Malam harinya saat aku duduk termenung di atas tempat tidurku, Mas Rian mengetuk pintu kamarku. Aku pun bergegas bangun untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka, Mas Rian sudah berdiri di depanku. Sepertinya dia baru saja pulang dari kantor karena masih memakai kemeja dan mengalungkan kartu pegawainya.
“Dek, jangan terlalu dipikirin ya. Istirahat. Mas tahu semalem kamu gak tidur, kan?” Tanyanya sambil membuka kancing lengan kemejanya. “Tidur, kok.” “Iya tapi sebentar. Udah, malem ini kamu tidur yang cukup. Inget, jangan terlalu dipikirin perkara besok. Kamu kan punya hak.” Mas Rian mengelus kepalaku lalu beranjak pergi.
Aku pun menutup pintu kamarku dan kembali ke tempat tidur untuk membaringkan tubuh. Disana, hanya ada aku dan Dephi, boneka beruangku. Kuambil boneka itu lalu kutatap matanya, seolah aku sedang menatap seorang teman,
“Deph, apa pun keputusanku besok, dukung aku ya.” Lalu kupeluk Dephi dengan sangat erat. Aku harus segera tidur. Semoga besok akan terjadi hal yang baik.
Pagi di hari Jumat, aku melakukan aktivitasku seperti biasa. Hanya saja hari ini aku tidak berangkat mengajar ke sekolah karena hari ini tanggal merah. Wah, ternyata laki-laki yang disebutkan Ayahku itu memang tepat ya mengambil hari ini sebagai hari kedatangannya. Dari jendela kamarku, aku melihat awan nimbostratus menutup cahaya matahari pagi dan menumpahkan rintik-rintik hujan. Dari yang hanya rintik-rintik lalu menjadi hujan yang cukup deras pagi itu. Aku beranjak dari kamarku menuju pintu keluar rumah yang sudah terbuka. Sampai di teras rumah, aku duduk di sebuah kursi kayu yang menjadi tempat favorit Ayahku meminum teh di pagi hari. Namun karena pagi ini hujan, Ayahku pindah ke ruang tengah. Ah, aroma petrikor yang aku sukai mulai merasuki hidungku dan membuatku memejamkan mata untuk semakin menikmatinya. Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Kalau hari ini hujan, apa kah laki-laki itu akan membatalkan kunjungannya kesini?” Ujarku dalam hati yang lalu membuatku membuka mata.
Tak lama kemudian, ekor mata kiriku menangkap sebuah bayangan seseorang yang sedang berlari di tengah hujan yang mengguyur wilayah rumahku dan sekitarnya. Segera aku menoleh ke arah datangnya bayangan itu. Terlihat olehku sesosok laki-laki yang memakai jas hujan berwarna hitam sedang berlari kecil. Salah satu tangannya memegang sebuah bungkusan yang dia gunakan sebagai pelindung tambahan untuk kepalanya. “Jangan-jangan lelaki itu…” Ujarku dalam hati.
Benar saja, laki-laki itu menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang rumahku lalu mengangkat kepalanya yang sedari tadi dia tundukkan. Pandangan matanya menemukanku. Aku bergegas mengambil payung yang menggantung di jemuran sebelah kananku dan langsung membukakan gerbang itu untuknya. Setelah gerbang itu terbuka, aku ingin melihat rupa laki-laki yang datang itu. Wajah laki-laki itu tampak tersamari rintikan hujan disekitarku. Namun dari situ aku bisa sedikit melihat wajah oval dengan alis yang cukup tebal yang membingkai sepasang mata bulat dengan bola kecoklatan ditengahnya. Sekilas mataku melihatnya, aku teringat akan seseorang yang rasanya aku kenali. Meski pun aku tidak begitu mengingat bagaimana perawakannya, tapi sekali lagi wajah itu terlihat seperti…
“Ammar?” Akhirnya nama itu terlontar dari mulutku. Laki-laki itu terlihat terkejut namun sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya, “Bukan. Saya bukan Ammar.” Ujarnya yang langsung melangkah masuk dan mendahuluiku menuju rumahku.
Aku masih terpaku di gerbang itu. Melihat wajah laki-laki itu tadi langsung membuatku mengingat sosok Ammar dengan mawar putihnya. Tapi laki-laki itu mengaku bahwa dia bukan lah Ammar. Lalu siapa?
Aku mengikuti jejak laki-laki itu untuk melangkah menuju rumahku. Sesampainya di dalam, Ayahku sedang memberikan sebuah handuk ke laki-laki itu untuk mengeringkan rambutnya. Ibu pun datang membawakan nampan berisi teh hangat dan beberapa cemilan. Melihat kedatanganku, Ayah dengan girang langsung berkata, “Maryam, sini, Nak.”
Laki-laki itu berhenti sejenak untuk menyunggingkan senyumnya padaku. Aku mengambil tempat duduk di ujung sofa bersama Ibuku. Tak lama kemudian, Ayahku duduk di sofa sebrang aku dan Ibuku, diikuti oleh laki-laki itu yang kini telah sedikit lebih rapi usai mengeringkan rambutnya.
Setelah kami berempat duduk berhadapan, laki-laki itu membuka percakapan, “Assalamualaikum, Bapak, Ibu, Maryam. Saya Amir Dwika Putra, datang kesini ingin melakukan pengenalan dengan putri Pak Bayu, Maryam.”
Jadi laki-laki ini benar-benar bukan Ammar? Tapi mengapa aku terus mengira dia adalah Ammar? Dan apakah dia benar-benar datang untuk melamarku?
“Jika Maryam berkenan.” Tambahnya. “Apa yang membuat kamu milih aku? Padahal ini pertama kalinya kita ketemu.” Oh, tidak. Apakah pertanyaanku ini membuatnya tersinggung? Tapi aku sangat ingin tahu tentang alasan dibalik kedatangannya yang bagiku sangat mendadak ini. Pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan yang mengarah pada kejelasan tentang benarkah laki-laki itu Amir dan bukan Ammar?
“Mungkin yang kamu tahu, ini pertemuan pertama kita. Tapi yang aku ingat, kita pernah ketemu 16 tahun lalu.” Jawabannya membuatku terkejut. “16 tahun lalu? Dimana? Aku sama sekali gak ingat.” Amir membenarkan posisi duduknya, “Di TK Rania. Aku lagi nganter bekal makanan adikku yang tertukar dengan punyaku. Waktu aku manggil-manggil adikku dari luar kelas, aku lihat ada anak perempuan yang lagi duduk menghadap keluar kelas. Dia cuma ngeliatin temen-temennya yang lagi main sambil senyum-senyum. Dan justru pemandangan itu yang paling menarik diantara pemandangan lain yang terjadi di TK itu.”
Keterkejutanku bertambah. Anak perempuan yang Amir lihat adalah aku. Aku lah anak perempuan yang sedang duduk menghadap keluar kelas sembari memerhatikan teman-temanku yang sedang bermain di luar kelas. Itu adalah aku.
Lalu Amir melanjutkan penjelasannya, “Rasanya aku ingin sekali kenalan sama kamu. Tapi aku malu. Terus aku lihat tanaman mawar putih di rumah persis di depan TK itu, aku pergi kesana buat minta satu tangkai mawar itu ke Bapak pemilik rumahnya. Dia ramah banget dan mau kasih aku mawar itu. Abis dapet mawar itu, aku lari lagi ke depan kelas kamu dan manggil-manggil adikku. Aku minta dia kasih mawar putihnya ke kamu.”
Kali ini aku bukan hanya terkejut. Jantungku berdegup sangat kencang dan cepat. Setelah cukup heran dengan kedatangan laki-laki itu yang sangat mendadak, sekarang dia menampakkan fakta yang bagiku sangat mengejutkan. Dan aku belum siap menerimanya.
“Jadi, itu kamu?” Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan. Selebihnya, aku masih terus berusaha mengontrol detak jantungku yang tidak karuan ini. “Iya, itu dari aku.” Jawabnya. “Ammar itu adik kamu? Dimana dia sekarang?” Entah mengapa Ammar masih menjadi sosok dibalik kalutnya pikiranku saat ini. “Dia sekarang tinggal di Semarang sama istrinya. Nikah tahun kemarin.” Sebuah ledakan besar terjadi dalam hatiku setelah mendengar penuturan Amir mengenai Ammar. Perlahan, rasa sakit menjalari dadaku hingga ke kepalaku yang memang sudah penuh dengan kekalutan itu.
Mas Rian datang dan bergabung dengan kami di ruang tamu. Dia bersalaman dan berpelukan dengan Amir disertai dengan tawa kecil seolah sedang bertemu dengan teman lama. Ayah dan Ibuku tampak santai, sesekali mereka menyesap teh hangat yang sudah disiapkan di atas meja. Sementara aku masih mencari benang merah atas semua fakta besar yang baru aku ketahui hari ini. Kemudian, suara Mas Rian yang sudah duduk di sebelah Amir itu kembali mengejutkanku,
“Dek, Amir ini sebenernya temen Mas dari SMA. Pas tahu kalau kamu itu adik Mas, dia langsung nanya-nanya tentang kamu. Ya begitu lah yang terjadi sampe sekarang ini. Cuma Mas gak cerita aja ke kamu, abis dia selalu bilang gak usah kasih tahu kamu kalau dia nanya-nanya tentang kamu. Nanti dia yang bakalan dateng kesini.” Tubuhku semakin lemas. Jadi selama ini Mas Rian tahu? “Sebenernya aku mau datang kesini tiga tahun lalu. Tapi karena aku harus kuliah S2 di Malaysia, jadi aku tunda. Tahun ini aku udah lulus, jadi aku langsung kesini.” Ujar Amir.
Jadi kesimpulannya adalah, sebenarnya yang terjadi hari ini bukanlah suatu hal yang mendadak. Hanya saja aku yang tidak tahu apa yang telah direncanakan Amir, Ayahku, bahkan kakakku yang super nyebelin itu karena dia mengetahui semuanya tapi tidak menceritakannya padaku.
Tangan Amir bergerak mengambil sebuah bungkusan di samping kanan tubuhnya. Dengan berhati-hati, dia membuka plastik dan kertas yang melapisi benda di dalamnya. Saat bungkusan itu sudah terbuka dengan sempurna, tampak lah sebuah benda yang membuatku terpana. Setangkai mawar putih segar dalam kubah kaca yang sangat cantik. Tanpa kusadari, mataku membesar melihatnya. Sepertinya Amir menyadari ketakjubanku pada bunga dalam kaca itu, jadi dia segera meletakkannya di atas meja dan berkata,
“Maryam, mau kah kamu menjadi orang yang akan selalu menerima mawar putih ini? Jika kamu berkenan, aku ingin kamu menjadi istriku.”
Lamaran itu pada akhirnya terucap juga oleh Amir. Sontak, mataku yang sedari tadi sudah membesar itu melelehkan tetesan air mata di ujung-ujungnya. Aku menoleh ke arah Ayahku di sebrang sofa sana. Ayahku hanya mengangguk pelan dan tersenyum kecil. Aku menoleh ke arah Ibuku yang kedua tangannya memeluk pundakku. Ibuku pun hanya mengangguk pelan dan tersenyum kecil. Aku terdiam cukup lama. Bukannya perempuan punya hak untuk memilih calonnya?
“Iya, aku mau.” Dan akhirnya aku pun memutuskan untuk memilihnya. Aku ambil mawar putih dalam kaca itu dan aku pandangi dengan lekat. “Kamu lah yang selama ini aku impikan.” Ujarku dalam hati, dengan padangan yang tidak kulepas dari mawar putih itu.
-Hujan menceritakan satu kisah Kisah panjang yang tercurah Kebenaran telah menguar Penantian telah terbayar Betapa rumit pun kau memahaminya Betapa keras pun kau menyangkalnya Dia telah berada di hadapanmu Bahkan sebelum kau tahu-
Cerpen Karangan: Risya Nurcholis Facebook: Risya Nurcholis Saya adalah seorang penulis cerpen dan puisi. Karena berbicara lebih melelahkan dari pada menulis, jadi saya lebih suka bercerita lewat karya tulis.