Setengah jam perjalanan menuju ke tempat tujuan, membuat Dira menyadari ada yang membuatnya tak nyaman di dalam mobil Gillan. Bangku mobil ini agak dekat dengan dashboard mobil, karena kaki jenjang Dira terlalu menekuk. Saat masuk pertama kali, aroma vanilli memenuhi mobil, Gillan tidak mengenakan parfum seperti ini, Gillan juga tak suka memakai pewangi mobil.
Hal yang membuatnya tak nyaman berikutnya adalah 3D Emoticon Figure berwarna kuning yang menunjukkan giginya, yang dibelikan Dira beberapa bulan lalu harusnya tak ada noda. Tapi, di gigi figure bergoyang itu ada coretan merah, Dira rasa itu adalah lipstik.
Karena sedari tadi ia penasaran dengan noda itu, telunjuknya mulai mencolek pelan noda itu, benar, noda itu adalah lipstik matte merah. Gillan melihat heran tingkah Dira, yang sedari tadi risih di sampingnya.
“Kenapa Di?” kata Gillan, ia fokus menyetir sesekali melihat Dira. “Ada orang lain ya yang duduk disini hari ini?” tanya Dira, sambil meraih tisu untuk membersihkan telunjuknya. “Iya ada. Bu Sarah, asistenku di kantor.” jawabnya, tanpa melihat Dira. Kedua alis Dira menyatu mendengar nama itu, setahun kenal dengan Gillan, nama itu belum pernah didengarnya.
“Asisten baru aku, Dia Baru masuk hari ini..” kata Gillan. Dira mengangguk menerima penjelasan Gillan, lelaki itu menoleh ke samping lalu tersenyum, mengulurkan tangannya ke kepala Dira untuk mengelus rambut gadis itu.
Keduanya tiba di puncak kota, menyaksikan pertunjukkan kembang api, sambil menikmati jagung bakar manis. Namun, pikiran Dira berjalan. Aroma vanilli tadi membuatnya tak tenang, kemudian ada aroma baru yang membuatnya lebih tak tenang, aroma mint dari tisu yang ia kenakan sebelumnya.
“Gillan..” panggil Dira melihat ke sampingnya, Gillan sibuk menikmati jagung bakar yang sebentar lagi habis. “Emh..” karena masih mengunyah, hanya deheman Gillan saja yang menjawab. “Kita udah setahun dekat.. Kita bisa ke hubungan serius?” Uhhukkk! “Maksud kamu?” Gillan terdesak biji jagung yang ia kunyah. “Yaa.. kita udah ditakdirkan untuk bersama sampai hari ini kan? Kita bisa..” “Takdir?” “Iya takdir..”
“Dira.. aku mau menikmati malam ini dengan tenang.” “Kamu rasa aku menganggu?” “Bukan itu maksudku… kita jangan bahas apa-apa malam ini, ya?” “Tapi aku mau semuanya jelas..”
Gillan menaruh pelan jagung bakar yang telah habis, lalu mengelap bibirnya dengan tisu. Hempasan nafas kasar terdengar oleh Dira, kening gadis itu mengerut. Gillan merubah posisi duduknya menghadap Dira. Lalu menggenggam jemari gadis itu dengan lembut.
“Dira.. kamu jangan lupakan satu hal.” “Apa?” “Aku tidak percaya takdir, dan apapun yang terjadi hingga hari ini sudah cukup jelas, kamu dan aku ada sampai hari ini, menikmati semua waktu ini, itu semua karena sebuah kebetulan, jangan menyebutnya takdir.” Dira mengerutkan keningnya, dia ingin menyela, tapi ia memilih untuk mendengar Gillan.
“Jika kita ditakdirkan bersama, menurutmu kenapa kita masih seperti ini? Menurutmu, kenapa aku hanya diam ketika kamu ribuan kali membahas hubungan serius denganku? Menurutmu, kenapa aku tidak membuatmu menjadi milikku? karena semuanya hanya kebetulan.”
“Kebetulan kita ketemu malam itu, kebetulan banget siang itu kita ketemu di ATM, kebetulan banget malam itu aku nyaman teleponan sama kamu, kebetulan banget aku jadi suka sama kamu. Kebetulan banget aku kebawa suasana di bioskop akhirnya bisa cium pipi kamu. Tapi, pernah nggak kebetulan kamu sadar, kalau sampai sekarang aku gak pernah ucapkan kata ‘suka’ atau ‘sayang’ ke kamu?”
Dira masih mendengarkan, kepalanya sibuk mengingat kejadian selama setahun yang sudah ia lalui bersama lelaki yang ia sayangi ini. Mendengar Gillan membuatnya menyadari sesuatu, Gillan memang tidak pernah mengatakan apapun mengenai perasaannya, pertama kali ia mengatakan menyukai Dira, memang itu adalah kata terakhir, yang bisa Dira ingat.
“Aku mau berhenti membuat semuanya ini terasa seperti takdir, karena aku nggak bisa memenuhi ekspektasi kamu, aku mau berjalan seperti ini sampai kapanpun..” “Seperti ini? Tanpa kejelasan seperti ini Lan?” “Dira.. jangan minta kejelasan apapun lagi.” “Oke, oke.. jawab aku dengan satu kali tarikan nafas.” “Apa?” “Kamu sayang sama aku?”
Siapa sih lelaki di dunia ini yang berfikir panjang hanya untuk menjawab pertanyaan simple seperti yang ditanyakan Dira. Ini pertama kali Dira memberanikan diri untuk bertanya perasaan lelaki itu. Dan Gillan malah berfikir panjang untuk menjawabnya, batin Dira berusaha meminta agar jawaban itu membuatnya senang. Nyatanya, Gillan tak menjawab.
“Kenapa kamu nggak bisa jawab? Aku selama ini menerka-nerka, kamu sayang ke aku, tapi nggak mampu bilang. Kamu sayang ke aku, makanya semua kenyamaman dan kasih sayang itu terbukti nyata kamu tunjukkan ke aku. Tapi kenapa sih? Aku ngotot banget mau dengar langsung dari kamu?”
Gillan menunduk, jemarinya masih memegangi jemari Dira, kali ini jemarinya menggenggam erat. Dira yang merasakan genggaman itu, perlahan menangis.
“Apa ada, seseorang yang kamu jaga perasaannya selama ini, Lan?” tanya Dira. Gillan mengangguk dibalik tunduknya. Dira menyesal tak bertanya selama ini, lalu kenapa dia bertanya sekarang, sedangkan ia tak ingin jawaban itu menyakitinya.
“Kita bertemu karena takdir, Lan.” Kata Dira, Gillan mengangkat pandangannya melihat Dira yang menangis, lalu jemarinya dengan pelan mengusap lembut pipi Dira, “Takdir buruk, Lan.” kata Dira menurunkan tangan Gillan. “Maaf Di, aku terlalu takut, nanti aku kehilangan teman.” kata Gillan.
Malam tahun baru itu berlangsung singkat sekali, Dira meminta Gillan mengantarnya pulang setelah tidak ada pembicaraan lagi diantara mereka. Dira berpamitan seperti biasa pada Gillan, bedanya tak ada lambaian tangan dan senyuman untuk Gillan hari itu. Jarak tak berujung tercipta diantara mereka karena Dira yang masih tak percaya dengan hal yang ia alami. Gillan akhirnya harus kehilangan teman.
Siapa yang tahu, Dira dihadapkan dengan kisah yang sama sekali lagi setelah dua tahun berlalu, bertubrukan pertama kali, berkenalan pertama kali, semuanya seperti alur cerita yang sama, yang ia lalui untuk kedua kalinya dengan orang yang berbeda. Dira memutuskan untuk tidak percaya takdir seperti yang dibicarakan Edy pada dira saat ini, ditengah pertunjukkan kembang api malam tahun baru.
“Aku nggak percaya takdir, nggak ada yang ditakdirkan di dunia ini. Semuanya hanya berjalan sesuai skenario kehidupanku. Jadi tolong, jangan menyebut pertemuan kita takdir.” kata Dira sambil fokus melihat ke langit yang dipenuhi kembang api tanpa Edy yang duduk disampingnya. “Lalu bisa kebetulan jika aku ingin memiliki hubungan serius denganmu?” Tanya Edy, akhirnya Dira menurunkan pandangannya melihat ke samping. “Kamu nggak takut aku tolak?” Edy menggeleng, “Kali ini ikuti kata hatimu, Dira…” “Kata hatiku.. aku mungkin harus berhenti percaya pada takdir, dan melewati takdir menyedihkan ini. Aku harus percaya dengan keadaan saat ini, dengan apa yang kurasakan.”
“Kalau aku takdir itu, kamu akan berhenti percaya dan melewatiku?”
Dira menggeleng sambil tertawa kecil, lalu perlahan mengecup lembut pipi Edy, membuat lelaki itu terkejut, “Aku akan menganggapmu sebagai sebuah kebetulan yang indah.. Terimakasih telah menjaga keindahan itu.”
Cerpen Karangan: Dianathalie Julianthy Blog: mystoryjulianthydn.blogspot.com Naman Pena Dianathalie Julianthy, aku menyukai secangkir cappucino, dan roti bakar selai cokelat. Kunjungi waddpad @dianathalieJulianthy untuk cerita yang lebih seru..
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 22 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com