Dulu, setiap aku hendak beranjak tidur, ayahku selalu menceritakan sebuah dongeng singkat yang dapat menghantarkanku ke dalam dunia mimpi. Dongeng dengan kisah seru yang berbeda-beda di setiap malamnya.
Waktu itu aku benar-benar manja. Bahkan saking manjanya, aku akan selalu membunyikan alarm apabila ayah sampai lupa mendongeng untukku. Apa lagi kalau bukan suara rengekan menyebalkan? Tentunya ayahku kesusahan tidur akibat kemanjaanku ini. Terlebih lagi, semenjak ibuku dijemput Malaikat Azazil, ayahkulah yang menanggung semuanya sendirian. Meski dalam keadaan lelah, ayah akan selalu datang ke kamarku setiap kali jam menunjuk pukul 9 malam. Ia akan mengelus kepalaku lembut sambil mulai membacakan judul dari dongeng yang akan dibawakannya.
Hingga tibalah pada sebuah malam ketika ayahku bercerita tentang kisah hebat seorang algojo. Dari sekian banyak dongeng yang pernah ia ceritakan, yang satu ini merupakan favoritku .
Dongeng itu bercerita tentang seorang algojo yang dijuluki sebagai “The Reaper” di tempat tinggalnya. Tak ada seorang pun yang tidak mengenalnya. “Arion Sang Malaikat Kematian”, seperti itulah ia dikenal di seluruh penjuru kerajaan. Lelaki itu tak segan untuk menyiksa dan membunuh para tahanan jika memang Sang Raja memerintahkannya.
Waktu itu, pada masa pemerintahan Raja Tayron II. Terjadilah perang saudara yang membuat kerajaan terkikis sedikit demi sedikit. Para revolusioner yang merasa tidak puas dengan raja, merusak dan memporak-porandakan kerajaan. Karena ulah mereka itulah hidup masyarakat diselimuti ketakutan. Hampir setiap hari Arion memenggal dan menyiksa para prajurit yang menjadi pemimpin ataupun anggota dari kubu musuh.
Setiap akan memenggal kepala mereka, Arion akan selalu menanyakan pesan terakhir yang mungkin ingin mereka sampaikan kepada orang lain. Kebanyakan dari para prajurit revolusi itu akan diam dan tak mengatakan sepatah katapun ketika Arion bertanya demikian. Mereka memilih untuk tutup mulut kemudian gugur sebagai prajurit yang terhormat. Seluruh kalangan masyarakat berharap perang saudara itu dapat dihentikan.
Suatu hari, setelah Arion selesai melakukan tugasnya di panggung kematian. Dalam perjalanannya menuju rumah, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah hidup Arion ia dirampok. Sebelum saat itu, tidak pernah ada seorang pun yang berani mendekati Arion apalagi mengambil barang miliknya.
Arion terkejut. Sekilas ia menatap matanya. Namun samar, tidak terlalu terlihat karena tertutup kain tipis berwarna hitam. Pencuri yang memiliki keberanian itu memakai pakaian serba hitam. Tentunya dengan penutup wajah untuk menyamarkan identitasnya.
Arion terlibat ke dalam kejar-kejaran kecil dengan pencuri lincah itu. Belum sampai ia merebut kembali hartanya, Arion tersandung. Membuatnya terbanting ke tanah dengan keras yang menyebabkan kaki kirinya terkilir. Di tengah rasa sakit itu, seorang gadis misterius tiba-tiba muncul dari balik Arion. Ia berlari kencang mengejar pencuri itu. Saat itu Arion tidak terlalu menghiraukannya. Dia sudah tak memiliki keinginan untuk merebut uangnya kembali. Ia tahu betul, banyak wilayah dalam lingkup kerajaan yang mengalami krisis ekonomi berat. Arion hanya bisa pasrah sambil berharap uang yang dicuri itu bisa berguna bagi penduduk yang kesusahan. Perlahan pria itu pun melangkah pulang menuju kediamannya.
Malam semakin larut. Hembusan angin semakin kencang. Suhu di sekitar kerajaan menurun secara berkala. Arion dengan kaki kirinya yang kian lama kian membengkak, menghabiskan sepanjang malam menahan rasa sakit akibat dari kemalangan yang dialaminya. Dengan selembar kain yang dibasahkan, ia mengompres kakinya kemudian beranjak menuju ranjang.
Keesokan harinya, langit terlihat cerah sedikit berawan. Masih sama seperti semalam, Arion terbaring menahan rasa sakit pada kakinya. “Untuk sementara ini aku akan cuti, dengan keadaanku sekarang, aku tidak dapat menjalankan tugasku dengan baik.” itulah yang ada di benaknya.
Arion beranjak dari ranjang, kemudian berjalan tertatih-tatih untuk menulis surat cuti yang akan ia kirim pada raja melalui burung merpati pengantar. Belum sampai semenit setelah ia selesai menulis, tiba-tiba terdengar suara ketokan pintu dari luar.
(Tok.. Tok.. Tok..)
“Siapa di luar?” tanya Arion. Tidak ada jawaban sama sekali. Hanya suara ketukan pintu yang terus berbunyi secara berulang-ulang.
(Tok.. Tok.. Tok..)
Sambil berpegangan pada sebuah tongkat kayu, Arion berjalan perlahan membukakan pintu. “Ini aku. Gadis yang kemarin malam berlari membantumu mengejar pencuri. Kamu ingat, kan? Aku ke sini ingin mengembalikan barangmu yang dicuri.” ucapnya sambil menyerahkan tas berisi uang dan barang milik Arion. Semuanya dalam keadaan baik. Gadis itu benar-benar menjaga harta Arion. “Eh.. kamu.. terimakasih ya. Aku tidak menyangka kalau tasku ini akan kembali. Aku sangat berterimakasih. Ayo masuk dulu, di luar anginnya lumayan kencang lo.” balas Arion berusaha meramah setelah sekian lama menjadi pria kurang pergaulan.
Mereka berdua bercengkerama. Saling menukar kata satu sama lain. Baru kali ini, Arion merasa sepenuhnya hidup. Dengan menyandang gelar sebagai algojo, jarang sekali ada manusia yang mau berbicara dengannya. Bahkan tidak sedikit orang yang malah membenci keberadaannya. Terlebih lagi keluarga dari orang-orang yang ia eksekusi. Karena sumpahnya pada Raja Tayron I, Arion tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
“Oh iya, namamu siapa? Kok bisa tahu rumahku?” salah satu dari sekian banyaknya kalimat yang dilontarkan Arion. “Iya, ya. Kita belum kenalan. Namaku Eireen, salam kenal ya. Di sini tidak ada yang tidak mengenalmu. Namamu terkenal di setiap sudut kerajaan. Harusnya kamu tidak heran kenapa aku bisa tahu rumahmu, kan?” kata Eireen. “Hehehe… Iya juga. Omong-omong, kamu tinggal dimana?” lanjut Arion. “Rumahku agak jauh dari sini. Di sebelah utara kerajaan.” jawab Eireen. Mereka melanjutkan perbincangan hangat selama beberapa jam.
Di hari besok, kemudian besoknya lagi, hingga seterusnya. Eireen selalu datang menjenguk Arion. Hal itu terus berlanjut bahkan setelah Arion sembuh dari cedera kakinya.
Semakin lama, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka berdua. Namun, tidak ada salah seorang di antara mereka yang berani mengungkapkan isi hati masing-masing. Seakan-akan itu tersegel erat dalam sebuah bilik di dalam hati kecil mereka.
Setelah 3 bulan lamanya, akhirnya Arion memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Tepat sehari sebelum tahun baru. Dia berencana untuk membuka segel yang ada di hatinya itu. Mengatakan semua secara empat mata, di bawah pancaran bulan malam.
Dalam dua minggu sebelum pergantian tahun, dengan kedua tangannya yang tidak terlalu lihai, Arion berusaha membuat hadiah kecil sebagai bukti rasa cintanya pada Eireen. Sebuah kerajinan sederhana yang dibuat menggunakan ranting-ranting dari hutan. Ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi di saat Eireen tidak mengetahuinya.
Tibalah hari di mana semua persiapan telah matang. Tepat dua hari sebelum pergantian tahun, Arion mengajak Eireen untuk menemaninya mencari bunga herbal yang hanya dapat mekar pada malam hari. Itu sebenarnya hanyalah kedok agar Arion dapat melancarkan rencananya.
“Eireen, besok malam kamu senggang? Mau temani aku cari bunga herbal malam?” tanya Arion. “Hem… besok malam aku ndak ada kegiatan sih. Ya udah, aku ikut saja.” Mereka pun sepakat untuk bertemu di gerbang bagian barat kerajaan pada pukul 8 malam. Malam itu ialah malam terakhir sebelum pergantian tahun.
Arion sangat bersemangat ketika tahu ajakannya diterima oleh Eireen. Bahkan ia sampai tidak bisa tidur karena terus memikirkan kata-kata apa yang harus ia ucapkan untuk mengungkapkan rasaa ketertarikannya. Perasaan cinta telah meracuni hati Sang Malaikat Kematian itu.
Esok paginya, ketika Arion baru saja membuka mata, seekor burung merpati tiba-tiba terbang menghampirinya. Burung itu membawa sebuah surat perintah dari Sang Raja. Surat yang berisi perintah untuk mengeksekusi pemimpin sekaligus perintis gerakan revolusi. Dengan begitu, perang saudara yang berlangsung selama bertahun-tahun dapat dihentikan.
Setelah membaca isi surat itu, hati Arion bertambah semangat. Dengan berhentinya perang saudara, maka kerajaan akan kembali pada perdamaian. Dia dan Eireen dapat hidup tenang tanpa diselimuti rasa takut akan serangan dari para pemberontak.
Sang Malaikat Kematian pun bergerak menuju panggung eksekusi yang terletak di alun-alun kerajaan. Masyarakat dari seluruh penjuru kerajaan berkumpul mengelilingi panggung. Mereka berdesakan tak sabar melihat kematian Sang Pemimpin Revolusi, Arnius Lamont. Ada 5 orang di panggung itu. Arnius dan keempat keluarganya. Pengeksekusian itu akan memutus garis keturunan keluarga Lamont.
Dengan menggunakan jubah serba hitam, dilengkapi sebilah pedang yang telah diasah, Arion memulai pengeksekusian. Sesuai perintah raja, ia akan mengeksekusi Arnius terlebih dahulu kemudian baru istri dan ketiga anaknya.
“Ini adalah akhir dari garis keturunanmu, Arnius. Adakah pesan terakhir yang mau kau sampaikan?” tanya Arion. Arnius diam membisu. Ia tidak mengatakan apapun. Bahkan hingga kepalanya terpisah dari tubuhnya, lelaki itu sama sekali tidak memberontak. Ia seperti telah menerima kekalahannya. Seperti itu juga dengan istri dan kedua putranya. Mereka sama sekali tidak melajukan perlawanan.
Tibalah saat ketika Arion akan mengeksekusi anak bungsu Arnius. Ia mengangkat pedangnya tinggi. Menanyakan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. Kali ini berbeda. Orang itu tidak membisukan mulutnya. Tidak banyak yang ia katakan. Hanya beberapa patah kata. Namun sesaat setelah Arion mendengarnya, tangannya langsung gemetar. Napasnya terhenti selama beberapa saat
Suasana berubah drastis. Di tengah keramaian kala itu, Arion tak dapat mendengar apapun. Ia hanya bergeming walau sang raja telah berkali-kali memerintahkannya mengeksekusi orang itu. Keringat bercucuran melalui sela-sela kulitnya. Jantungnya berdebar. Matanya melotot dengan sekujur tubuh yang membeku.
Topeng yang menutupi wajah orang itu dibuka. Dia menambahkan beberapa kalimat singkat. Kalimat yang membuat keadaan semakin runyam. Orang itu tersenyum tipis dan berkata, “Maaf Arion. Aku tidak bisa menemanimu malam ini.”
Hati Arion hancur. Ia mengigit giginya. Berusaha menerima kenyataan pahit yang saat itu ia lihat. Orang yang sedang berjalan menuju ajalnya. Dia adalah Eireen, gadis yang sangat Arion cintai.
Untuk pertama kalinya Sang Malaikat Kematian ragu akan tugasnya. Matanya mulai berkunang-kunang. Jantungnya berdebar semakin kencang dibarengi sahutan masyarakat yang menyorak.
“Maaf telah menipumu. Maaf telah membuatmu berada dalam posisi saat ini. Tolong jangan semakin menyiksaku dengan membiarkanku hidup lebih lama lagi. Aku sudah sangat tersiksa karena menyandang nama keluarga Lamont. Tolong, cepat bebaskan aku. Hanya kau yang bisa, Arion.”
Sang malaikat meneguhkan hatinya. Meski tangannya gemetar, tubuhnya menggigil, napasnya tersengal-sengal, ia tetap melakukan tugasnya dengan baik. Rasa sedih, kecewa, marah, takut, terkejut, segala hal yang mengganjal dihatinya, ia jadikan satu ke dalam sebuah hunusan pedang. Dia pun menutup mata. Menarik napas panjang. Membisikkan sebuah kalimat perpisahan untuk Eireen. “Aku sangat mencintaimu.”
Setiap ayahku selesai mendongengkan kisah ini, kaos tidurnya akan selalu basah akibat air matanya yang selalu mengalir deras. Saat aku bertanya tentang nasib algojo itu setelah kehilangan cintanya, dia tidak pernah menjawab. Sekarang sudah 10 tahun semenjak ayahku menceritakan dongeng itu. Entah mengapa, baru sekarang aku menyadarinya. Semua itu bukanlah dongeng.
Cerpen Karangan: E.A. Karta Penulis hanyalah manusia gabut yang menghabiskan sebagian besar waktunya berbaring di atas pulau kapuk. Kini dia sedang bersusah payah keluar dari zona nyaman karena tahun ini dia akan mulai menduduki bangku SMA.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 24 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com