Gina memekik senang ketika atasannya mengabarkan bahwa kliennya meminta bertemu untuk membicarakan kerja sama mereka. Dan Gina, ditunjuk untuk menemui mereka di Kafe Panorama satu jam lagi.
Segala berkas ia persiapkan tanpa ada yang terlewat. Kesan pertama berhadapan dengan kliennya harus bagus. Ia pun merapikan riasannya agar tidak membuat perusahaannya malu-malu amat memiliki dirinya yang begitu sederhana dari segi penampilan.
Jelas, di dalam pekerjaan, penampilan bisa dibilang hal utama yang sangat diperhatikan setelah isi otak.
Setelah memastikan pakaiannya rapi, bibirnya terisi lipstik ombre dengan baik, rambutnya juga rapi, baru ia melangkah pergi meninggalkan area perusahaan. Ia ditemani teman satu divisinya, Rikha.
Mereka datang 30 menit sebelum kliennya datang. Mereka berdua harus memberikan kesan yang baik dengan tidak membiarkan mereka lebih dulu hadir dan menunggu lebih lama.
Cukup lama mereka menanti, tapi obrolan ngalor-ngidul membuat mereka berdua tak merasa bosan. Apalagi ketika Rikha bercerita tentang mantannya yang tiba-tiba minta balikan setelah Rikha lebih dulu diputuskan hubungannya. Ah benar-benar, ya, laki-laki. Kalau sudah tahu mantan lebih glowing, pasti minta balikan!
Tunggu punya tunggu, akhirnya klien yang mereka tunggu akhirnya tiba. Gina dan Rikha berdiri untuk menyambut tamunya. Namun, ketika seorang laki-laki dari klien itu mendongak, seketika tubuh Gina membeku.
Apakah ia tidak salah melihat? Klien yang sedari tadi ia tunggu ternyata… Ari. Ari Azhari. Mata mereka saling mengunci seiring langkah laki-laki itu menjadi pelan. Mata Gina mulai berkaca-kaca, sedari tadi tangannya sudah mengepal kuat, jantungnya sudah berdetak tak beraturan.
Pertemuan ini benar-benar membuat Gina… bungkam.
Gina baru tersadar ketika Rikha menyenggol lengannya. Ia mencoba untuk biasa saja meskipun hatinya tidak baik-baik saja. Rikha yang lebih dulu menyapa klien di depan matanya dengan menjabat tangan mereka bergantian.
Ketika giliran Gina, ia memilih bersikap profesional. Menanyakan nama dan bertanya kabar. Dan jujur, itu membuat pria di depannya tersenyum kecut. Wanitanya—dulu—sudah berubah.
—
“Terima kasih Bu Gina, senang bisa bekerja sama dengan Anda,” ucapnya menjabat tangan dan beralih tersenyum ke arah Rikha. “Terima kasih Bu Rikha,” katanya ramah. Lalu diikuti Ari yang tidak mendapatkan ucapan, hanya anggukan kepala selebihnya mereka berpisah setelah klien mereka undur lebih dulu.
Gina dan Rikha pergi melipir ke toko pakaian. Enaknya bertemu klien diluar adalah bisa mendapat waktu sedikit untuk berjalan-jalan tipis-tipis. Karena rencana membeli baju sudah ia rencanakan jauh-jauh hari, dan hari ini baru bisa merealisasikannya. Ditemani Rikha, Gina benar-benar hanya membeli satu set pakaian kerja, karena setelah ini mereka masih memiliki pekerjaan menumpuk di kantor.
—
Sekitar pukul 17.00 WIB, Gina baru bisa bernafas lega. Pekerjaannya selesai akhirnya. Meskipun besok pasti akan ada lagi dan lagi, namanya juga pekerjaan, pasti tidak akan ada habisnya. Selama dia bekerja di perusahaan itu, maka selama itu pula ia harus mengerahkan semua tenaga dan pikirannya untuk bergelut dengan tanggung jawabnya.
Sepuluh menit Gina berdiam diri di kursi sembari meregangkan otot-otot tangan dan pundak yang seperti kaku karena sedari tadi diam menatap komputer tetapi tangannya enggan beranjak dari keyboard. Artinya, Gina benar-benar sibuk.
Setelah cukup nyaman, Gina beranjak pergi setelah menarik tas bahunya kemudian pergi meninggalkan ruangannya.
Langkah kakinya menuju lantai basement yang mulai sepi. Beberapa mobil sudah meninggalkan area basement, hanya tinggal mobil Gina dan 5 mobil lain tersisa.
Ketika dirinya hendak membuka pintu mobil, suara dalam seseorang membuat dia terkejut. “Gingin!” “ASTAGA!” Gina memegang dada. “Ngapain disini?” Tanyanya yang masih terkejut.
Ari, berdiri gagah dengan kunci mobil ditangannya. Gina mengernyit heran, kenapa bisa lelaki ini ada disini. Dan dari mana ia tahu perusahaannya. Dan tadi, apa Gina tak salah mendengar ketika lelaki itu memanggil namanya dengan sebutan ‘Gingin’. Itu adalah sebuah panggilan yang hanya dikhususkan untuk Ari. Artinya hanya Ari yang menggunakan nama itu untuk Gina.
Ah! Gina bingung sekaligus kesal. Ngapain dia masih berani menggunakan nama itu ketika memanggilnya.
Karena tidak ada sahutan dari laki-laki itu, Gina memutuskan untuk pergi. Tapi, lagi, suara Ari menahan pergerakannya. “Tunggu!” Cegahnya membuat Gina memutar bola matanya jengah. Gina mengedikkan dagu seolah bertanya, ‘ada apa?’
Satu hingga sepuluh detik Ari tak ada sahutan. Ia sedang merangkai kata apa yang pantas untuk ia ucapkan. Entah maaf atau apa. Yang pasti kata maaf pun seperti tidak ada artinya bagi Gina. Secara dari pertemuannya di Kafe tadi siang, Gina seperti malas untuk berinteraksi.
Lama-lama Gina kesal. Akhirnya ia membuka pintu mobil, namun lagi dan lagi Ari menahan hingga membuat pintu mobil tertutup lagi. “Aku capek. Mau istirahat. Bisa kamu minggir dari sini?” Tanyanya sinis. Ari seketika terpana dengan sikap Gina yang benar-benar sudah berubah. Sudah tidak ada lagi Gina yang lembut, Gina yang manja namun menggemaskan. Gara-gara kejadian menyakitkan itu, Gina berubah seratus persen.
“Nggak! Dengerin aku dulu, Gin. Aku harus jelaskan dan kamu harus dengerin!” Katanya dengan nafas memburu sambil mendekap bahu kiri kanan milik Gina.
Mendapat perlakuan seperti itu, Gina berontak. Ia melepaskan tangan Ari dengan rasa marah. Masih berani dia menyentuhnya setelah apa yang dia lakukan dulu? “Nggak usah pegang-pegang!” Peringatnya sambil mundur selangkah. Berdekatan dengan Ari seperti ini membuat ingatan dulu kembali lagi.
“Ok sorry, Gin.” Ari angkat tangan. Kemudian cerita masa lalu mengalir dari mulut Ari. Waktu itu hubungan mereka sudah sangat jauh. Selangkah lagi mereka akan berada pada titik sah sebagai suami istri. Hari-hari menuju hari sakral itu, Gina dikejutkan foto suaminya yang tengah tersenyum menatap layar kamera dengan bertelanjang dada. Foto-foto selanjutnya lebih mengejutkan lagi, Ari berpose mesra dengan seorang perempuan yang tak memakai sehelai benang pun.
Juga, sebuah video menjijikkan yang membuat Gina muak. Gina merasa ditipu dengan kebaikan Ari selama ini, laki-laki itu seolah polos padahal di belakangnya liar dan sudah main jauh dengan yang lain. Seolah cuci tangan sebelum makan, Gina merasa dirinya dijadikan tameng untuk menutupi aib Ari.
Seolah dikuasai setan, Gina terhasut. Matanya berkaca-kaca. Hatinya sakit bukan main. Acara pernikahannya seminggu lagi, dan kabar itu membuat pernikahannya terpaksa dibatalkan.
Semuanya hancur, setelah kejadian itu, sehari setelahnya Gina kabur ke luar negeri. Tidak ada yang tahu karena Gina dibantu sahabatnya yang memiliki kekuasaan. Tak peduli pekerjaan, tak peduli Ari, tak peduli keluarga, Gina pergi membawa luka yang menganga.
Disana ia melupakan semuanya. Teman-teman, keluarga, sahabat. Dia mengganti ponsel, mengganti nomor, menghapus semua foto, menghapus semua hal yang berhubungan dengan masa lalunya terutama Ari Azhari. Gina memulai hidup baru disana.
Berbeda dengan Ari, ia melalui hari-harinya yang sulit. Selain ditinggalkan Gina entah ke mana. Ari mengalami tekanan batin. Ya mau gimana, dia sama sekali tidak melakukan itu. Tapi sulit waktu itu untuk mencari bukti. Tentang siapa yang membuat skenario ini.
Setelah berjuang cukup lama, akhirnya semua fakta terungkap. Ari dijebak temannya karena dia merasa iri dan tak suka dengan keberhasilan asmara Ari dengan Gina. Perempuan itu menjadi incarannya dia tapi Gina lebih memilih Ari. Jadi ceritanya si yang fitnah merasa kalah dan tidak terima. Karena pikiran pendek, akhirnya mengalirlah rencana jahat di otaknya dan ia sukses membuat semuanya hancur.
Pelakunya sudah mendekam di penjara berikut antek-anteknya. Dan itu tak membuat Ari lega karena wanitanya tidak ada di sampingnya sama sekali.
Setelah mendengar cerita itu, Gina menghela nafas. “Sudah ceritanya?” Tanyanya dingin. “Aku mau pulang!”
Ari menatap Gina dengan memelas. Sebegitu bencinya Gina sampai dia merasa biasa saja setelah fakta yang baru saja Ari ungkapkan. Apakah Gina benar-benar sudah mati hatinya?
“Tidak kah kamu peduli dengan hubungan kita, Gin?” Tanya Ari terdengar putus asa. Gina menunduk lemah. “Tolong! Aku lelah!” Katanya lirih. Mendengar itu, akhirnya Ari bergeser “Aku antar!” Gina tak merespons karena suara Ari teredam suara pintu ditutup. Ari buru-buru pergi ke mobilnya, kemudian ia melajukan mobilnya mengikuti Gina yang sudah keluar basement.
Di dalam mobil, Gina membawa mobil dengan mata berlinang. Setiap kalimat per kalimat yang keluar dari mulut Ari cukup membuatnya terkejut. Karena fitnah itu hubungan mereka hancur, karena fitnah itu hari-hari Gina dipenuhi rasa sakit hati tak berujung. Gara-gara fitnah itu, Gina enggan untuk membuka hati lagi.
Gina semakin menangis ketika ia mengingat kebersamaannya dengan Ari. Masa-masa bahagia bersama Ari hadir kembali seperti sedang mendekatkan mereka agar kembali.
Ketika matanya tak sengaja melihat spion dalam juga luar, sebuah mobil yang ia kenal mengekor di belakang. Perasaannya semakin tak karuan, air matanya semakin deras. Ari benar-benar mengejar lagi cintanya yang dulu. Dengan kasar Gina mengusap wajahnya yang entah sudah seperti apa sekarang.
—
Setelah sampai di halaman rumah, Gina keluar mobil setelah memarkirkannya di garasi tanpa menoleh pada Ari yang menunggu di luar. Ia tak akan pergi sebelum Gina masuk ke dalam rumah. Begitu pun Gina, ia tak menoleh karena gengsi dong! Tadi dia marah-marah, masa sekarang seperti kasihan karena Ari tidak diajak masuk.
Akhirnya, Gina masuk tanpa beban. Membiarkan Ari di depan gerbang.
Sesampainya di kamar, Gina tidak langsung membersihkan badan. Melainkan melihat keluar jendela, apa Ari masih ada disana atau sudah pulang.
Ketika matanya menangkap sebuah mobil masih terparkir, ia menghembuskan nafas. Ari masih setia disana, tapi Gina tidak peduli. Pikirannya terlalu rumit untuk memikirkan kejadian tidak disangka hari ini. Ia memilih melangkah ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya yang terasa lengket.
Usai makan malam, gosok gigi dan skincare-an, akhirnya Gina bisa merebahkan tubuhnya di kasur empuk kesayangan. Sejak 3 tahun tidak ditempati karena ‘kabur’, akhirnya bisa kembali ke kamar ini.
Karena kantuk yang sudah menyerang sejak dari tadi, tanpa lama Gina sudah terlelap sambil memeluk guling.
Bersambung..
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ipeeh.h (instagram)