Tiga bulan sudah aku menjalin hubungan yang tak biasa dengan seorang gadis di pulau seberang. Berawal dari tanya jawab di grup belajar SBMPTN (seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri) tak disangka akan berlanjut ke jenjang yang lebih dari sekedar teman. Hubungan kita bisa dibilang hampa. Jarang sekali obrolan kita membahas tentang cinta atau biasa dibilang ‘gombal-gembel remaja jaman now’. Obrolan kita tak jauh-jauh dari materi SBMPTN. Dia juga sesekali meminta bantuanku untuk menyelesaikan tugas presentasinya. Sempat terbesit dibenakku, mungkinkah dia hanya memanfaatkanku saja?
Ketika malam minggu tiba, kebanyakan anak muda akan keluar bersama pasangannya masing-masing untuk sekedar bertemu atau hal lain. Namun tidak denganku. Tiket bioskop, cemilan, ataupun bensin, tak ada dalam daftar pengeluaran malam mingguku. Aku hanya perlu paket internet dan jaringan yang lancar, itu saja. Sesekali aku juga perlu meminjam tangga dari tetangga sebelah rumah untuk naik ke atap sebab tidak setiap saat jaringan di desaku lancar. Tapi aku bersyukur sudah banyak perubahan. Dulu pulau kami amat tertinggal. Listrik hanya ada di kota-kota besar. Pulau kami kaya, namun kami tak bisa menikmatinya. Ya, pulau mana lagi kalau bukan Pulau Papua.
Aku tahu, banyak dari kalian menyukai kisah cinta yang pemeran utamanya tampan dan cantik. Aku tahu, semua aktor dan aktris di tanah air memiliki wajah yang rupawan. Dan aku tahu, bahwa drama korea kini telah naik daun. Jadi setelah kalian tahu bahwa pemeran utama dari kisah ini adalah laki-laki berkulit hitam berambut keriting, apa kalian masih mau membacanya? Oh ayolah, kalian pikir orang jelek tidak punya kisah cinta huh? Baiklah, aku akan bercerita kepada yang mau saja. Meskipun hanya tinggal kamu. Iya kamu hehe.
Ponselku bergetar, sepertinya ada pesan masuk. Aku segera merapikan beberapa belahan bambu yang baru saja kupotong. Kupikir aku akan melanjutkan pekerjaan ini besok saja, sebab aku tak ingin kekasihku menunggu lama balasan pesan dariku.
“Ten, malam ini bantu aku belajar matematika ya. Bab logaritma” “Oke Mel” Jawabku singkat.
Seperti biasa, dia mengirim gambar soal-soal dan tugasku adalah mengerjakan serta menjelaskan padanya. Terlihat tidak adil, tapi aku ikhlas. Sudah cukup bagiku mendapat perempuan Jawa secantik Amel. Bahkan jika dia selingkuh, aku yang akan minta maaf.
Namun malam itu aku tersadar. Aku memberanikan diriku untuk bertanya apakah dia benar-benar mencintaiku ataukah hanya memanfaatkanku saja. Tanpa basa-basi akupun mengetik pesan singkat untuknya. “Mel, sebenarnya kamu benar mencintaku tidak? Atau aku hanya dianggap guru lesmu saja? Hehe”. Sengaja aku beri kata ‘hehe’ untuk mendinginkan suasana. Dia langsung membacanya dan mulai mengetik. “Aku beneran suka sama kamu Marten. Kalau kamu gak percaya, kamu temui aku di sini. Aku akan buktikan bahwa aku tulus sama kamu. Kamu bisa daftar kuliah di Pulau Jawa dan satu kampus sama aku, nanti kita bisa kuliah bareng”.
Aku terdiam membaca balasan darinya. Rasa senang bercampur dengan rasa bersalah. Aku tidak mungkin kuliah di Jawa sebab keluargaku bukan keluarga kaya. Apa lagi adik perempuanku masih kecil, dia juga butuh sekolah.
Pagi-pagi sekali aku melanjutkan memotong bambu yang tadi malam sempat tertunda. Bambu itu akan kuanyam untuk mengganti sekat kamarku yang mulai keropos terkikis usia. Tanganku tetap bertugas, namun pikiranku melayang kemana- mana. Aku masih teringat pesan dari Amel. Tak sadar tanganku telah berdarah terkena tajamnya pisau. Aku segera berlari ke sungai kecil di dekat rumah untuk membersihkan lukaku.
“Marten, kenapa tangan kau?” Tanya ibuku yang kebetulan sedang mencuci di sungai. “Tak apa Mak, luka kecil” Hari itu aku menceritakan semuanya kepada ibuku. Ya, tentang keinginanku untuk berkuliah di Pulau Jawa dan juga tentang Amel. Apapun keputusannya harus aku terima.
Kepulan asap kendaraan bermotor menyapu rongga hidungku. Hilir mudik manusia-manusia dengan berbagai latar belakang merupakan pemandangan yang asing bagiku. Semuanya serasa tak peduli dengan kehadiranku disini. Mata mereka tertutup kebutuhan duniawi yang menebal, individualis. Hari ini aku telah tiba di Malang, aku berkuliah di salah satu universitas negeri disini tentunya universitas yang sama dengan Amel. Aku berhasil mendapat beasiswa bidikmisi. Namun untuk transportasi yang mahal, bapakku terpaksa menjual sapi satu-satunya yang kami miliki.
Tiga bulan sudah aku hidup di perantauan, tapi tak kunjung bertemu dengan Amel. Ada saja alasannya, mulai dari tugas kuliah yang banyak hingga organisasi kampus dan mungkin juga karena fakultas kita yang berjauhan. Aku berada di fakultas teknik sedangkan dia di fakultas MIPA. Tentu aku memakluminya, sebab aku juga mengalami hal yang sama. Meskipun maba (mahasiswa baru) tak ada alasan bagiku untuk bertindak pasif.
Tanggal tua adalah tanggal yang paling ditakuti oleh mahasiswa perantauan seperti aku. Bukan karena makan nasi dengan garam, tapi yang kutakutkan adalah ketika dosen tiba-tiba memberikan tugas banyak dan harus dicetak. Belum lagi revisinya. “Ddrrtt…” Ponselku bergetar, ternyata itu pesan dari Amel. Dia mengajakku bertemu untuk yang pertama kali. Gugup pasti. Ini adalah kencan pertamaku selama aku lahir ke bumi. Aku buru-buru mandi dan bersiap-siap. Kupakai baju terbaikku kemudian gas ke lokasi. Tidak afdol rasanya jika aku tak membawa apapun untuknya. Uangku hanya tinggal seratus ribu dan tanggal 1 masih seminggu lagi. Baiklah aku bisa puasa sampai uang beasiswaku cair. Akhirnya aku putuskan untuk membeli buket bunga seharga 30 ribu.
Pukul 4 tepat, aku sudah duduk manis di bangku depan perpustakaan selama kurang lebih 30 menit. Gadis berbaju biru itu mulai mendekatiku, dia tersenyum menampakkan lesung pipi yang menawan. Kurasa dia lebih cantik dari pada di foto. Dia adalah Amelku.
“Marten?” Selidiknya. “Eh oh iya” Jawabku gugup sembari menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. “Sudah lama disini?” Tanya Amel. “Baru sebentar kok, ini untukmu” Jawabku bohong sembari menyodorkan buket yang telah kupersiapkan. “Harusnya kamu gak perlu repot-repot, tapi makasih ya” ucap Amel.
Kami berbincang sedikit, kemudian Amel mengajakku nonton. Percaya diri saja meskipun aku belum pernah menginjakkan kaki di bioskop. Hari itu kami bersenang-senang bersama sampai larut malam.
Esoknya aku baru sadar ternyata uangku telah habis. Mau tidak mau aku harus mencari pekerjaan yang bisa kukerjakan setelah kuliah. Untungnya temanku berbaik hati menyuruhku menggantikannya untuk sementara sebagai pelayan di warung bakmi.
Ramai mahasiswa yang datang, dan mayoritas aku mengenal mereka. Termasuk Amel yang datang dengan teman-temannya. Aku segera menghampirinya untuk mencatat pesanan, namun ekspresinya berubah suram ketika dia melihatku ada disini. Buru-buru dia memanggilku, dengan panggilan yang lain. “Mas, bakmi 3 sama es teh 2 ya. Cepetan ya Mas” Seru Amel yang seolah tak mengenalku. “Oh iya” Jawabku heran. Aku segera memberikan cacatan pesanan kepada Pak Abdi, pemilik warung yang sekaligus menjabat sebagai koki di warung ini.
“Mel, kemarin malam lo keluar sama siapa?” Tanya gadis berbaju ungu kepada Amel. “Sepupu gue” Jawab Amel datar. “Yang bener lo? Kemarin gue lihat di perpus kok. Bawa buket bunga lagi” Timpal gadis berkaca mata. “Berisik! Jangan sok tahu kalian, gue udah punya pacar kali” Jawab Amel ketus. “oh ok ok” Dan aku mendengar seluruh obrolan mereka. Sakit tapi tidak berdarah, mungkin ini yang disebut patah hati. Jadi apa yang aku takutkan memang benar, Amel hanya memanfaatkanku saja.
Doni teman sekamarku menyodorkan sebatang r*kok padaku. Dia bilang ini akan menenangkan pikiranku dan membuatku melupakan Amel. Meski tampangku seram, bukan berarti aku terbiasa dengan benda-benda buruk seperti itu, jujur saja aku tidak pernah mer*kok.
Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Amel, menanyakan padanya tentang kebenaran obrolannya tadi. Sudah beberapa kali kutelepon namun tak kunjung diangkat. Doni memberitahuku bahwa dia mengetahui alamat rumah Amel. Dan kupastikan aku akan tiba di depan rumahnya 15 menit dari sekarang.
Sepi dan gelap, apa aku berkunjung terlalu larut? Kurasa tidak, jam tanganku masih menunjukkan pukul 8 malam semenjak dua minggu yang lalu habis baterai. Tanganku ingin sekali memencet bel rumahnya, tapi entahlah seperti ada perasaan takut yang mencegahku untuk melakukannya.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah tong sampah yang terparkir rapi di depan rumahnya. Bukan karena ada makanan sisa disana, melaikan buket bunga yang pernah kuberikan padanya. Aku mengambil buket itu dari tempat sampah, dan ini sudah cukup. Cukup jelas untuk menggambarkan perasaan dia padaku.
Sempoyongan, kubawa buket itu pulang. Sudah tidak ada apapun dalam pikiranku, aku sudah kalah. Memang benar, seharusnya orang jelek sepertiku tidak perlu membayangkan kisah cinta yang bahagia. Cukup dilahirkan dibesarkan kemudian dijodohkan itu saja. Cinta hanya untuk orang-orang rupawan. Ya, sekarang aku tahu kenapa pemeran utama film roman selalu memiliki wajah yang cantik dan tampan. Karena faktanya memang orang jelek dilahirkan untuk memerani film azab.
Empat semester sudah aku menjalani pendidikan dan ipk ku selalu diatas angka 3. Tujuan utamaku sekarang bukan lagi memperjuangkan cinta, tapi untuk membahagiakan orangtua. Aku harus lulus tepat waktu dan segera mencari pekerjaan. Mengenai pendamping, kupikir masih banyak gadis muda di desaku. Seandainya sistim zonasi diberlakukan juga pada pernikahan, laki-laki di desaku akan sangat beruntung sebab perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan mencapai 1:3. Aku masih bisa pilih-pilihlah.
Hal yang aku benci saat tugas kuliah adalah presentasi secara kelompok. Sejak aku putus dengan Amel, aku menjadi individualis sebab aku tak ingin orang lain memanfaatku lagi. Dan setelah ketua offering membagi kelompok, ternyata aku satu kelompok dengan Tari. Gadis pendiam berhijab yang setahuku berasal dari Aceh. Aku takut dia takut padaku karena penampilanku yang bisa dibilang mirip berandalan, tapi meski begini aku itu baik kok. Seusai mata kuliah terakhir, Tari mengajakku untuk mengerjakan tugas bersama di gazebo fakultas teknik.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, namun kami masih belum selesai mengerjakan tugas. Hening, hanya terdengar bunyi ketikan dari jemari kita berdua. Sesekali berdiskusi sejenak, tidak lama kemudian mengetik lagi. Akupun memberanikan diriku untuk membuka percakapan.
“Tari, kamu gak takut malam-malam disini sama aku?” “Hah kenapa mesti takut?” Tanyanya heran. “Hmmm.. Gapapa sih” Jawabku bingung.
Suasana kembali hening hingga .. “Ten, kamu percaya gak sama yang namanya cinta?” “Hmmm.. Gimana ya, kurasa enggak” Jawabku ragu. “Yaudah sama” “Menurut aku cinta hanya bikin sakit hati aja. Bahagia sebentar kemudian berakhir dengan kesedihan. Jadi percuma” Lanjutku. “Iya, tapi tidak semua kok” Tari mulai menatapku. “Hah maksudnya?” kikuk kan aku jadinya. “Cinta pada keluarga dan juga teman-temanmu gak akan bikin sakit hati” Jelasnya sembari kembali menatap ke laptopnya. “Oh itu, iya benar hehe”
Butiran-butiran air mulai jatuh ke permukaan bumi. Semakin lama semakin deras. Kami bergegas merapikan buku dan laptop agar tidak terkena cipratan air. “Ten, kamu bawa payung gak?” Tanya Tari panik. “Wadu aku gak bawa nih” “Yaudah, kita neduh disini sampai hujannya reda” “Kenapa gak lari aja?” “Kita kan bawa laptop Marten, kalau kamu mau lari ya lari aja” “Eh enggak, aku masih sayang sama laptopku hehe”
Hujan kali ini benar-benar membuatku bahagia. Sembari menunggu hujan reda kami bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing di desa. Dan semenjak itu aku mulai bersahabat dengan Tari.
Semester depan aku harus sudah lulus dan harus punya keberanian untuk melamar seseorang. Siapa lagi kalau bukan sahabatku sendiri, Tari. Sebenarnya aku takut, sebab kita berbeda keyakinan. Aku pernah bertanya padanya apakah non muslim boleh menikah dengan muslim, dan jawabannya boleh asalkan perempuannya yang non muslim. Laki-laki adalah kepala keluarga sehingga dia punya pengaruh lebih untuk mengajari istrinya memeluk islam. Kemudian aku bertanya lagi, bagaimana jika ada perempuan muslim mengikuti keyakinan suaminya yang non muslim. Dia menjawab, bahwa itu tidak seharusnya terjadi. Hal itulah yang membuatku ragu, sekali lagi cinta tidak berpihak padaku.
Pagi-pagi sekali aku berangkat ke kampus tanpa sarapan sebab dompetku mulai menjerit kelaparan. Aku mulai terbiasa dengan tanggal tua, sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Kelas masih sepi, namun telingaku mendengar seseorang berjalan di lorong. Semakin lama semakin dekat, dan ya itu adalah Tari. Dia menyapaku kemudian duduk di kursi sebelahku.
“Ten, nih aku bawain sarapan buat kamu” Serunya sambil menyodorkan kotak bekal berwarna merah muda. “Gak usah repot-repot Tar” Ucapku namun tanganku tetap meraih kotak bekal tersebut. “Haha yaudah makan gih sebelum yang lain datang” “Kita makan bareng yuk!” Ajakku. “Kamu aja yang makan, hari ini aku puasa” “Puasa mengganti ya?” Selidikku. “Bukan, puasa senin kamis” “Ha? Sahurnya senin bukanya kamis gitu? Pantesan kamu kurus” “Hahaha enggak gitu” Tari tertawa sambil menutup bibir mungilnya. “Bercanda kok hehe” “Yaudah cepetan dimakan” “Asiapp”
Inilah yang dinamakan cinta yang sesungguhnya, tertawa bersama tanpa memandang dari mana keluargamu berasal, apa kepercayaanmu, bagaimana bentuk fisikmu, apa warna kulitmu, dan utamanya apa saja isi dompetmu. Materi bisa dicari bersama-sama, kecantikan dan ketampanan bisa hilang kapan saja. Cinta itu buta, tapi menyadarkan kita betapa pentingnya menghargai seseorang melalui perjuangannya. Ini bukan tentang pangeran atau putri raja, tapi tentang aku dan dia.
Pertengahan Maret di semester 7, Tari mengabariku bahwa dia akan dijodohkan dengan pengusaha kaya di desanya. Raut wajahnya menandakan bahwa dia tidak bahagia. Saat itu aku berusaha menghiburnya dengan berbagai lelucon konyol namun tak juga membuat dia tertawa. Sebenarnya aku amat terpukul dengan berita itu, sangat sangat terpukul. Bagaimana hatiku bisa menerima jika orang yang aku cintai menikah dengan pria yang tidak dia cintai. Akhirnya detik itu juga aku melamar Tari. Dia begitu terkejut, hingga dia meneteskan air matanya. Dan itu membuat hatiku semakin tidak karuan.
“Kamu serius Marten?” Tanyanya penuh harap. “Kapan sih aku gak serius?” “Sering” “Ok kali ini aku benar-benar serius” “Kalau begitu, telepon ayahku sekarang” “Hah kamu bercanda?” “Katanya serius?” “Iya iya, tapi aku gak punya pulsa Tar” “Nih pake punyaku” “Oke” Itu adalah obrolah paling romantis dalam hidupku, dan juga Tari.
Benar saja lamaranku ditolak mentah-mentah oleh ayahnya Tari setelah beliau mendengar bahwa keyakinanku berbeda dengan mereka. Aku tetap tidak menyerah, hari itu aku meminta Tari untuk mengajariku tentang keyakinannya. Namun dia menolak, dia berkata bahwa aku tidak perlu sejauh itu untuk membantunya. Membantu sahabatnya. Oh Tuhan, andai dia tahu betapa tulusnya aku, betapa aku ingin sekali mencintainya bukan sekedar membantunya sebagai seorang sahabat. Aku ingin lebih dari itu.
Diam-diam tanpa memberitahu Tari, aku mulai memeluk islam. Aku memelajari sedikit demi sedikit, mulai dari menghafal huruf hijaiyah hingga sejarah islam. Namun entah kenapa dia semakin jauh dariku. Bahkan terkesan menghindariku.
Sidang skripsi lewat, wisuda lewat, saatnya aku mencari pekerjaan. Dosenku bilang di Papua akan diadakan proyek pembangunan besar-besaran dan harusnya mudah bagiku untuk bergabung dalam proyek tersebut. Dan benar saja aku diterima, aku kembali ke pulau kelahiranku, memeluk orangtuaku dengan gelar dan materi. Namun, tidak dengan pendamping. Ibuku menyuruhku untuk segera menikah, katanya dia ingin segera menimang cucu. Kurasa ibuku benar, mau tidak mau aku harus memilih gadis di desaku dari pada menanti seseorang yang belum pasti.
“Marten” Panggil seseorang. Sepertinya aku mengenal suara itu. Akupun menoleh. “Kapan kita melangsungkan pernikahan?” Terpaku sesaat, suara itu adalah suara yang aku nantikan. Suara gadis yang pernah aku lamar, Tari. Dia datang jauh-jauh dari Aceh ke Papua hanya untuk menjawab lamaranku? Yang benar saja?
Cerpen Karangan: Fenia Eva Saputri Blog / Facebook: Xen Art
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com