“I’ll promise I’ll treasure you girl…”
Alunan musik yang terkesan retro itu mengalun, memenuhi kamar berukuran 7 x 4 meter yang terlihat suram. Suara jam berdetik di nakas mengikuti alunan musik yang diputar melalui sebuah radio tua, membuat suasana kamar semakin sendu, hingga perpaduan tema kamar yang terkesan vintage itu lantaran terasa kelabu.
Seorang gadis dengan surai hitam pekat yang begitu tipis terduduk lesu diatas kasurnya. Maniknya yang berwarna senada dengan surainya memancarkan sinar redup nan kosong, seperti tak ada kehidupan didalam jiwanya. Nyala api membara di pancaran matanya yang dulu ia miliki telah padam. Dirinya kini benar-benar berpasrah diri kepada sang waktu yang mengatur untaian benang merah takdirnya, takdirnya yang mungkin sebentar lagi akan terputus.
“You’re all that, I’ve needed, completing my world..”
“Nona, sudah waktunya..” Suara lembut seorang asisten rumah terdengar, bersamaan dengan alunan musik yang masih terputar. Gadis itu menoleh. Wajahnya pucat seperti salju, matanya begitu lesu dan redup. Rambutnya begitu tipis, hampir tak tersisa sama sekali. Ia mengangguk perlahan-lahan sembari meraih radio tuanya seiring beberapa asisten membantunya duduk di sebuah kursi roda. Tak lupa beberapa asisten lagi mengangkut alat-alat pendukung kehidupan dan selang infus miliknya.
Elakshi Chandara Abimanyu namanya. Gadis yang kerap disapa Ela itu kini sedang menuju sebuah rumah sakit tempat ia rutin berobat. Mobil yang disetir oleh sopir pribadinya melaju cepat, membelah keramaian ibukota yang dipenuhi kepadatan kendaraan. Ela menatap jendela mobil. Entah dalam berapa jam lagi ia akan meninggalkan dunia ini.
“Nona Ela, tarik napas yang dalam.” Ujar asistennya. Ela telah terbaring di salah satu kasur rumah sakit yang kini didorong menuju sebuah ruangan. Ia menarik napasnya dalam-dalam, mengikuti arahan asistennya yang ikut menggiringnya menuju ruangan yang dituju, berusaha menemukan setitik ketenangan dihatinya. Walau terkesan pasrah, hatinya entah kenapa berpacu kencang.
Ruangan itu, momok menakutkan bagi Ela yang dulu. Sebuah ruangan tempat orang sakit diobati dengan cara pembedahan dan penjahitan. Ela selalu menutup matanya ketika mengantar Bunda menuju ruang operasi. Bundanya yang sudah tiada kala itu kerap masuk ke ruangan itu, membuatnya menganggap ruangan itu adalah ruangan kematian.
Namun Ela yang sekarang sudah pasrah. Ia digiring masuk kedalam ruangan dengan banyak alat bedah itu. Ela sudah tak mempunyai rasa takut akan kematian. Malah, Ela menyambutnya dengan bahagia. Tiga tahun hidup bersama kanker sialan ini membuatnya muak dan menderita.
Kasurnya mulai memasuki ruangan. Ia kemudian dipindahkan ke satu kasur lain, kasur operasi. Dokter dan para suster beserta asisten mulai sibuk mempersiapkan alat-alat. Ela hanya memandangnya tak bergairah. Dalam beberapa jam lagi, batinnya menghitung umurnya.
Dokter mulai menyuntikkan bius total padanya, dan matanya perlahan terpejam.
“Elakshi Chandara Abimanyu, bangunlah..” suara lembut itu merasuki pendengaran Ela. Ela membuka matanya. Ia mengerjap, membiasakan diri dengan pencahayaan disekitarnya. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah seorang pria bertudung hitam yang memakai jubah senada. Wajahnya terkesan pucat dengan bibir hitam yang kering, namun selebihnya, wajahnya terlihat tampan dan ramah. Pandangan Ela kini tertuju kepada sabit besar yang pria itu bawa.
“Ah, maaf soal itu. Aku akan menyimpannya” ujarnya ramah. Pria itu mengangkat sabitnya dengan satu tangannya. WUSH!, seperti daun yang tertiup angin, sabit itu perlahan tersapu angin menuju utara hingga menghilang sepenuhnya. Pria semampai itu membantu Ela berdiri, dan saat Ela berdiri, ia baru menyadari bahwa ia telah berada di sebuah padang rumput luas yang indah. Sembari membungkuk layaknya pangeran, pria itu tersenyum simpul. Senyum yang terasa begitu hangat.
“Ela, aku adalah sesosok yang ditugaskan untuk menjemputmu. Kamu adalah arwah terakhir yang akan kuantar, sebelum aku diizinkan untuk terlahir kembali.” Ela mengerjap. Ah.. ternyata dirinya sudah mati, batinnya lega. Ela mengangguk dan tersenyum lebar. Akhirnya ia pergi dari dunia, sesuatu hal yang begitu diinginkannya sejak lama.
“Kau dapat mengantarku sekarang, Tuan. Aku siap.” “Tidakkah kamu ingin mencoba beberapa kegiatan yang sering kamu lakukan dulu?” Eh? Lagi-lagi Ela membatin. Memangnya semua itu bisa dilakukan? Bukankah seharusnya ia segera diantarkan menuju alam abadi? Apakah mungkin ia sudah berada di alam abadi, dan ini semua adalah perwujudan dari apa yang ia inginkan?
“Haha! Belum, Nona. Kau masih berada di alam arwah, alam dimana arwah yang tidak dijemput akan berkeliaran. Ayolah, anggap saja ini layanan terakhir untukmu.” sambung pria itu, seolah dapat membaca pikiran Ela.
Ela terdiam. Mungkin memang tiada salahnya ia menerima tawaran menarik dari malaikat maut itu. Ia mengangguk mantap dan meraih uluran tangan sang malaikat maut. Terasa hangat, berbanding terbalik dengan sosok malaikat maut yang diceritakan di dunia manusia.
Sekejap, secepat kedipan mata, mereka telah sampai di sebuah tempat seluncur es. Lengkap dengan sepasang sepatu ice skating cantik yang telah terpasang di kakinya. Tempat yang dahulu begitu sering Ela kunjungi ketika liburan. Fakta bahwa Ela adalah seorang ice skating dancer yang hebat memang tak dapat dipungkiri.
“Mari,” ujar sosok malaikat maut itu sambil mengulurkan tangannya kembali. Ela lagi-lagi tersenyum. Ia menyukai genggaman hangat yang pria itu berikan, entah mengapa. Dirinya menerima uluran lembut itu, dan dimulailah suatu tarian yang indah. Mereka berputar dan berseluncur dengan gemulai diatas lapisan es yang menampilkan bayangan mereka berdua. Sang malaikat maut begitu lembut dalam memegangi tubuh gemulai Ela yang cantik.
Dansa apik diatas es itu diselesaikan dengan sebuah dekapan hangat. Ela dapat merasakan kehangatan yang diberikan oleh sosok malaikat maut itu. Kehangatan yang sudah lama tak pernah ia dapatkan, walau sejenak ia tertawa kecil karena sang malaikat tak memiliki detak jantung sama sekali.
Maka dimulailah perjalanan mereka berdua. Setelah mengunjungi tempat seluncur es, sang malaikat maut mengantarkan Ela menuju tempat-tempat favorit gadis itu. Mulai dari perpusatakaan besar, restoran daging yang lezat, hingga sebuah bukit dimana mereka dapat menyaksikan indahnya langit malam dan gemerlapan kota. Walau Ela tak yakin itu semua adalah hal-hal asli, karena mereka sedang berada di alam arwah.
Waktu terasa berjalan begitu cepat. Kini, mereka terduduk dibawah pohon rindang yang berada diatas bukit. Sembari menatap langit malam yang indah, Ela menengadah. Ia bahagia sekali. Rambut hitamnya kembali tumbuh dan tebal, tubuhnya kini sudah tidak pucat lagi. Tanpa sadar, ia menyunggingkan senyum manis.
“Kau tau, namamu begitu cocok denganmu.” ujar sosok malaikat maut itu, membuat lamunan Ela buyar dan menoleh. “Elakshi, wanita dengan mata yang cerah. Pancaran cahaya dari manikmu cerah sekali, Ela. Seolah-olah kau berasal dari Negeri Bulan disana. Chandara, dari bulan. Dan kau tau, aku begitu menyukainya.”
DEG! Hati Ela mulai berpacu dengan cepat. Apa tadi? Menyukainya? Astaga, pipinya merona merah. Semburat merah yang terlihat begitu kontras dengan wajah putihnya. Ela membeku, benar-benar kehilangan kata-kata.
Malaikat maut tersenyum. Ia bangkit dan meraih tangan Ela lembut. Tatapannya menghangatkan sekali, seperti sinar mentari yang menyinari musim dingin dengan badai salju. Tanpa sepatah kata pun, pria itu menggandeng Ela menuju sebuah tanah lapang dengan sebuah gerbang megah yang berdiri kokoh. Malaikat maut itu menatap Ela kembali.
“Disana, adalah alam abadi, Ela.” ujarnya pelan. Ela kembali tertegun. “Apakah Bunda ada disana? Aku akan masuk kesana kan, Tuan Malaikat?”
Pria itu lagi-lagi tersenyum. Ia meraih jemari Ela dan menautkannya dengan miliknya. Satu tangan lagi ia gunakan untuk merapihkan poni milik Ela, merapihkan beberapa anak rambut yang nakal berkeliaran dan mengelusnya lembut. “Sayangnya, tidak hari ini.. Nona cantik”
Alis Ela bertaut. Hey, bukankah ia sudah mati? Bukankah seharusnya ia memasuki gerbang itu, menuju alam abadi? Bukankah seharusnya ia akan segera bertemu dengan Bunda? Begitu banyak pertanyaan yang meletup dibenaknya, layaknya aliran magma yang meletup-letup di kawah gunung berapi.
“Ela, tidakkah kamu merindukan semua aktivitas lama mu? Berdansa diatas es, membaca, bergaul dengan sahabat-sahabatmu?” tanya pria itu.
Ela terdiam. Itu benar, ia mungkin merindukan semua itu. Ela tersadar, ia merindukan tepuk tangan dan sorot lampu yang mengarah padanya setelah pertunjukan ice skating. Ia merindukan harum buku di perpustakaan yang sunyi, ia merindukan rasa lezat daging di restoran favoritnya ketika makan bersama dengan sahabat-sahabatnya. Perjalanan ini membuatnya teringat akan semua hal yang belakangan ia lupakan karena penyakitnya.
“Ela, kau akan memasuki gerbang itu. Tapi tidak sekarang, kau akan menjalani hidupmu yang masih panjang dan bertemu lagi denganku saat kau menua. Aku akan menanti kehadiranmu, hanya untukmu. Aku akan berdansa untuk terakhir kalinya untukmu kala itu. Lalu kita akan memasuki alam abadi bersama-sama. Aku selalu menanti akan sosokmu, Elakshi. Cahaya dari bulan yang benderang, cahayaku.”
Sosok malaikat maut itu melebarkan lengannya, siap menerima dekapan dari Ela. Dekapan yang akan mengantarnya kembali menuju raganya, dekapan yang menandakan mulainya penantian sang malaikat maut untuk menunggu sosok Ela. Ela tersenyum penuh arti, lantas berlari kedalam dekapannya. Malaikat maut itu sempat membisikkan sesuatu sebelum cahaya emas menyilaukan memenuhi pandangannya.
“Namaku Apolion..”
—
Setitik cahaya lama kelamaan mulai bersatu, tepat saat Ela membuka matanya dari tidur panjangnya. Ia mengerjap, membiasakan diri dengan cahaya sekitar. Saat matanya terbuka dengan sempurna, hal yang pertama ia lihat adalah para asistennya yang menangis bahagia dan seorang dokter yang mengecek keadaannya.
Ela sudah kembali ke dalam raganya. Ia kembali dengan sebuah kenangan manis akan sosok yang dicintainya. Sosok yang akan menunggunya hingga usia merenggut nyawanya nanti, sosok pria lembut yang bernama Apolion.
Dan Apolion benar, perjalanan hidupnya masihlah panjang.
-END-
Cerpen Karangan: Lira Alana Pangestu Blog / Facebook: Gaada No age, no real name, no gender. i even don’t know, am i exist or not. maybe you all have read a short story made by a ghost.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com