Begitulah waktu-waktuku berlalu. Masih ada Joe disana. Mulai tertulis dengan bebas di hari-hariku yang mulai penuh warna. Sudah setahun, tidak terasa. Joe adalah orang pertama yang akan kucari ketika aku suatu kali ketinggalan dompet dan sedang berbelanja di minimarket, Joe juga orang yang pertama kuhubungi ketika aku tidak bisa tidur karena insomniaku yang akhir-akhir ini semakin parah, Joe juga yang akan mendengarkan setiap celotehan celotehan tak tersampaikanku pada customer-customerku. Joe, Joe, Joe dan Joe.
Hari ini hari Sabtu. Aku sedang berangkat menuju kantor, terpaksa lembur di sabtuku yang berharga ini untuk mengejar deadline kerjaan yang tak kunjung habis. Hujan deras sedari pagi membuat mood ku hancur berantakan. Joe sudah memberitahuku sejak Kamis kemarin kalau hari ini dia akan terbang ke Bandung untuk urusan pekerjaannya. ‘Gak lama kok, San.. paling lama 5 hari..’ begitu Joe menenangkan aku yang entah kenapa susah sekali ditinggal olehnya kali ini. Tidak seperti biasanya. Bahkan aku berniat cuti dari kerjaan, hanya Joe menolak.
“Kan aku udah sering pergi, San.. Ini bukan kali pertama kan?” Lagi-Lagi Joe menenangkanku Kamis kemarin. “Kamu kenapa? Hem?” Joe mendekapku. Aku menenggelamkan wajahku di dadanya. Aku sendiri pun bingung dengan diriku. Seingatku aku tidak sedang PMS, kerjaan juga tidak sedang berantakan-berantakannya, biasa saja. Lalu aku kenapa begini ya?
“Kenapa? Aku ga lama kok, paling 5 hari. Aku pergi seminggu bulan lalu, kamu ga rindu sama sekali… malah susah banget aku telpon…” Aku hanya diam mendengar ucapan Joe. Airmataku kurasakan mulai mengalir pelan di pipiku. “Sssstt… Udah, jangan nangis. Nanti kamu sakit. Aku ga mungkin cancel flight nya, San..” Joe semakin erat mendekapku. Aku membalas dekapannya dalam-dalam. Aku mulai terisak. Kamisku kala itu berubah menjadi sendu sekali. Sepanjang perjalananku menuju kantor di sabtu ini, lagu-lagu legendnya Celine Dion menemaniku. Hujan masih saja turun dengan derasnya. Kulihat orang orang berlalu lalang dengan payung, jas hujan dan sejenisnya. Bahkan di hujan selebat ini pun, orang-orang masih begitu bersemangatnya mencari rezeki demi sesuap nasi. Sesampaiku di kantor, aku mengecek pesan Whatsappku.
“San, aku udah di airport ya, bentar lagi take off..” Satu pesan dari Joe. “Hati-hati, Cepat pulang, I miss you…” Sebenernya aku bukan tipe menye-menye begini. Bahkan ini kali pertamaku begini. Entah, I don’t know why… Apa karena hari ini aku tak bisa mengantarnya ke Airport?
Waktu mengalir. Kerjaan yang bertumpuk beserta laporan sana-sini begitu menyita perhatianku. Tepatnya bukan menyita, aku yang sedang berusaha menyibukkan diri. Disela-sela letihku, aku melirik jam tangan hitam pemberian Joe dua bulan lalu yang kini melingkar dengan manis di pergelangan tangan kiriku. Sudah jam 3 sore, pantes perutku mulai perih minta diisi. Aku memutuskan rehat sejenak. Berjalan turun ke kantin kantor sembari mengecek ponselku. Aneh, belum ada kabar dari Joe.
Aku menenangkan hatiku. Sesampainya di kantin, aku memesan semangkuk bakso dan segelas teh manis hangat. Masih hujan. Menikmati makanan dengan kuah panas sepertinya pilihan yang tepat. Menunggu pesananku datang, aku kembali mengecek ponsel. Last seen WhatsApp Joe jam 9 tadi pagi. Pesan ‘Hati hati, cepat pulang, I miss you’ ku tadi sudah terbaca olehnya tanpa balasan. Aku sedikit mulai khawatir.
Kutepis perasaanku dan lagi-lagi kembali menenangkan diri. ‘Mungkin Joe kecapekan dan langsung istrahat. Atau mungkin jadwal kerjaannya mendadak berubah jadi dia harus buru-buru dan belum sempat ngabarin aku’ Percakapan-percakapan dengan diriku sendiri ini sedang menjalankan tugasnya. Meminimalisir kekuatiranku. Bau harum dari semangkok baksoku menggugah selera. Ah pesananku sudah datang ternyata. Aku menikmati sisa sore itu dengan tidak terburu-buru. Kunikmati setiap irama rintik hujan yang turun dari jendela kantin kantorku. Ada sedih yang menyusup tanpa aba, hanya aku berusaha menepisnya. Belum apa-apa, aku sudah merindukanmu, Joe…
Sudah dua minggu aku menutup diri. Enggan bertemu sesiapa. Bahkan Ibu mulai bingung menghadapi sikapku. Sore ketika aku tiba di rumah sabtu dua minggu lalu, Ibu menyambutku dengan isak tangis dan pelukan. Aku heran dan sedikit terkejut. Aku mengira ibu sedang sakit.
“Bu, ibu kenapa? Sakit? Kenapa ga nelpon kakak biar kakak bisa maksain pulang cepat?” Kekuatiranku kusuarakan dengan nada yang benar-benar kuatir. “Kak…” Ibu menangguhkan kalimatnya. Ibu mengajakku duduk. Airmata ibu masih belum berhenti mengalir. Tiga detik kemudian aku terperangah menatap layar Televisi dan berusaha memahami headline news yang sedang kudengar. Intinya begini: Ada pesawat jatuh dengan nomor penerbangan sekian sekian. Terbang dari Jakarta ke Bandung pukul 9 pagi tadi. TIM SAR saat ini sedang melakukan upaya pencarian dan penyelamatan.
“Kasihan ya Bu…” Aku berkomentar pada Ibu. Apakah Ibu sedang menangisi berita ini? Memang sedih, tetapi apa harus menangis? “Semua penumpangnya meninggal, Kak…” “Iya ya bu, kasihan banget yaaa… ngomong-ngomong soal pesawat, Bu.., Joe belum ada ngabarin kakak juga ini.. padahal kan tadi harusnya Joe berangkat jam 9…” kata-kataku tertahan. Wait. Otakku mencoba mencerna baik-baik. Pesawat jatuh. Joe. Jakarta – Bandung. Jam 9. Ibu menangis mendengar berita…
Entah apa sebutan yang paling tepat untuk menggambarkan kesimpulan yang baru berhasil dicerna oleh otak kecilku ini. Aku mulai merasakan badanku kaku, hatiku sakit, nyelekit sekali, satu detik, dua detik, airmataku mengalir dengan hebat. Aku terisak dan terguncang kuat sekali. Tanpa firasat apa-apa, kehilanganku terjadi tanpa aba-aba.
Dan disinilah aku. Mengurung diri dari dunia dan segala kebebasan yang ia tawarkan. Sudah dua minggu. Aku mangkir dari kerjaan. Menolak memproses luka dan pulih yang kadang sekelebat datang menyapa. Ia benar, aku yang memilih begini. Ada teman-temanku yang datang, menguatkan dan menghiburku dengan segala macam upaya, ‘yang kuat ya, San..’ atau ‘tabah, San. Semua udah diatur sama Tuhan’. Aku menertawakan kata-kata itu dalam hati. Kuat? Tabah? Really?? Then, perkenalkan. Aku San. Sanisti. Gadis yang sedang terluka dengan hebat di usia tiga puluh satu. Yang kehilangan Bapak tanpa bisa memeluk jasad, yang kini kehilangan Joe, lelaki yang pergi membawa separuh jiwaku menghilang dibalik awan. Kembali tanpa jasad yang bisa kurengkuh, kehilanganku berulang dengan cara yang sama.
Apakah aku yang tak beruntung soal lelaki?
Cerpen Karangan: Tanty Angelina Blog / Facebook: Tanty Angelina IG : @tanty_angelina / @setengah_cerita
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com