“Liam, kau tahu, aku ini selalu menyukai warna biru.”
Saat itu, angin berhembus dengan kencang, mempermainkan rambut panjangnya yang hitam legam. Netra berwarna biru gelap itu fokus menatap hamparan air jernih yang berseberangan dengan horizon. Suara deburan ombak yang menghantam pasir meggelitik telingaku.
Wanita itu menghirup bau garam dalam-dalam,” Sayangnya di dunia ini tidak banyak hal yang berwarna biru.” “Oh, ya?” Aku membuat kontak mata dengannya. “Coba sekali-kali kau perhatikan. Pohon kelapa itu misalnya. Lihat, kayunya berwarna coklat, daunnya pun berwarna hijau, tidak ada bagian dari dirinya yang berwarna biru. Begitu pula dengan bunga. Bunga memang punya beragam warna, tapi tidak banyak yang berwarna biru,” paparnya sambil menunjuk objek yang ia maksud. “Bahkan langit pun sebenarnya tidak berwarna biru.”
Aku mengulum senyum lembut, sambil mengangguk setuju. Wanita cerdas yang berdiri di sampingku ini selalu sukses membuatku takjub dengan pemikiran-pemikiran uniknya.
“Laut yang sedang kita lihat ini pun mungkin sebenarnya bukan berwarna biru. Namun, mata kita berbohong, membuat ilusi seolah-olah hamparan air ini berwarna biru.” Sesaat, ekspresi wajahnya terlihat sendu. Meski begitu, wajahnya tetap memasang sebuah senyuman. Ah, ekspresi itu. Ekspresi wajah yang sudah lama tidak kulihat sejak enam bulan lalu.
Ah, rupanya mataku memang berbohong.
“Cordelia,” panggilku dengan suara lirih. Sebagai jawaban, dia hanya menatapku sekilas. “Kau pernah dengar? Ada sebuah cerita, tentang sepasang sekasih. Semua orang tahu tentang mereka, mereka selalu bersama, tak terpisahkan. Namun, suatu saat, mereka tak lagi bersama, karena alam tak menakdirkan mereka untuk terus bersama. Tapi yang ditinggalkan tak rela dan selalu menganggap kekasihnya selalu ada di sampingnya. Intinya, dia berhalusinasi.” Dia tak melepaskan pandangannya dari wajahku, “Lalu apa hubungannya denganku?” Aku tertawa pahit, “Kenapa masih bertanya? Bukannya sudah jelas?”
Dari awal aku tahu. Sejak aku bertemu lagi dengannya setelah kecelakaan menggemparkan itu, aku sudah tahu kebenarannya. Namun aku memilih untuk tetap menerima. Menerima dirinya yang sudah kuketahui bahwa dia hanya ilusi yang kuciptakan.
Ditemani langit senja yang kemerahan, aku menatap kosong ke arah matahari yang menghilang seakan dilahap oleh lautan. Aku tidak sendiri di sini. Aku masih bersama dengannya. Dengan angan-angan juga kenangan yang ia tinggalkan.
Ketika matahari sudah sepenuhnya tak terlihat, sosok Cordelia itu menghilang, seakan ikut ditelan oleh warna biru yang ia sukai. Deburan ombak sekali lagi menghantam pasir di tempatku berdiri.
Warna biru hanyalah ilusi.
Kalimat itu lagi-lagi terngiang di kepalaku. Kenangan di pantai saat itu terputar kembali untuk kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kalinya pula aku setuju dengan ucapannya.
“Kau benar, Cordelia,” ucapku pada hamparan pasir putih di hadapanku. “Bahkan tanpa kau sadari, kau telah menjadi bagian dari warna biru itu.”
Cerpen Karangan: Lukita Rana Afifah Blog: mayararlert.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com