargaku,” ucapnya tegas, sembari menatap wajahku. Aku tak mampu berkata, itu adalah benar. Kini hanya air mata yang berbicara. Sakit, namun itu adalah kenyataan yang nyata tanpa rekayasa.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanyaku saat dia mulai menenangkan diri. Dia berjalan ke arahku, lalu duduk di kursi kayu yang ada di tepian danau. Iya, kita berdua di sini. Berbicara dari hati ke hati, perihal hubungan yang entah akan di bawa ke mana. “Berpisah?” jawabnya yang membuatku sangat terkejut. “Semudah itu?” balasku dengan tanda tanya dan harapan untuk tetap bersama. “Aku tidak mengatakannya mudah. Tapi, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku ingin kita sama, berdua, menjalin kisah sampai kita tua. Tapi kamu tahu, kita berbeda, ada dua siluet antara kubah masjid dan kalung salib yang menjadi cendramata,” jelasnya yang lagi-lagi membuat air mataku menetes. “Tapi aku bisa ikut denganmu.” Aku meyakinkannya lagi dan lagi, aku bisa ikut dengannya. Tapi tetap saja, aku harus memilih antara cinta dan keluarga. Aku tahu dia tidak pernah percaya, saat aku mengatakan hal itu. Namun semua itu adalah keinginanku. Kita mengucapkan Amin yang sama, dan hal itu membuat aku yakin aku bisa, aku bisa meyakinkan keluargaku, bahwa itu adalah keputusanku.
“Andai saja kita jujur dari awal, kamu mengatakan yang sejujurnya, dan aku mengatakan hal yang sebenarnya,” keluhnya padaku. Semua rencana Tuhan. Dari awal mengenal dirinya, tidak ada niatan untuk aku membohonginya. Hanya saja, aku terlalu ragu untuk mengatakan bahwa keyakinanku, berbeda dengannya. “Maafkan aku.” Hanya kata itu yang terucap dari lidahku yang kelu.
Sepersekian detik kemudian, dia mengajakku pulang, Setelah seharian menghabiskan waktu bersama, dan perlahan semuanya seakan jelas. Hubungan kita hanya sebatas ganda, bahagia sejenak, lalu berkepanjangan untuk terluka. “Lebih baik, kita pulang saja. Kita saling introspeksi diri, lalu memutuskan langkah apa yang akan kita ambil,” jelasnya padaku.
Tidak ada pembicaraan apa pun saat mobil yang ia kendarai melaju kencang. Aku larut dalam rekaman indah, saat awal kita berjumpa. Pertemuan singkat, yang membuat aku terpikat. Dengan senyumnya, kebaikannya, dan dari kata “Assalamualaikum” yang selalu ia ucapkan saat menyapaku.
Hubunganku dengannya berjalan kurang lebih satu tahun, dengan segala ketertutupanku jelas saja membuat dia tidak tahu bahwa aku adalah seorang wanita yang akan memakai gaun terbaik dengan Alkitab di tanganku saat hendak ibadah minggu, dan masuk ke dalam gedung, yang jelas ada lambang salib di sana.
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, dia yang tetap sabar dalam diamnya mengantarkanku sampai ke depan rumah. Sebuah rumah yang megah, namun tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Akan kuperjelas, aku anak tunggal dari orangtua yang selalu sibuk dengan urusannya. Sudahlah, untuk apa disesali, semuanya tidak akan berubah. Batinku.
Aku turun dari mobilnya, lalu kulambaikan tanganku pada dia yang saat ini masih bisa tersenyum padaku. Entah, apa pun keputusan yang dia ambil nanti, aku akan berusaha untuk menerimanya dengan lapang dada. “Hati-hati ya,” kata-kata yang terucap dari mulutku, seakan berbicara dengan orang yang asing dihidupku. “Selamat istirahat,” balasnya, dan mulai melajukan mobilnya.
Aku masih berdiri di sini. Tempat yang akan menjadi saksi, bahwa hubunganku dengannya sedang tidak baik. Kini mobilnya sudah tak terlihat lagi, aku pun memutuskan untuk segera masuk, karena langit seakan mengerti perasaanku yang hampa.
Senja berganti menjadi malam yang pekat. Aku berdiri di balkon tempat di mana aku menangis, mengeluarkan semua keluh kesah yang ada di dalam diri. Beberapa bayangan tentang kehilangan dia selalu melintas dalam benak, entah rasa apa yang sedang bergejolak di dalam hatiku. Waktu seakan terasa singkat, kebahagiaan kini berbanding terbalik menjadi kesedihan. Apalagi saat dia tahu, bahwa perjalanan cinta kami, nyatanya tak seirama. “Tuhan … tolong beri aku hikmat untuk menjalani ini semua,” ucapku dengan lirih.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, aku menunggu pesan dari Arsyad. Lelaki yang amat kucintai. Namun, detik, menit, jam berlalu tidak ada satu pun pesan yang masuk. Tidak seperti biasanya dia seperti itu. Apa dia benar-benar kecewa, atas pengakuanku tadi? Tanyaku dalam hati.
Jarum jam terus berputar, sampai aku merasakan kantuk yang teramat sangat. Aku pun memilih untuk segera tidur, dan menunggu waktu esok untuk kembali bertemu dengannya.
—
Rasa cemas kembali menguasai diri, aku memberanikan untuk datang ke rumahnya. Meminta semua kejelasan tentang hubungan kita berdua. Aku memarkirkan mobilku tepat di halaman rumahnya. Aku melihat, mobilnya masih terparkir rapi di garasi rumahnya. Itu menandakan, bahwa dia ada di dalam. Perlahan aku berjalan, melewati taman kecil yang sepertinya menjadi tempat favorit dari keluarga mereka.
Tombol bel rumah, aku mencoba untuk menekannya. Menunggu sampai ada seseorang yang berbaik hati untuk membukanya. Aku sangat menghargai perbedaan, semenjak bersamanya, aku tak lagi menggunakan pakaian yang terlalu terbuka, karena dia selalu mengatakan, “Itu tidak baik.”
Lama menunggu akhirnya pintu terbuka, tampak terlihat seorang wanita paruh baya yang masih menggunakan kain putih yang menjuntai, yang aku tahu itu, itu adalah sebuah mukena di mana itu adalah pakaian terindah untuk beribadah. “Assalamualaikum,” sapaku memberi salam padanya. Dia tersenyum manis, lalu mempersilahkan aku masuk. Sebelumnya dia sempat bertanya tentang siapa aku. Lalu aku mengatakan, bahwa aku adalah teman dari anak semata wayangnya.
“Silakan duduk, biar Ibu panggilkan Arsyad.” Setelah mengucapkan kalimat itu, dia berjalan menuju sebuah pintu yang sepertinya itu adalah kamar Arsyad. Namun yang membuatku terkejut, yang keluar bukanlah Arsyad. Melainkan seorang wanita cantik yang mengenakan sebuah kain penutup wajah. “Assalamuaikum, ada yang bisa saya bantu wahai Ukhty?” Dia mengatakan hal yang tidak aku mengerti, dia duduk di hadapanku. Netranya menatap ke arahku, bola mata yang hitam dan bulu mata yang lentik, sepertinya dia adalah wanita yang sangat cantik. “Ah … iya, aku mencari Arsyad? Apakah dia di rumah?” tanyaku dengan hati-hati. Perempuan itu langsung terdiam, menunduk lalu meneteskan air mata. Aku tidak mengerti apa yang salah dari ucapanku. “Kenapa menangis?” tanyaku lagi.
Tidak lama, seorang lelaki dengan berjubah putih datang menghampiri. Wajahnya begitu sendu, sangat indah dipandang. Sampai aku tidak sadar, bahwa itu adalah laki-laki yang aku cari. Iya, dia adalah Arsyadku. “A-Arsyad ….” ucapku memanggilnya. Dia begitu terkejut saat melihatku, ada apa denganku? Apakah aku begitu menakutkan, sampai-sampai mereka semua hanya diam. “Jasmin, untuk apa ke sini?” tanya Arsyad lalu duduk di samping wanita itu. “Aku mencarimu. Semalaman aku menunggu kabar darimu.” Sepertinya aku mulai mengerti, wanita itu masih menunduk. Lalu aku, aku seperti seseorang yang asing di antara mereka. “Jasmin, maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya,” balasnya.
Aku mulai memperhatikan setiap kata yang diucapkan. Dia berbicara seakan semuanya benar, dia mengatakan bahwa aku adalah salah. Aku tahu, aku telah membohonginya. Semuanya hanya perihal waktu. Kita berbeda, namun bukan berarti dia memutuskan komitmen dengan begitu saja.
Dan … betapa terkejutnya aku, saat dia mengatakan bahwa wanita yang ada di sampingnya. Adalah perempuan yang sekarang menjadi istrinya. Mereka menikah tanpa sepengetahuanku, dan semua pertentangan antara perbedaan kemarin, adalah salah satu cara dia melepas diri dari hubungan ini.
Bisa bayangkan, betapa hancurnya hatiku. Pernyataan dari dirinya membuat aku seakan tertampar. Penjelasan tentang apa yang kita yakini mulai aku dengar kembali. Tentang perbedaan agama, keluarga yang tidak akan menerima, dan banyak hal yang lagi dan lagi ia jelaskan.
“Aku tahu, aku salah. Aku berbohong, dan aku bukan wanita yang kamu inginkan. Bahkan aku sudah mengatakan, aku akan ikut denganmu. Tapi hari ini, aku mengerti … dari semua penolakanmu, aku sadar, bahwa aku tidak pernah berarti apa pun dalam hidupmu.”
Saat ini, aku hanya bisa berdiri. Mengucapkan terima kasih, lalu pergi tanpa ingin mendengarkan hal yang tidak pernah aku percaya. Tentang ganda, ternyata dia mendua. Melibatkan semua perbedaan, hanya untuk mengakhiri semuanya. Aku meninggalkan mereka berdua. Dadaku terasa sesak, dan air mataku tak henti-hentinya mengalir.
“Ternyata inilah tanda yang Tuhan berikan, sebagai jalan terbaikku.” Kalimat itu, menjadi arti tentang kesetiaanku pada-Nya. Hubungan berbeda keyakinan memang tak pernah menjanjikan. Namun, bukan berarti berujung untuk memutuskan.
Jasmin
Cerpen Karangan: Selvyyani Januar Blog / Facebook: Selvyyana BIONARASI Selvy Yana Yani, lahir di Kotawaringin Timur, pada tanggal 27 Januari 2001. Berasal dari Desa Karang Sari, Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Mempunyai Motto “Tetap menjadi diri sendiri”. Mempunyai Hobi Menulis, Membaca, dan Travelling. Bercita-cita menjadi seorang penulis yang hebat. In syaa Allah. Bekerja sebagai Staff di Kantor Notaris dan PPAT. Ayo berteman. Facebook – Selvyyana Instagram –Selvyyani Januar Email – selvyyana27[-at-]gmail.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com