Gadis itu menghela napas panjang, mengeratkan kembali syal-nya yang sedikit mengendur. Hari ini sedikit lebih dingin, apa mungkin musim dingin semakin dekat? Tangannya dengan segera melipat bagian ujung buku tebal yang dia baca. Segera melangkah pergi begitu lonceng jam berdentang di ujung jalan sana. Menginjak beberapa daun orange yang berserakan di tanah.
“Bonjour” Sapaan itu terdengar beberapa kali di telinganya. Ia tersenyum simpul, sesekali berbalik menyapa. Warga Old Quebec memang begitu ramah, bahkan kepada pendatang asing sepertinya.
Alyssa, gadis itu sudah tinggal sekitar 4 bulan di sini. Menjadi mahasiswa di salah satu universitas Quebec sekaligus bekerja part time sebagai seorang pelayan di salah satu restoran.
“You’re late again, Lyss.” Sebuah suara menyambutnya begitu dia membuka pintu kayu tersebut. Membuat lonceng kecil berdentang nyaring. Seorang gadis sebaya bermata biru tersenyum mengejek ke arahnya.
Alyssa tertawa, segera mengambil apron dan memasangnya. “Well, aku sedikit terlarut dengan buku yang kubaca. Tolong jangan katakan pada Madam Malkin tentang ini.” Cengir-nya dengan tangan ditangkupkan depan dada. Memohon pada Sharon, rekan kerjanya. “Lagipula aku tak terlalu-”
Ucapan gadis itu terhenti begitu pintu dapur terbuka. Menampakkan lelaki berwajah oriental berkacamata yang melongok dari sana. Terlihat kebingungan. Alyssa mengerutkan dahinya, siapa dia? Namun mungkin Sharon telah mengenalnya. “Kau membutuhkan sesuatu, anak baru?” Tanyanya dengan logat Perancis yang kental. Mereka bercakap sebentar sebelum si orang asing tersebut mengangguk dan kembali menutup pintu dapur.
“Siapa?” Tanya Alyssa tanpa basa-basi. Sharon mengangkat bahunya, lalu kembali duduk di meja kasir. “Raka. Pelayan baru yang mulai bekerja hari ini. Cobalah berkenalan dengannya, dia berasal dari negara yang sama denganmu. Mungkin kalian cocok.” Saran perempuan berisi tersebut. “Aku kasihan denganmu yang selalu berkencan dengan buku terus.”
Kalimat itu membuat Alyssa melotot dan hendak melempar rekannya dengan buku, jika saja suara lonceng dari pintu masuk tak menginterupsi mereka.
“Orang Indonesia, ya?” Pertanyaan itu langsung Alyssa lontarkan pada orang asing tersebut begitu jam istirahat tiba. Raka yang sedang mengunyah sandwichnya langsung terdiam, mengangguk kecil. Gadis itu tersenyum tipis, tipe introvert ternyata. Jadi, dia memilih untuk menghentikan obrolannya. Tapi mata bulatnya segera menangkap visual sebuah brosur wisata Quebec. Apa mungkin orang ini ingin ke suatu tempat?
Montmorency Falls Park.
“Kalau dari sini bisa sekitar 1 jam naik kereta. Terus kalau ke sana, jangan waktu weekend, lebih mahal tiketnya. Tapi moment paling bagus memang waktu autumn, sih.” Cetus Alyssa tiba-tiba. Raka menoleh, mengerutkan dahinya. “Eh… gue cuman mau kasih tau aja sih…” Gadis itu menggaruk tengkuknya, salah tingkah sendiri.
Raka terdiam sejenak, menatap brosur yang Alyssa pegang. “Kamu pernah kesana?” Tanya pemuda itu. Alyssa mengangguk. “Kalau begitu, sabtu ini bisa menemani saya ke sana?” Pintanya tiba-tiba. Alyssa melongo, orang ini kenapa tiba-tiba langsung mengajaknya pergi bersama, sih? Pemuda itu mendengus, melahap gigitan terakhir sandwich-nya. “Jadi tour guide saya.” Kalimat terakhirnya membuat Alyssa bernafas lega. Duh, dia kenapa jadi geer begini sih?
“Well, no problem. We meet right at the front gate, 8 A.M.” Jawaban secara singkat itu menjadi persetujuan Alyssa. Percakapan mereka berakhir, seiring alarm penanda waktu rehat telah habis. Raka tersenyum tipis, memasukkan lagi brosur wisata ke dalam tasnya.
Hari bergulir cepat, mereka ternyata tak main-main dengan kalimat masing-masing. Tepat pukul tujuh pagi, ketika angin dingin musim gugur berhembus, keduanya bertemu di depan pintu masuk. Saling melempar senyum singkat, sebelum berjalan hampir beriringan.
“So, disini kamu bisa jalan santai, piknik, atau bersepeda sambil melewati jembatan. Ikon utama di sini ya, jelas Montmorency Falls ini. Kebanyakan orang milih untuk pergi kesini ketika autumn. Karena, pohon-pohon jadi jauh lebih indah.” Alyssa menatap dengan mata berbinar ketika mereka melewati jalan setapak taman yang dipenuhi oleh guguran daun orange. Sesekali tersenyum pada anak kecil yang bermain di dekat-dekat pohon besar. Gadis dengan kerudung maroon itu asyik menjelaskan hingga tanpa sadar, pemuda di sampingnya itu sesekali mencuri-curi pandang. “Kamu bisa melakukan apapun di sini, bebas. Tapi tentunya tetap harus mengikuti peraturan.”
‘Tapi tak ada peraturan tidak boleh jatuh hati pada tour guide sendiri, kan?’
Raka menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan sekelebat pikiran anehnya tadi. Ah, mana mungkin dia begitu mudah jatuh cinta? Walau nyanyatanya, tak bisa pemuda itu pungkiri jika debaran aneh itu hadir. Pandangan matanya sama sekali tak pernah bisa lepas dari gadis dengan syal merah tersebut. Bahkan sampai mereka berpisah di stasiun bis.
Itulah kisah singkat tentang bagaimana mereka bisa dekat. Karena hari-hari setelahnya, mereka benar-benar akrab layaknya sahabat karib yang sudah lama mengenal. Walau sifat kedua insan tersebut cukup berbeda jauh, nyatanya kesamaan mereka juga banyak. Mungkin, kepada musim gugurlah mereka harus mengucapkan terima kasih. Gugurnya daun di kala itu benar-benar mencairkan kecanggungan yang sempat melanda keduanya.
“Kenapa kau begitu menyukai musim ini?” Tanya Raka di suatu hari, ketika jam kerja mereka telah berakhir. Alyssa menoleh, tersenyum tipis seraya mengeratkan mantel tebalmya.
Gadis itu menatap ke sebuah pohon tua di persimpangan jalan. “Entahlah, tapi bagiku musim gugur adalah situasi paling indah yang pernah dibuat Tuhan.” Jawabnya lirih. Dia menoleh pada Raka yang menatapnya tak paham. “Kau tahu, Raka? Lambang daun Maple memiliki arti kedamaian dan kesetiaan. Dan pohon ini, digunakan pasangan Old Quebec untuk menyatakan perasaan mereka. Konon katanya, cinta mereka akan abadi seperti pohon tua ini.” “Kamu percaya itu?” Pemuda itu bertanya. Alyssa tertawa, sekali lagi mengangkat bahu. “Mungkin.” “Lalu, pada siapa kamu akan mengatakan itu?” Raka bertanya pelan, menatap gadis itu dengan tatapan tersirat. Tak dia pungkiri, dia memang begitu penasaran dengan siapa yang gadis ini maksud. Karena bisa saja, jawaban gadis itu mematahkan harapannya. “Aku tak bisa memberitahumu, Raka. Lagipula, aku juga belum yakin dengan hatiku. Hanya angan-angan saja, belum tentu juga benar-benar kulakukan.” Jawaban gadis itu membuat Raka diam-diam menghela nafas kecewa. Biarlah, lebih baik jawaban rancu begini daripada jawaban gamblang. Agar pemuda itu tak terlalu berharap pada hampa.
Musim gugur dan misterinya. Kali ini Raka menemukan satu lagi fakta dari cuaca yang begitu disukai sosok bermata bulat tersebut. Tak hanya musim gugur yang menyimpan misteri, nyatanya gadis bernama Alyssa Veranda itu juga pandai bermain teka-teki. Autumn memanglah terkadang hangat. Hanya saja, mungkin musim gugur tak selamanya sehangat itu.
“Sharon, where’s Raka?” Alyssa membuka pintu restoran dengan penuh semangat. Ada semburat merah yang terlihat jelas di pipinya. Sudah dia putuskan. Seminggu setelah percakapan mereka, hari ini, di bawah pohon maple tua di persimpangan jalan sana, dia ingin menyatakan perasaannya. Masa bodoh dengan jawaban Raka, dia sudah mempersiapkan hati jika sewaktu-waktu terluka nanti.
Gadis dengan tindik di telinga itu mengerutkan dahi. “Kau tak tahu?” Tanyanya bingung. “Raka resign hari ini. Dia harus segera kembali, ada masalah yang tak bisa membuatnya menunda kepulangan ke Indonesia.”
Alyssa terdiam, pandangannya memburam begitu saja. Ia menarik nafas, berusaha tidak memperlihatkan gurat kecewanya. “Oh wow, very quick.” Tanggapnya seolah tak ada yang salah dengan hatinya. “Padahal aku belum mengucapkan salam perpisahan padanya, sangat disayangkan.” Dia tersenyum tipis, buru-buru masuk ke dalam ruang staff.
Ya, pertahanan gadis itu hancur di sana. Air matanya mengalir seiring dengan isakan pilu. Mengapa? Padahal dia sudah begitu yakin jika mereka memang diciptakan untuk bersama. Mengapa Tuhan menghancurkan angan-angannya begitu telak?
Raka. Ah, nama itu terlalu dalam tertanam dalam hatinya. Sosok manusia beku yang memikat hatinya. Sosok yang sama untuk pemuda yang telah meluruhkan seluruh kisah dan ekspektasi indah yang Alyssa punya. Dia sangat tahu, jatuh cinta itu memang indah. Tapi dia tak pernah tahu, jatuh cinta bisa sesakit dan seperih ini. Andai perempuan Bandung itu tahu akan sepahit ini rasanya, dia tak akan sudi untuk jatuh cinta. Terima kasih, musim gugur. Untuk luka yang tertoreh begitu dalam.
Mata bulat itu menangkap visual novel miliknya di atas rak. Novel yang pernah dipinjam Raka. Entah kenapa, tangannya tergerak untuk mengambil buku tebal tersebut. Membaca acak halaman di dalamnya. Hingga tanpa dia duga, sebuah kertas kecil beserta sehelai daun maple jatuh dari sana. Alyssa terdiam sejenak, lalu mengambilnya disertai napas berat.
“Jika musim gugur nanti tiba, saya berjanji akan datang seperti sebuah kebetulan.” – Raka.
5 tahun kemudian… “KAK, TURUN!”
Gadis itu segera menyambar sling bag silvernya, buru-buru menuruni tangga sebelum omelan Mama-nya menjadi semakin panjang. Ini salahnya sendiri, sudah tahu hari ini akan pergi bersama teman-temannya, kenapa juga tadi malam harus begadang menonton drakor?
Untuk terakhir kalinya, dia mematut diri di depan cermin besar dekat pintu utama rumah. Tersenyum puas terhadap dirinya sendiri.
Sudah tiga tahun semenjak kepulangannya ke Indonesia, dan lima tahun setelah kepergian sosok tersebut yang tiba-tiba. Karena seseorang itu, Alyssa memutuskan untuk mempercepat studinya. Dia tak ingin lagi terikat dengan apapun yang berhubungan dengan Raka. Termasuk Quebec dan musim gugur. Melupakan sosok itu jelas adalah pilihan yang tepat untuk ketenangan hatinya. Walau, sosok itu tak pernah berhasil dia lupakan. Tidak, lebih tepatnya belum.
“Lyss, ke bawah, yuk? Lihat pameran 4 musim.” Ajakan seorang temannya membuat gadis itu tersadar. Ia mengangguk seadanya, mengikuti langkah 3 orang lainnya. Hanya tersenyum atau tertawa kecil menanggapi tingkah konyol yang dibuat teman-temannya. Hingga, sebuah bau khas menarik atensi Alyssa secara sempurna. Aroma yang tak mungkin bisa dia lupakan, aroma manis bercampur segar milik pohon maple yang telah menemani kisah cinta tragisnya.
Kakinya tanpa sadar telah melangkah ke bagian musim gugur, meninggalkan teman-temannya yang asyik berfoto di bagian musim lain. Ah, kakinya membawanya kemari. Ke suasana yang paling ingin dia hindari. Meski dari sudut hatinya, rasa rindu itu jelas terselip. Kehangatan Quebec dan musim gugur yang begitu manis, aroma segar dari dedaunan yang berjatuhan, segala peristiwa yang telah menempanya menjadi gadis mandiri seperti sekarang.
Musim gugur juga yang telah menumbuhkan rasa cinta yang begitu indah di dalam hatinya. Walau juga ikut meninggalkan bekas luka yang hingga kini belumlah mengering.
“Hei.” Suara sapaan itu membuat Alyssa spontan menoleh. Matanya membola begitu menemukan sosok pemuda tegap dengan kacamata bulat yang menatapnya sayu. Tatapan yang tak mungkin bisa luput dari memorinya. Senyum tipis itu juga, nyatanya tak pernah berubah. Masih sehangat yang bisa dia ingat. Hanya satu orang yang memiliki tatapan juga senyum tipis yang dulu menjadi candunya.
Laki-laki itu, seseorang yang mengisi bayangan siang dan malamnya. Yang diam-diam selalu Alyssa harapkan, agar suatu saat nanti, Tuhan berbaik hati mempertemukan mereka kembali. Walau hanya sekejap, walau pertemuan mereka berlangsung tanpa Alyssa sadari.
Kalimat dalam kertas itu terlintas di otaknya. Ya, Raka tak mengingkari janjinya. Sekali lagi, musim gugur mempertemukan mereka kembali. Kali ini bukan di Quebec, tapi di tempat yang menjamin mereka bisa bersama selamanya.
“Saya benar-benar datang seperti sebuah kebetulan, bukan?” Kalimat itu meluncur dari bibir Raka, diiringi kekehan manis pemuda itu. Sungguh, Tuhan begitu indah menyiapkan kejutan untuk lembar hidupnya. Gadis itu terkekeh kecil seraya berkata lirih, “tapi ini bukan Quebec atau negara dengan musim gugur sungguhan, Tuan Raka.” Candanya dengan suara parau.
Raka tersenyum, menatap suasana di sekeliling mereka dengan mata berbinar. “Saya tak mengatakan harus musim gugur sungguhan, Alyssa. Selama itu musim gugur, saya bisa muncul di sana. Tak peduli imitasi atau apapun itu.” Sahutnya santai. Diiringi dengan tawa kecil hangat yang begitu familiar seperti lima tahun lalu. “Jadi, janji saya tuntas, bukan?” Alyssa tertawa, menghapus air mata di sudut matanya. Mengangguk.
Terima kasih musim gugur, untuk semuanya…
Cerpen Karangan: Rie Fallia Blog / Facebook: Shabrina Zalfa Amalia Terlahir dengan nama lengkap Shabrina Zalfa Amalia pada tanggal 27 Maret 2004. Remaja asli Kota Pahlawan ini sudah melekat dengan dunia sastra semenjak SD. Hanya saja, baru produktif menulis di akhir kisah masa SMA-nya. Sangat terbuka bagi siapapun yang mengetuk akun instagram nya di @shn_zhee131.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com