Sederet kisah awal sebuah pertemuan, menciptakan baris-baris ingatan. Berpadu padan dengan emosi yang menghiasi alur cerita; suka, duka, tangis dan tawa.
Setiap waktu mencipta alur yang berbeda, yang mana terkadang ada hal konyol dan seru di dalamnya. Tak jarang pula, kenangan dan kerinduan menjadi tema utama. Dibumbui dengan sedikit drama yang menambah citra rasa tragis dalam cerita miris.
Seperti cerita dongeng pada umumnya, di mana ada awal pasti ada akhir, saat prolog datang menghampiri sang epilog pun datang untuk mengakhiri. Akhir cerita yang ‘tak bahagia,’ menjadi pemutus drama panggung sandiwara.
Selembar kisah usang, menjadi saksi untaian diksi bisu sebuah dongeng setelah tidur. 1001 kisah yang berakhir, tanpa adanya keinginan untuk kembali membuka dan mengingat lagi cerita yang diciptakan bersama.
Selembar kisah semakin usang dimakan waktu. Coretan tertutup tebalnya debu. Terasingkan dan enggan lagi untuk menyentuh dan mengenang cerita kala itu.
Selembar kisah usang semakin rusak di sudut gelap itu. Di lantai yang dingin tanpa kehangatan seperti dulu. Kini selembar kisah usang menanti seseorang yang Sudi, mengutip dan membuat kisah baru, di balik sisi coretan yang sudah lama berdebu.
“Masih ada secercah harapan yang tertuang jika serumpun rindu masih tertanam dan serintik cinta tersiram, Ray.” Gumamku bersama senyum getir yang terlampir.
Waktu itu—musim panas hari ke 22. Kita menghabiskan hari bersama, dengan cerahnya mentari seakan hanya menyinari kita berdua. Kau mengenakan dress berwarna vintage cream dengan rambut lurus sedikit berantakan diikat seadanya dengan ikatan rambut berwarna seragam, sedangkan aku memakai kaos polos putih berlapis kemeja flanel berwarna serupa dengan pakaian yang kau kenakan.
Di bawah pohon rindang dengan embusan angin yang tak terlalu kencang, kita menikmati beberapa camilan dan soda menyegarkan. “Pernah nggak si kamu ngerasa takut, takut banget kehilangan sesuatu hal yang paling berharga?” Tanyaku sambil merebahkan diri diatas hamparan rumput ilalang “Belum pernah.” Kamu menjawab, sedikit mengernyitkan dahi menandakan keheranan. Kemudian kamu ikut merebahkan diri di sampingku memandang lurus ke atas langit. Anila siang yang ‘tak terlalu kencang berembus, membuat daun-daun kering berjatuhan. Kamu pun belum melanjutkan ucapan, membiarkan anila itu menyapu wajah dan rambutmu.
Sesaat setelah itu, kamu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya ke angkasa, untuk kemudian melanjutkan bicara, “Tetapi asal kamu tahu, geez. Siklus hidup selalu seperti itu, silih berganti; ada pertemuan ada perpisahan. Seperti dua sisi kutub magnet; positif dan negatif selalu beriringan menunggu siapa yang datang lebih dulu” “Aku tahu. Aku tahu, Ray. Cuma aku takut merasakan rasa sakit ketika hal yang paling kita anggap berharga direnggut begitu saja” “Kamu jangan overthinking gitu lah. Emang apa si yang paling berharga sampe-sampe kamu takut kehilangannya?” Tanyamu sambil tersenyum manis. “Kamu.” Jawabku. “Kamu Raya Aurelia Almashyra. Kamu yang paling berharga buatku. Aku takut kehilangan kamu. Aku takut suatu saat entah kapan pastinya, kamu pergi begitu saja.” “Janji, kamu nggak akan pergi. Janji kamu harus tetap di sini, gak usah pergi kemana-mana. Janji, Ray?” Tanyaku sambil memegang erat lengannya. “Janji.” Jawabmu spontan. “Aku Raya Aurelia Almashyra berjanji; tidak akan pergi kemana-mana. Jika suatu saat nanti aku pergi tentu cowok yang bernama Agis Ahmad Fauzi ini harus ikut menemani.” Ucapmu dengan penuh percaya diri. Dan kemudian kamu mengangkat kedua ujung bibir, membuat lengkung yang nyaris sempurna di wajahmu. Aku tersenyum mendengar jawabanmu—lega. Meski aku tahu, tidak ada yang pasti dalam kehidupan ini sekalipun kamu sudah berjanji tidak dapat dipungkiri—suatu saat nanti mungkin, memang kamu berpotensi untuk pergi.
Masih di bawah pohon rindang dan embusan angin yang tak terlalu kencang—kita melanjutkan obrolan dengan bercerita dan bercanda; gelak tawa pun tak terelakkan kala itu. Rona merah di pipimu, menambah indahnya pemandangan di mata. Matamu yang memicing saat tertawa, membuatku tak henti-hentinya tersenyum dan mengagumi dirimu. Kita bernyanyi bersama membawakan lagu ‘saat bahagia’ milik band Ungu. Huh… Itu adalah saat paling bahagia dalam hidupku.
Tak terasa—mentari mulai meninggi menampakkan jingganya, dengan hamparan cahaya seperti selendang yang menutupi angkasa, sebagai pertanda senja akan menyapa. Sembari dibasuh dengan cahaya nan indah itu, kau menyandarkan kepalamu pada pundakku sambil menikmati tenggelamnya lampu raksasa yang perlahan mulai menghilang, hingga bintik kecil di langit mulai menampakkan cahaya remang-remangnya.
Masih jelas dalam ingatanku, waktu itu, waktu pergantian cahaya tiba kau pun berkata; “Perihal janji tadi, aku sungguh-sungguh. Aku juga tidak mau meninggalkanmu, aku mau seperti ini selamanya, aku ingin membersamaimu hingga habis usia kita. Tapi kita hanya manusia biasa yang hanya mampu membuat segala rencana, tetap Tuhan yang mengatur segalanya, Geez. Bila nanti aku tidak dapat menepati janjiku aku ingin kau memaafkan segala apa yang sudah aku lakukan. Dari obrolan, kenangan dan waktu yang pernah kita lewatkan bersama. Apa kau bisa?” Jujur, waktu itu aku ingin berpura-pura tuli untuk sesaat. Sebab aku tak ingin akhir dari bahagia itu ditutup dengan kecanggungan dari jawabanku. Meski sebenarnya—aku ingin mengatakan; “Sebelum kau meminta maaf padaku, aku sudah terlebih dahulu memaafkanmu. Bahkan, aku memaksa untuk siap jika sewaktu-waktu aku akan kehilanganmu.” Dan benar saja, aku benar-benar kehilanganmu, kamu pergi. Bukan karena ada seseorang yang merebutmu, melainkan Tuhan sudah sangat merindukanmu. Mau tak mau, siap tak siap, ikhlas tak ikhlas, aku harus merelakanmu, meski kepergianmu bukan yang aku inginkan. Meski dengan keterpaksaan yang dalam, aku harus melakukan itu.
365 hari, 12 purnama, 52 minggu, 8. 760 jam, 525.600 menit, 31.536.000 detik telah terlewati, tanpamu. Pada musim panas kali ini, aku ingin mengajakmu ke bawah pohon rindang seperti waktu itu. Namun aku lupa, nomor handphonemu sudah tak bisa lagi kuhubungi, bahkan ribuan pesan rindu yang kukirim selama kepergianmu, tak terbalas satupun. Siapa yang harus kusalahkan jika sudah begini?
Aku selalu berharap, Tuhan juga merindukanku. Dengan begitu, kita takkan merasa kehilangan, sedih dan gundah yang berkepanjangan. Aku merindukan senyumanmu, tawamu, rona merah di pipimu. Aku merindukan semua tentangmu. Bahkan, Hingga saat ini, tak satupun darimu aku lupakan. Aku berbicara padamu; Raya Aurelia Almashyra. Kapan kita bisa bertemu? Kapan kau singgah dalam mimpiku? Kapan? Hadirlah walau sebentar, setidaknya sampai rinduku berkurang. Aku merasa benar-benar hilang sekarang. Apa diatas sana kau juga merasakan apa yang aku rasakan sekarang? Semoga—saja kau begitu, setidaknya sampai nanti kita melepas semua rindu yang terpenjara ruang dan waktu.
Raya Aurelia Almashyra. Aku rindu…
Cerpen Karangan: Geez Blog / Facebook: Agis Ahmad Fauzi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com