Nyaris tak ada yang berubah. Desa kecil ini masih sama setelah kutinggalkan bertahun-tahun lamanya. Seperti napak tilas dari masa itu, akhirnya aku kembali dengan membawa sekelumit cerita yang baru tapi cerita lama masih tersimpan rapi, belum terkoyak bahkan masih sangat untuh. Ada orang-orang yang menyimpan dan mempertahankan kenangan dan di desa ini seolah-olah diperuntukan bagi orang-orang sepertiku.
Aku masih terus berjalan menuju arah Timur, tempat dimana aku tinggal semasa dulu. Menyusuri jalan setapak, melewati pohon mahoni, bunga kamboja yang tua dan beberapa pohon kelapa yang menjulang menantang langit.
Sama sekali tak banyak berubah, beberapa rumah saja yang dibangun dan aku masih ingat rumah yang dulu tempat kami bermain hanya saja rumah itu tampak menua dengan lumut di dindingnya.
Cuma berjarak beberapa dari rumah itu ada sebuah gereja kecil dengan pohon mahoni di depannya. Sekelebat bayangan kembali menghampiri menyeretku ke masa dulu. Masa di mana kami bermain engklek atau lompat tali di depan gereja. Gereja ini seperti buku sejarah yang menyimpan banyak cerita. Cerita tentang aku, tentang Jia Li dan cerita tentang kami.
Hari minggu adalah hari kebebasan bagi anak kampung macam kami. Lonceng gereja seperti alarm yang harus dipatuhi karena jika tidak maka Emak akan menyiram kami dengan air dingin yang membuat kami terjaga seketika. Percayalah, air di penggunungan tidak akan bisa hangat meskipun matahari sudah tepat di atas kepala. Kalau lonceng gereja sudah terdengar maka cepat-cepat aku menuju beranda hanya untuk mengintip orang-orang beribadah di gereja. Lebih tepatnya aku ingin melihat Jia Li, si gadis cantik cinta pertamaku.
Aku sudah berusia enam belas tahun ketika menyukai Jia Li. Gadis cantik keturunan Tionghoa dengan mata khasnya. Kulitnya sebening pualam dan bibirnya lebih indah dari mega sore di Pantai Utara. Dan jari-jemarinya adalah jari tercantik yang pernah kulihat di kampung kami. Jia Li adalah bunga terbaik di antara kebun bunga terbaik.
“Kau tengok tuh gadis-gadis, lupa kalau air untuk minum sudah habis,” kata emak seraya memukul kepalaku dengan centong nasi yang terbuat dari kayu, lalu sisa-sisa nasi itu melekat dengan ikhlasnya di helaian rambut.
Jia Li yang melihat kejadian ini tertawa geli sesekali menutupi tawanya dengan jemari lentiknya. Alamaak… cantik sekali dia. Jia Li yang cantik. Entah kali keberapa aku menyebut Jia Li itu cantik bahkan lebih cantik dari bunga di perkarangan yang ditanam emak.
Setiap hari minggu ia akan melewati depan rumah kami untuk berdoa di gereja yang terletak di sebelah rumah panggung kami. Jia Li kadang mengenakan gaun merah muda dengan sepatu hitam pantofel dan rambutnya yang ia biarkan tergerai. Tapi aku lebih menyukai Jia Li memakai gaun berwarna putih tulang dengan renda di ujung roknya dan rambut yang ia ikat rapi dan juga sepatu pantofelnya. Bagiku, Jia Li akan lebih cantik berkali-kali lipat dari biasanya. Wajah oval bisa aku pandangi lebih jelas dari biasanya.
“Masih saja kau berdiri di situ! Cepat ambil air di pancur, akan kumasak umbut nyiur yang ditebang abahmu kemarin sore,” perintah emak.
Kalau sudah begini aku akan nyengir tidak karuan karena malu pada Jia Li.
Sambil membawa wadah air yang terbuat dari bambu aku turun. Puji-pujian dari gereja terdengar merdu apalagi aku tahu bahwa salah satu penyanyinya adalah Jia Li.
Kisahku dan Jia Li hanya sampai pada saling menatap, saling senyum dan saling menertawakan satu sama lain. Tidak ada perkembangannya layaknya kisah cinta anak remaja seusia kami zaman dulu. Pernah sekali aku mencoba mengirim surat pada Jia Li, tapi surat itu tidak bisa kuselesaikan untuk Jia Li karena isinya hanya bertuliskan Jia Li yang cantik, tak pernah lebih. Setiap kali aku ingin menulis kata-kata yang lain tanganku seketika layu dan kembali pada kata-kata Jia Li yang cantik. Kemudian aku berpikir kenapa aku seperti itu, hingga suatu hari aku menemukan bahwa Jia Li terlalu sempurna diuraikan dengan kata-kata.
Pernah juga aku menyampaikan salam lewat temanku, Mahmud. Tapi rupanya Mahmud diam-diam menyukai Jia Li pula sampai-sampai ia mengubah namanya menjadi Ah Feng. Katanya biar terdengar serumpun dengan Jia Li. Nama Jia Li dan Ah Feng tidak terlalu buruk memang. Tapi jika Ah Feng disandingkan dengan Jia Li maka kau akan teringat pada cerita Tuan Putri dan Pelayannya. Memang tak ada yang bisa sembarangan orang bisa duduk bersanding dengan Jia Li. Bahkan sesekali aku berpikir aku pun rasanya tidak mungkin bisa bersanding pada Jia Li.
Aku adalah orang melayu asli. Silsilah keluarga kami sama sekali tidak ada sedikit pun campuran dari suku atau rumpun manapun. Kakekku adalah putra bungsu dari kakek poyang pendiri kampung kami yang memiliki gelar Datok artinya kakekku memiliki gelar bangsawan melayu secara langsung dan asalnya pun dari semenanjung Malaka. Tentu saja secara adat kami memiliki kedudukan yang cukup tinggi di tengah masyarakat terlebih Abahku juga menjabat sebagai ketua kampung yang kental dan paham benar mengenai seluk beluk adat melayu dan keislamannya.
Abahku tidak pernah tahu kalau aku menyukai Jia Li sedangkan emak terus memperingatkanku perihal Jia Li.
“Kalau kau terus memandangi gadis itu kau bisa ketahuan abahmu,” ucap emak sambil mengiris umbut nyiur. Mendengar ucapan emak aku hanya mengangguk pelan sambil menggigiti umbut yang rasanya manis dan gurih.
Selalu seperti itu sampai pada waktu itu, tepatnya di akhir bulan dzulqa’dah, aku memberikan surat untuk Jia Li yang hanya berisikan kata ‘Jia Li kau cantik sekali’ yang sudah kusimpan dan kutulis dengan perjuangan. Dan rupanya ia membalasnya pada potongan kertas dan bertuliskan Terima Kasih dan balik kertas itu berisikan lirik lagu Rohani yang biasa ia nyanyikan pada hari minggu di gereja.
Kisah aku dan Jia Li tak pernah lagi bisa berlanjut sebab Abah akhirnya tahu tentang aku dan Jia Li sampai-sampai ia tidak akan membiarkan aku bertemu pada Jia Li-ku yang cantik.
Kata Abah, aku dan Jia Li tidak akan pernah bisa bersatu. Kami berbeda, terlalu berbeda bahkan semuanya berbeda. Jia Li dengan kulitnya putih bersih sebening mata air sedangkan kulitku cokelat sebagaimana kulit orang melayu. Mata Jia Li kecil jika ia tersenyum makan mata itu akan membentuk garis lengkungan seperti bulan sabit sedangkan mataku besar dan tajam. Jia Li bukan dari golongan melayu asli sebagaimana silsilah keluarga kami yang dijaga secara turun menurun hingga kini oleh Abah. Dan satu hal lagi, mungkin inilah hal yang paling tidak bisa ditolerir oleh Abah yaitu keyakinan antara aku dan Jia Li berbeda dan Abah tidak akan pernah bisa memaklumimya.
Abah marah besar saat ia tahu bahwa aku menjalin hubungan dengan Jia Li. Bahkan dengan cepat ia ingin menjodohkan aku pada Nurma, anak dari Kyai Harun, salah satu tokoh agama di kampung kami. “Mana mungkin bisa kau berhubungan dengan orang yang berbeda dengan kita? Bukan hanya ras yang beda tapi ini masalah keyakinan yang kau pertaruhkan. Ini masalah Tuhan, masalah hidup dan mati, masalah dunia dan akhirat,” ucap Abah geram. Bahkan Makcikku pun sampai menangis melihat Abah naik pitam, karena memang hal ini baru pertama kali terjadi di keluarga kami.
“Kau lihat nak! Meskipun rumah kita di samping gereja tapi bukan itu tempat kita tapi di masjid yang ada di seberang jalan. Jadi, meskipun masjid itu jauh tapi di sanalah kita berada dan memang sudah seharusnya,” imbuh Abah sama geramnya.
Aku diam.
Bisik-bisik tetangga pun sudah kudengar di pagi buta kalau aku menyukai gadis Tionghoa. Belum lagi keributan ini makin menjadi ketika aku tidak mau melepaskan Jia Li begitu pun Jia Li tidak mau berpisah denganku meskipun keluarganya menentang keras pula.
Berminggu-minggu kemudian aku tidak melihat Jia Li lewat di depan rumah untuk ke gereja. Pujian itu masih kudengar tapi ada yang kurang karena tidak ada suara Jia Li di sana. Bahkan aku terus mengintip dibalik sela dinding kayu kamarku tapi tentu saja, tidak kutemukan lagi Jia Li-ku tersayang.
Jia Li ku menghilang membawa separuh cinta pertamaku. Kata Ah Feng, orangtua Jia Li juga tidak merestui kami sama besarnya saat Abah tidak memberi restu pada cintaku dan Jia Li. Aku berpikir, kenapa kami tidak bisa disatukan hanya sebuah perbedaan. Bukankah pelangi menjadi pujaan karena ia terlukis karena bukan satu warna.
Tahun berlalu begitu lambat. Jia Li benar-benar menghilang tanpa kabar, tak ada surat apalagi pesan. Kisah cinta pertamaku menghilang meski ia masih membekas. Kidung pujian masih kudengar setiap hari di Gereja samping rumah terlebih bila hari natal tiba. Dan aku masih dan akan selalu berjalan ke masjid di seberangnya, mengumandangkan nama Tuhan dan kebesarannya. Tapi Jia Li dan aku tetap tak jumpa. Kabar terakhir yang kuterima dari Ah Feng, ia telah dikirimkan oleh ayahnya ke Jakarta.
Kisah kami berakhir di sana.
Kini aku kembali ke desa ini. Bersamaan dengan kisah yang tak pernah kulupa dengan Jia Li. Aku masih mengingat Jia Li makanya aku masih menatap gereja itu dengan bayangan wajah Jia li muda tersenyum dengan manisnya.
Burung gereja masih bertengger di atap gereja, entah sudah generasi ke berapa burung gereja itu tetap saja warnanya masih sama. Mungkin inilah yang ingin abah dan orangtua Jia Li sampaikan kepada kami. Kami tidak akan pernah berubah jika kami berasal dari warna yang sama. Aku tersenyum lalu memutar badanku ke arah masjid kebanggaanku yang masih berdiri dengan berani sampai tangan kecil menyentuh jariku tiba-tiba.
“Ayah, ayo ke rumah nenek,” ucap anak semata wayangku yang masih berumur tujuh tahun.
Aku tertunduk dan memandangi wajahnya. Putriku dengan kulitnya putih dan matanya yang kecil apabila ia tersenyum, matanya akan membentuk garis lengkung seperti bulan sabit sama persis dengan Jia Li masih muda.
Iya, putri kecil mirip sekali dengan cinta pertamaku, Jia Li.
Cerpen Karangan: Lapia Kunchay