Hujan lagi. Kulirik jam tangan hitamku, pukul 14.47. Aku menguap entah untuk yang keberapa kalinya siang ini. Mata beratku benar-benar menyusahkan. Bahkan di tengah pekerjaan yang lumayan sibuk ini pun, rasa kantukku masih begitu setia menemani.
“Le, kemarin aku ketemu Rein loh,..” Meet her, Ivana Angelina. One and only. Si tomboy, si cuek, si ga suka dandan, si bawel dan si paling boros. “Oh iya? Dimana? Sendirian?” Aku tetap menatap layar laptopku. Laporan penting yang harus diserahkan sore ini sebelum jam 5 sore. Mau tidak mau kupaksa otak kecilku untuk berpacu dengan waktu, mencoba mengalahkan kantuk yang mulai mendewa. “Di tempat biasa kita nongkrong, dia bareng cewe, cantik banget…” “oooh, bagus dong, Na…”
“Lo ga cemburu?” Ivana menelisik wajahku. “What? Buat apa? Cemburu karena apa?” nada do rendahku kurasakan naik ke fa atau sol. “ooopss, selow dong, kok langsung nge-gas?” Dan Ivana pun menyadari perubahan nada suaraku itu. “Udah deh ah, gue ada laporan yang harus gue kerjain. Dan lo gangguin gue, Na…” To be honest, aku meledak. And I don’t know why… Damn it… “Gara-gara gue atau cerita gue…” Masih sempat kudengar Ivana bercanda sembari berlalu.
Aku menghela napas panjang. Bersandar di kursi kerjaku dan mengistrahatkan leher dan punggungku. Wajah Rein tanpa sopan santunnya hilir mudik di kepalaku. Membawaku ke banyak kenangan sebelum hari itu, 11 Januari, tepat setahun yang lalu. “Ileana Putri…” Aku tersentak kaget. Sepertinya aku melamun. Aku melihat Ivana kembali lagi, kali ini dengan secangkir Ice matcha kesukaanku. “Lo ngerjain laporan apa ngelamun sii? Daritadi gue panggilin juga…” “Sorry, Na…” “Nih, Matcha lo…, Gue balik duluan yaa… bye…” Ivana melenggang bebas keluar dari ruanganku. Kukumpulkan sisa tenagaku dan mulai mengerjakan laporanku lagi. Dan hujan masih begitu setia menemani soreku yang mulai acak-acakan.
Ileana Putri. Begitu namaku tertulis di akta lahir dan ijazahku. Lahir 26 tahun silam. Dengan tinggi badan 167 cm, aku pernah bercita-cita menjadi seorang pramugari, but here I am. Kerja dibelakang komputer sepanjang hari as a manager in one of the service company yang sedang berkembang. I am kolerik and introvert. Perpaduan yang menarik. Ivana Angeline is one my best colleague, my partner in crime, my only bestie from high school sampe hari ini. Dengan keras kepala dan banyak mauku, dengan ambisi dan ga mau kalahku, she is still here with me. And I love her so much.
Rein? Rein is my ex-boyfriend. Anak dari temennya mama yang dikenalkan padaku yang ternyata sekampus denganku juga kala itu. Masa yang menyenangkan. Setelah hampir 5 tahun bersama, he broke up with me dengan alasan mau fokus kerja, yang tiga minggu kemudian kudapati dia dengan Sarah, selebgram modis yang ternyata sekampus denganku, Ivana dan Rein juga dulunya. Dunia sempit sekali. Rein gave me a kind of a huge trauma. I hate all the idea of new relationship or bla bla bla bla.
“Ya tapi kan ga berarti kamu ga mau nikah, dek..” That’s what my mom said waktu aku dijodohkan lagi dengan anak kenalan mama yang lain and I rejected. “He is not a good man for you, tapi bukan berarti ga ada yang baik buat kamu di luar sana. Dan laki laki baik itu ga akan bisa nemuin kamu kalau kamu ga mau buka hati lagi…” lanjut mama panjang lebar. “Mama bukannya maksain kamu, but it’s been 1 year already. Time to move on… Rein aja udah bahagia kan bareng Sarah…” Aku masih tak menjawab ataupun mendebat mama waktu itu. Dan tak mengiyakan apa-apa juga.
Dan ketika percakapan itu kuceritakan pada Ivana -dengan harapan dia akan lebih memahami isi hatiku dan membelaku-, dia malah setuju dengan mama.. “What your mom said ada benernya kok, Le.. Lo ga bisa biarin Rein hancurin masa depan lo.. resiko dari relationship yaa itu, meninggalkan atau ditinggalkan…” “Terus buat apa lagi gue ngejalanin relation baru yang ujung-ujungnya meninggalkan atau ditinggalkan lagi, Na.. Wasting time… Lo sendiri loh yang baru mention itu barusan..” Sebuah pembelaan yang cukup cerdas dariku. “Actually, it comes from your mind. Kalo lo pikir hubungan lo sama Rein kemarin adalah kegagalan, you will not ready for another new relationship… tapi kalo lo pikir bahwa hubungan lo kemarin adalah pelajaran, lo bakalan masih mau ngejalanin hubungan lain dan pastinya lo ga akan ngulangin kesalahan yang sama dua kali..” Ivana knows me so well. Waktu itu aku hanya bisa diam dan menyeruput coklat panasku. Percuma berdebat dengan manusia satu ini. Selain dia ga akan terkalahkan dengan seribu satu alasannya itu, apa yang dia bilang juga ada benernya.
Sedang begitu asyiknya melamun, ponselku berdering. Rein. He is calling me, right now… kubiarkan terus berdering. Sedang tidak ingin ber-drama, berbasa-basi, or whatever it said… Two missed calls. Deringan itu berhenti ketika kali kedua masih tak kujawab juga. To be honest, I have deleted his number, tetapi otak kecilku masih begitu setia mengingat 12-digit angka itu dengan baik, sial…
“Le, lo lagi dimana?” Pesan dari Ivana. “Le, lo ke rumah sakit deh, Rein kecelakaan” Pesan singkat dari Ivana lagi. I am not shocked. Not panic juga, ga terburu-buru, ga bergegas. Otak kecilku bahkan bilang ‘Ngapain ngabarin gue sih kalo dia kenapa-napa..’ For around 15 minutes, aku masih tetap tak bergeming dari tempatku. Pesan Ivana pun tak selera kubalas, panggilan-panggilan masuk setelahnya pun kuabaikan begitu saja. Mama yang menarik tanganku kemudian dengan pelan, bahkan sebelum aku sadar bahwa sore itu aku berdua dengan mama di rumah. She hugs me and start crying. Wait, what? Kenapa mama menangis?
Then aku mendapati diriku disini, berdiri mematung dan menatap orang-orang yang bersimpati dengan caranya masing-masing. Ivana disamping kananku, dan mama disamping kiriku. Awan mendung tetapi tidak hujan. Angin berhembus cukup kencang, menerbangkan daun-daun yang berguguran, makin merusak rambutku yang bahkan belum sempat kusisir seharian ini. Kurasakan airmataku menetes. Kutatap sendu gundukan tanah merah yang masih basah itu. Sudah ditaburi kembang oleh orang orang yang datang menyapanya atau pun menyayangkan kepergiannya secepat ini.
Rest In Peace, our beloved son, brother, friend ‘Rein Pratama’
“Le,…” Ibunya Rein membuyarkan lamunanku. Wajah Ibunya masih cantik walau kelihatan sangat sedih sekali. Aku menatap wajah Ibu kemudian memeluknya dengan erat. Hatiku sakit sekali. Airmataku bukan lagi menetes, aku terisak dengan hebat. “He is a good boy, Bu…” Sial, kenapa baru sekarang aku mengakui hal ini. “I know, Le.. I do really know… Kasih restu ya Le, let him go…” Ibu mengusap pipi chubby ku. Kebiasaan Ibu yang selalu kurindukan kalau dulu kami bertemu.
Sore kelabu itu kututup dengan menerima sebuah kotak kayu yang tak terlalu besar berukir ‘Ileana’ di atasnya dari Ibunya Rein. Setelah mandi dan beberes singkat sesampaiku di rumah, aku membuka kotak itu. Malam ini mama mengijinkanku melewatkan makan malam. Isi kotak itu bermacam-macam. Foto-foto, surat, lilin, permen lollipop kesukaanku, sarung tangan hijau yang begitu ingin kumiliki, minyak kayu putih, dan sebuah boneka apel kecil berwarna hijau. He remembers me all the time. How stupid I am. Jejak tulisan tangannya meninggalkan banyak cerita yang sesungguhnya. Aku menangis dengan hebat..
Rein… Sorry… I am so sorry… I wish I know…
Dear Le, Hei cantik, apa kabar? I miss you so much… Hari ini kemo yang ke-8 kalinya,. Sakit banget, Le. Aku ga tahan lagi. I really wish you were here with me. Tapi kamu pasti lagi sibuk kerja kan? Maafin aku Le, jadi jahat di hidup kamu, jadi pecundang. You hate me so much, right? Aku ga membela diri kok Le, kamu berhak benci sama aku. It’s OK. It was not easy for me too. The day when I left you, aku patah sepatah-patahnya. Aku hancur. Dunia jahat banget sama aku, Le…
I met you. It was an amazing thing happened to me. Aku kira semesta bakalan merestui langkahku sama kamu… so sorry kalau aku harus terbaring disini sepanjang hari, I need you, I really do. Tapi aku merasa jahat banget kalau waktu itu ga ngebiarin kamu pergi while I know aku ga akan lama lagi bertahan hidup, Le..
Ternyata kankernya udah stadium akhir, Le. that’s why aku selalu sakit kepala and I remembered gimana khawatirnya wajahmu kalau aku sudah mengeluh dengan sakit kepalaku itu. Aku ga tega ngebiarin kamu khawatir terus menerus dengan keadaanku, hidupmu harus terus berjalan, Le. Walaupun caraku salah, I made you hate me, I hurt you so much. I’m so sorry…
This could be a last letter, Le.. Dari kemarin aku lelah sekali, pengen tidur. Tapi Ibu selalu membangunkanku. I know, she will be sad, very sad. But I am so tired… Le, bilangin ke ibu, I love her sooo much, ya? 🙂
Le, I think I should tell you this. Sarah itu bukan siapa-siapa. She is my doctor. Don’t be upset to her again ya, Le.. Dia banyak mendengarkan ceritaku tentang kamu. Bahkan kalau aku ga sadar, she always mentions your name biar aku bangun lagi. She knows that I love you tooo much…
Ahh, aku jarang bilang kalau aku sayang banget sama kamu kan? I do, Le… I do love you so much. Promise me that you will be happy ya, please be happy. Lanjutin hidup kamu dengan baik. Maafin aku, maafin aku… we are good now, Le? jangan marah-marah lagi, kamu jelek kalau lagi marah…
Le, aku pamit yaa, till we meet again, sweetheart… 🙂
Your One and Only, Rein…
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina IG: @tanty_angelina / @setengah_cerita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com