Kata orang, mawar putih itu simbol ketulusan, kesucian, kemurnian, spiritualitas, dan simpati. Mawar putih juga mempunyai makna yang mirip dengan mawar merah, yaitu simbol cinta sejati. Oleh karena itu, mawar putih sering digunakan pada acara pernikahan. Disana, dia merepresentasikan kebajikan, persatuan, dan ikatan cinta suci. Aku pernah mendapatkannya jauh belasan tahun yang lalu. Setangkai mawar putih segar dan harum yang sepertinya baru saja dipetik beberapa menit sebelum sampai ke tanganku. Itu adalah mawar putih pertama yang orang lain berikan untukku, dan sampai saat ini masih menjadi satu-satunya karena memang belum ada lagi yang memberikannya.
“Bu Maryam, gambar Dita udah dinilai belum?”
Sebuah suara lagi-lagi mengejutkanku. Sumbernya berasal dari seorang gadis mungil berusia enam tahun yang menghampiriku untuk melihat nilai yang kuberikan pada hasil karya di buku gambarnya. “Eh, iya sudah. Ini punya Dita” Kemudian aku berikan buku gambar yang sedari tadi kugenggam itu padanya dengan jari telunjukku menunjuk pada sebuah gambar bunga mawar putih hasil karyanya. “Tuh, Ibu kasih nilai 90 loh. Gambar kamu bagus banget. Hebat!” Seutas senyum tersimpul di bibir Dita, muridku yang mungil dan cantik itu. “Makasih, Bu guru.” Lalu dia membalikkan badannya dan melangkah menuju mejanya. “Sudah berapa kali aku melamun?” Pikirku.
Siang ini, aku menugaskan murid-muridku untuk menggambar benda apa pun yang mereka senangi. Tak kusangka, mereka sangat antusias dan semangat dalam mengerjakannya. Memang, beberapa hari belakangan ini mereka sedang senang menggambar. Terbukti saat melihat hasil karya mereka, aku dibuat terpana. Ada yang menggambar bandana, smart phone, kamera, sepatu, semangka, kue lapis, sampai pohon mangga. Namun, gambar yang paling mencuri perhatianku adalah gambar mawar putih hasil karya Dita. Aku tidak tahu pengalaman apa yang membuat Dita menggambar bunga itu, tapi itu lah yang dia gores di atas lembar putih buku gambarnya. Apakah sama dengan pengalamanku belasan tahun lalu itu?
Setelah seluruh hasil karya murid-muridku diberi nilai dan apresiasi di depan kelas, aku memimpin mereka untuk berdoa setelah selesai belajar. Kemudian, mereka pun berbaris untuk menyalamiku dan pulang ke rumah masing-masing. Setelah semua muridku keluar kelas, aku duduk terpaku di bangkuku sembari menatap sebuah kursi kecil berwarna hijau yang ada di pojok barisan ketiga dari hadapanku.
Dulu sekitar 16 tahun yang lalu, di posisi yang serupa dengan kursi yang sedang kutatap itu, seorang anak laki-laki berlari dari luar kelas dan menghampiriku. Lalu dengan wajah lugunya, dia memberikan setangkai mawar putih yang langsung kuterima dan dia pun berlari lagi keluar kelas. Saat itu, aku sedang duduk terdiam menatap segerombolan anak-anak yang sedang bermain diluar kelas. Kursi kecil yang kududuki aku putar ke belakang agar aku lebih nyaman dan bisa bersandar.
Nama anak laki-laki itu Ammar, salah satu teman sekelasku. Setahuku, dia anak yang lincah dan selalu terlihat ceria. Namun, aku tidak begitu akrab dengannya karena biasanya aku bermain dengan teman-teman perempuan. Aku pun tidak tahu mengapa saat itu Ammar memberikanku mawar putih. Yang aku tahu hanyalah perasaan senang saat aku menggenggam mawar putih itu sembari terus mencium wanginya.
Lulus dari TK, aku tidak pernah bertemu Ammar dan teman kelasku yang lain. Kami berpencar di sekolah-sekolah dasar dan tidak ada komunikasi apa pun setelah itu. Usiaku saat itu pun masih terlalu dini untuk bisa berinisiatif mendata ke sekolah mana sajakah teman-temanku. Bahkan sampai sekarang aku hanya bisa mengingat beberapa nama dari mereka; Ammar, anak laki-laki yang memberikanku mawar putih itu, Devi dan Hilda, teman akrabku, Deni, ketua kelasku saat itu, dan Billa, anak perempuan yang sering meminjam pensilku.
Tersadar dari lamunanku yang entah keberapa kalinya, aku segera merapikan barang-barang di atas mejaku lalu memasukkan beberapa darinya ke tas jinjing milikku. Kemudian, aku bergegas menuju keluar kelas setelah melihat jam di kelasku yang menunjukkan waktu pukul setengah dua belas siang.
“Loh, udah mau pulang, Bu?” Tanya Bu Anita, rekan kerjaku yang melintas di depan ruang kelasku. “Iya, Bu, saya izin pulang lebih awal karena Ayah saya pulang ke Indonesia siang ini.” Jawabku dengan nada ceria. Betapa tidak? Ayahku yang sudah 20 tahun bekerja di Malaysia akan segera pulang ke rumah usai mengurus segala keperluan pensiunnya. “Wah, ikut senang ya, Bu. Ati-ati di jalan, Bu.” Ujar Bu Anita lalu melambaikan tangan kanannya dan berjalan mendahuluiku.
Sejak umurku tiga tahun, Ayahku sudah mulai bekerja di negeri seberang, tepatnya di Sabah, Malaysia. Sejak saat itu, keluargaku bisa berkumpul dengan lengkap hanya di liburan Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya, hanya ada aku, Ibu, dan kakak laki-lakiku Mas Rian. Meski begitu, kami tidak pernah hilang komunikasi dengan Ayah. Hampir setiap malam Ayah melakukan panggilan video dengan kami untuk menanyakan kabar, apa saja yang kami lakukan hari itu, bagaimana nilai sekolahku dan Mas Rian, sampai nasihat-nasihat kehidupan. Jadi, walau pun kami menjalani hubungan jarak jauh dengan Ayah, tapi kami tidak pernah merasa kurang perhatian dan kasih sayang darinya. Itu lah yang aku cintai dari keluargaku ini; kasih sayang dan kebersamaan, tak peduli betapa jauh pun jarak yang membentang.
Sesampainya aku di depan gerbang rumah, terlihat pintu rumahku terbuka lebar dan terdengar juga tawa renyah orang-orang yang ada di dalamnya. “Pasti Ayah udah sampai.” Ujarku dalam hati. Aku pun semakin mempercepat langkahku menuju rumah.
“Assalamualaikum.” Ucapku yang benar saja langsung disambut tatapan rindu dan senyum merekah dari Ayahku yang sedang duduk di sofa sambil mengaduk segelas kopi di tangannya. “Waalaikumusalam. Wah ini dia yang Ayah tungguin dari tadi. Sehat, Nak?” Ayahku segera menaruh kopinya di meja dan bangkit untuk memelukku. “Alhamdulillah sehat. Aku sampai gak bisa berkata apa-apa lagi saking kangennya sama Ayah.” “Udah gak perlu diutarain, sini duduk. Ayah bawain roti kaya yang banyak buat kita semua.” Setelah itu, yang terjadi adalah perbincangan hangat dan panjang dari keluarga yang sudah lama tidak berkumpul, ditemani oleh dua gelas besar sirup jeruk dan belasan roti kaya.
Malam harinya, saat aku dan keluargaku sedang bersantai di ruang tengah sambil menonton acara televisi, tiba-tiba Ayahku berkata padaku,
“Dek, gimana anak-anak di TK?” “Lagi pada seneng ngegambar, Yah. Dari kemarin maunya di kasih tugas menggambar terus. Gambarnya juga bagus-bagus. Aku aja sampai gak nyangka mereka bisa ngegambar sebagus itu.” “Hebat. Kamu seneng ngajar disana?” “Seneng banget malah. Aku kan jadi belajar ngontrol anak-anak. Awalnya emang kewalahan banget, tapi akhirnya bisa nemuin strategi ampuh.” Jawabku setengah tertawa mengingat tingkah murid-muridku. “Bener itu, kamu juga jadi semakin dewasa. Berapa umur kamu sekarang?” “Tahun ini 24, Yah.” “Anak gadis Ayah ternyata udah 24, ya. Padahal baru kemarin Ayah ajak lari-larian di Lapangan Banteng.” “Iya juga ya, Yah. Sekarang anak-anak orang yang ngajak aku lari-larian di TK.”
Tak lama kemudian, ekspresi wajah Ayah berubah menjadi lebih serius. “Dek, beberapa minggu lalu, ada laki-laki yang nelepon Ayah. Katanya dia suka sama kamu. Insya Allah lusa dia mau kesini.” Mendengar ucapan Ayah membuatku mengerutkan kedua alisku. “Siapa, Yah? Terus mau ngapain dia kesini?” “Namanya Amir, anak temennya Ayah di Malaysia. Ya buat ngelamar kamu.” Kini bukan hanya kedua alisku saja yang mengerut, tapi seluruh dahiku. “Tapi kan aku gak kenal dia, Yah.” “Ya makanya dia mau kesini kan biar kamu kenal.” Kulihat Ibuku hanya mesem-mesem di ujung sofa sana. “Tapi kan gak langsung ngelamar juga, Yah. Masa dadakan banget.” Mendengar obrolanku dengan Ayah, Mas Rian pun ikut bersuara, “Bukannya perempuan punya hak buat milih calonnya, Yah?” “Iya, Maryam punya hak kok. Tapi siapa tahu ini yang bakalan dia pilih.” Ujar Ayahku lalu tersenyum penuh arti ke arahku, sedangkan kerutan-kerutan di dahiku sama sekali belum terurai.
Malam ini rasa kantuk tidak menghampiriku. Ralat. Bukan rasa kantuk yang tidak menghampiriku, namun otakku lah yang mengusir rasa kantuk itu tiap kali dia datang. Pikiranku terus mengulang perbicangan antara aku dan Ayahku tadi. Mendadak sekali bukan, apa yang dibicarakan Ayahku itu? Sesuatu yang tidak pernah kuduga akan terjadi secepat ini. Aku tahu usiaku sudah memasuki masa dewasa dimana merupakan usia yang ideal untuk menikah. Teman-temanku saja banyak yang sudah mendahuluiku dalam urusan ini. Aku pun tidak memungkiri bahwa aku menginginkan seorang laki-laki yang akan meminangku. Tapi aku tidak mengira lelaki itu cepat sekali datangnya. Ini masih hari Rabu dan dia akan datang lusa yang berarti hari Jumat. Amir. Aku sama sekali tidak mengenal nama itu. Siapa kah dia? Apa benar dia mengenalku? Ayah bilang dia menyukaiku, apakah itu berarti dia mengenalku?
Seketika bayang-bayang mawar putih terlintas di pikiranku. Jujur, sampai detik ini aku masih berharap untuk bisa dipertemukan kembali dengan Ammar. Mawar putih pertamaku, dan masih satu-satunya. Dan aku pun masih berharap dia akan datang menghampiriku untuk memberikanku mawar putih kedua, lalu ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya sampai tangan-tangan baik yang memberi mau pun yang menerima mawar putih itu akan berkeriput. Itu semua hanya untukku dan hanya milikku. Mengapa bukan Ammar yang akan datang ke rumahku lusa? Kalau dia yang datang, pasti aku sudah menyanggupi lamaran itu meski dia belum mengucapkannya. Ya, aku memang menginginkan dia.
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku membalikkan badanku ke arah kanan. Perlahan, aku merasakan kantuk yang sedari tadi kuusir. Aku pun mulai mencoba memejamkan mata, namun segera sadar kembali saat teringat perkataan Mas Rian, “Bukannya perempuan punya hak buat milih calonnya?”
Pagi harinya, aku bangun dengan mata yang terasa begitu berat. Ya ampun, semalam aku hanya tidur selama kurang dari lima jam. Biasanya, kalau aku kurang tidur di malam hari, aku akan mudah merasa pusing saat mengajar. Terlebih, aku akan banyak diam untuk menjaga diriku tetap kuat mengajar yang justru itu membuat murid-muridku khawatir denganku. “Ibu kenapa? Kok diem terus?” “Bu guru hari ini gak seru. Ibu lagi sakit ya, Bu?” “Ibu pusing lagi, ya?” adalah ucapan yang biasanya terlontar dari murid-muridku tiap kali mereka merasa bahwa hari itu aku agak berbeda dari biasanya. Tapi hari ini aku harus lebih kuat. Aku sangat menyayangi murid-muridku di sekolah itu. Oleh karena itu, aku ambil segala amunisi yang bisa membantuku menangkal rasa pusing yang kemungkinan besar akan menyerangku di sekolah nanti, baru lah aku berangkat menuju sekolah tempat murid-murid kesayanganku itu menungguku di taman bermain untuk bermain denganku sebelum bel masuk berdering.
Benar saja, ternyata keinginan yang kuat itu bisa terwujud. Walau pun beberapa kali aku merasa pusing di kelas, tapi aku bisa menangkalnya hanya dengan memerhatikan murid-muridku yang berlarian sambil tertawa di kelas. Oh, jadi mereka lah obatnya.
Tiba di rumah, Ibuku sedang memasak sayur kangkung dan tempe orek. Aku membantunya sebentar sebelum pergi mandi dan berganti pakaian. Ibu berkata bahwa aku harus mempersiapkan diriku untuk besok saat anak dari teman Ayahku itu datang. Namun aku berpikir, hal apa yang harus kusiapkan? Pakaian? Rangkaian kata? Atau apa? Hmmm, mungkin yang dimaksud ibuku adalah mental. Karena ini akan menjadi pertama kalinya seorang laki-laki yang katanya menyukaiku datang ke rumahku. Jadi, aku memang harus menyiapkan mental yang kuat agar segala ucapan dan tindakanku besok akan baik, apa pun keputusanku atas lamaran laki-laki itu nanti.
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Facebook: Risya Nurcholis Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.