“Selamat pa—!” Belum lengkap menyapa semua orang, Gina dikejutkan dengan kehadiran seseorang.
Ari sudah duduk manis di meja makan tepat di samping kursi yang biasa Gina duduki, dan itu satu-satunya kursi kosong.
Apa-apaan ini? Kenapa Ari begitu santai duduk di meja makan sedangkan Gina mengingat kejadian dulu dimana keluarganya begitu membenci Ari. Apalagi Ayahnya.
“Duduk, Nak!” Perintah Ayah menunjuk satu kursi kosong di samping Ari yang tengah menatapnya dengan penuh rindu.
Gina pengen muntah ditatap begitu. Gina meminta penjelasan Ayah dan Bundanya, begitu kakak laki-lakinya yang terlihat santai. Dia juga termasuk yang mengutuk Ari habis-habisan kenapa sekarang jinak kayak kucing anggora?
Gina menatap kedua orangtuanya dengan tatapan banyak pertanyaan. ‘Sebenarnya ini ada apa?’ kurang lebih gitu.
Meskipun enggan, Gina akhirnya duduk di samping Ari. Tanpa menoleh ke arahnya, Gina mengambil roti tawar kemudian mengoleskan selai kacang di atasnya.
“Ri, ayo tambah lagi!” Kata Bunda dengan tersenyum manis. Sedangkan Ari mengangguk mengiyakan. “Iya Bunda.” Jawabnya. Seketika Gina menoleh dengan tatapan melotot. Apa tadi? Bunda? Sejak kapan Ari panggil Ibunya dengan sebutan Bunda? Sok akrab!
Gina mendelik, karena tak tahan akhirnya ia bertanya juga. “Sebenarnya ada apa sih, Bun? Sejak kapan dia akrab begitu sama keluarga? Kamu lagi Bang!” Gina menunjuk Ari kemudian menunjuk abangnya yang menahan tawa. “Sudahlah, Nak, sarapan dulu!” Kata Ayah melerai keributan yang Gina ciptakan. Gina menggeleng enggan. “Dulu Ayah benci sama dia loh, kenapa sekarang kelihatan beda sekali?” Gina masih mencari jawaban memuaskan. “Jelaskan!” Katanya dengan kesal.
“Begini Nak, Ari udah jelaskan semuanya kok. Dia klarifikasi di media kalau dia dijebak, difitnah sampe pernikahan kamu batal. Pelakunya udah ditahan. Dia sering kesini cuma buat nunggu kamu pulang, setiap hari. Kemarin aja dua minggu nggak kesini karena ada kamu dan baru kesini lagi ya hari ini.” Bunda menjelaskan panjang lebar tentang bagaimana dulu Ari rajin datang ke rumah setelah kebenaran itu terungkap. Seringnya datang untuk sarapan
Ya intinya Ari sudah dianggap anak disini, dan itu membuat Gina tercengang.
Gina belum tersentuh hatinya karena mau bagaimanapun dia masih syok dengan kejadian itu.
“Ayo de belajar jadi istri, bikin bekal makan siang buat Ari!” Perintah Bang Andi sambil cengengesan. Gina bergidik. “Idih ogah! Bikin aja sendiri.” Kemudian Gina bangkit dan pamit tanpa salaman. Ia sudah badmood di pagi yang cerah ini. Sedangkan keluarga di meja makan langsung tertawa terbahak-bahak. Termasuk Ari, ia mencium tangan Ayah dan Bunda, juga Bang Andi, kemudian menyusul Gina yang sudah lebih dulu keluar.
“Buru-buru banget!” Ujar Ari tak membuat Gina berhenti. “Aku anter ya, kantor kita kan searah.” “Nggak! Makasih!” Ucap Gina dengan tegas dan judes. Ia melihat ke garasi namun mobilnya tidak ada. Ia merogoh kunci mobil di tas, tapi tidak ada juga. “Mobil aku ke mana?” Tanya Gina menoleh ke kanan dan ke kiri. “Mobil kamu dipinjam Nina!” Teriak Bang Andi sembari menyandarkan bahu di tiang rumah. Sedangkan Ari sudah melayangkan finger love ke Bang Andi karena rencana mereka berhasil. Artinya Gina akan ikut ke mobilnya dan mereka bisa berduaan sambil mengobrol di perjalanan.
“Kenapa nggak izin aku dulu?” Tanya Gina dengan memangku tangan menatap Andi yang mengedikkan bahu. “Ya udah, sini, pinjem mobil abang aja,” kata Gina sambil menengadahkan tangan. “Abang juga kan mau kerja!” Tolak Bang Andi dengan sewot. “Udah ikut aja sama Ari, biar cepet. Udah siang loh dek ini. Macet entar!” Andi semakin membuat Ari tersenyum lebar.
Gina menoleh dan Ari langsung menyembunyikan senyumnya. “Gimana?” “Gimana apanya?” “Mau bareng nggak?” “Udah sana duluan. Aku bisa naik taksi online.” Gina merogoh saku dan sang ayah yang hendak berangkat pula menghampirinya.
“Udah ikut Ari aja, kalian kan searah, lumayan dek hemat ongkos!” Ayah mengambil ponsel Gina kemudian memasukkannya ke tas. Dengan mata memicing, Gina akhirnya terpaksa ikut Ari.
“Seneng ya kamu!” Tudingnya ketika mereka sudah membaur dengan mobil lain. Ari tersenyum kecil. “Seneng lah. Seneng banget malah.” Ck! Gina berdecak kesal.
Ia memalingkan wajah ke samping kiri karena tidak mau melihat gerak-gerik mantannya. Hening di antara mereka, hingga sebuah lagu berjudul kali kedua dari Raisa membuat Gina membeku. Seperti isyarat bahwa Ari meminta kembali untuk mengarungi perjalanan cinta mereka untuk kedua kali.
Tapi, lantas Gina menggeleng. Namun, ia tak menyangkal bahwa setelah ia pergi meninggalkan semuanya 3 tahun yang lalu, perasaannya masih sama. Hanya Ari yang selalu memenuhi relung hatinya. 3 tahun menjauh dari Indonesia tak membuat dia berpaling kepada yang lain.
Ari menunggu momen yang pas. Ketika tangan Gina menganggur di lututnya, ia meraihnya tangan itu kemudian menggenggamnya erat. Seketika Gina menoleh dengan tatapan melotot, tapi Ari masih fokus ke depan.
Ketika berontak ingin melepaskan diri, Ari semakin kuat menggenggamnya. “Lepasin!” Pinta Gina dengan tegas.
Ari tetap bergeming. Di lampu merah ini, mereka berdua saling berkomunikasi tanpa kata yang berhamburan. Cara Ari memegang tangan Gina, sudah membuktikan bahwa ia tengah berbicara.
“Aku kangen kamu!” Tiga kata yang keluar dari mulut itu sukses membuat Gina berkaca-kaca. Dirinya juga rindu pada laki-laki ini tapi gengsi untuk bilang.
“Apa kabar?” Tanya Ari membuat Gina heran. Mereka sudah bertemu dari kemarin kenapa baru bertanya sekarang. “Kalau kamu tanya aku, aku nggak baik. Aku kangen kamu setiap hari, Gina. Setiap hari sarapan di rumahmu dengan harapan bisa menyembuhkan rasa rinduku tapi ternyata nggak bisa.” Mata Ari mulai panas. Genggaman Gina yang semula berontak mulai melemah, nyaris seperti balas menggenggam dengan lembut. Dan Ari mensyukuri itu.
Setelah lampu merah itu berubah menjadi hijau, Ari melajukan mobilnya tapi dalam sekejap sudah menepi lagi.
Gina sedikit heran. Ari menggenggam kembali tangan Gina, mengelus punggung tangannya dengan ibu jarinya yang besar.
Sambil menunduk, Ari mulai bicara lagi, “apa kamu merasakan hal sama, Gin? Atau memang cintamu udah hilang gara-gara fitnah sialan itu?” Katanya dengan tertawa sumbang. Kentara sekali kalau Ari saat ini sedang putus asa?
Seketika Gina menggeleng tapi lidahnya kelu untuk berucap.
“Meskipun begitu, aku mau tanya sama kamu, Gin. Mau kah kamu melanjutkan kembali cinta kita yang sempat tertunda?” Tanya Ari dengan menatap dalam mata Gina yang mulai berair. Kalau kedip mungkin air mata itu akan jatuh.
Karena merasa salah tingkah, Gina mengerjap. “Keburu siang, Ri. Aku takut telat.” Ucapnya sambil melepaskan tangannya dari Ari namun pria itu menolak. Tak membiarkan Gina mengalihkan pembicaraan.
Jujur Gina pun sama, tapi bukan disini tempatnya jika harus jujur. Ia masih mengharapkan Ari. Ia masih mengharapkan hubungannya bisa kembali utuh. Tapi, rasanya masih terbayang dengan kejadian itu meskipun terbukti Ari tidak bersalah, dia hanya difitnah.
“Masih pagi, kamu masuk pukul 08.00 WIB kan?” Tanya Ari terkekeh. “Kalau gitu aku turun disini aja.” Tangan terlepas, Gina hendak membuka pintu mobil, namun tangannya ditarik kembali membuat Gina memekik dan tubuhnya berhasil mendarat di pelukan Ari.
Aroma tubuh Ari membuat Gina tenang, meskipun awalnya dia melotot.
Satu menit, dua menit, hingga Gina tersadar ia telah terbuai.
“Lepasin, Ri. Aku kesiangan!” Kilahnya mencoba keluar dari pelukan. “Jawab dulu!” “Apanya?” “CLBK.” jawab Ari singkat. Gina mengerti, tapi dia gengsi. “Awas Ari, lepasin!” “Aku bakal lepasin setelah kamu bilang iya!” “Maksa!” “Emang. Ayo jawab dulu!” “Iya.. iya.. tapi awas dulu, aku nggak bisa nafas!” Ari melepaskan Gina yang langsung mengambil nafas dalam. Di samping sesak dia juga gugup karena pelukan Ari membuat Gina nyaman sebenarnya.
“Jadi gimana?” “Apanya, sih?” Gerutu Gina sambil manyun. “Harus dijelasin juga? Tadi aku udah bilang iya!” Sentak Gina sedikit emosi, namun Ari malah tertawa. “Yes, CLBK. Cinta lama belum kelar. Makasih Gingin.” Ari meraih tangan Gina kemudian membawanya ke bibirnya, kemudian dikecup dalam. Seketika Gina menahan nafas. Perbuatan random Ari membuatnya merona dan tersipu. Dengan malu-malu, Gina mengalihkan pandangan.
“3 tahun nggak ketemu kamu aku amaze. Kamu jadi bawel dan galak. Tapi aku suka.” Lanjutnya lagi dengan perasaan riang. “Cepetan jalan lagi! Udah kesiangan nih!” Gina tetap Gina. Yang sekarang sudah berubah karakter. Galak dan bawel. “Baik tuan putri!” Ucap Ari membuat Gina menahan tawa.
Tamat.
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ipeeh.h (instagram)