Hujan baru saja reda dan menyisakan hawa dingin yang kusukai. Boulevard Ijen perlahan dipadati lagi lalu lalang mobil dan motor orang-orang masih beraktivitas. Di depan museum Brawijaya aku menepi dan berhenti. Sambil duduk di atas jok motor jadulku, aku mencoba menikmati suasana sore di kota dingin di kawasan yang menjadi ikon kota ini.
Ya, dulu namanya jalan Ijen. Di kiri kanan jalan ini berdiri rumah-rumah mewah yang konon sudah dibangun sejak zaman kolonial Belanda. Rumah-rumah itu adalah peristirahatan para pejabat maupun pengusaha kaya raya.
“Rumah siapa ya di jalan Ijen ini?” tanya May, teman kuliahku. “Rumahnya pembantu,” jawabku tak serius. “Kok bisa?” “Karena empunya rumah mungkin tak di sini. Ini hanya rumah peristirahatan. Tapi tetap ada yang jaga. Ya, para ART itulah.” “Orang zaman sekarang memang pandai menyembunyikan kekayaaannya.” “Kalo kekayaaannya didapat dengan kerja keras dan jujur sih gak apa-apa. Itu namanya rendah hati, tidak sombong.” “Lha kalau hasil korupsi?” “Itu bangsat namanya!” “Semoga kelak kamu tidak menjadi bangsat, Kawan.” “Amin. Hehehe, memangnya aku jadi apa?” “Siapa tahu kelak kamu jadi pejabat.” “Semoga.”
Sebuah sedan pelahan berhenti di belakang aku memarkir motor dan duduk santai di sana. Aku pikir siapa pun yang di dalam sedan itu mungkin orang seperti diriku yang sedang dejavu dengan masa lalu di kota ini.
“Hei, hallo, assalamualaikum,” ucap seseorang yang suaranya sangat kukenal dengan baik. Dengan santai ia keluar dari sedan itu dan berjalan ke arahku. Mungkin cuma tiga langkah saja. “Waalaikumussalam,” jawabku. “Akhirnya kita rendezvous di sini,” kata May sambil mengulurkan tangannya. “Tak kukira,” jawabku sambil menyambut tangannya. Kami berjabat tangan dengan erat. “Dejavu?” kataku. “Rasanya lama sekali ya kita tak bertemu, tapi pertemuan ini seperti pernah terjadi di waktu lampau,” jawab May. “Ah, cuman kebetulan saja,” jawabku.
“Sekilas tadi aku yakin itu kamu, tapi aku ragu hingga aku putar balik dan ternyata betul itu kamu yang terduduk di motormu itu,” ujar May. Ada rona kegembiraan di mata dan senyumnya. Senyum dan tatapan mata yang sama dengan 20 tahun yang lalu. Aku tahu dan rasakan itu. By the way, kemana saja setelah wisuda dulu?” tanyaku. “Cari kerja dong,” balasnya dengan mimik lucu. “Pulkam?” tanyaku. “Enggaklah. Kampungku jauh di luar pulau dan sepi. Kerja apa di sana?” “Apa saja yang penting halal kan?” kataku. “Yang benar itu kamu, belum lulus sudah dapat kerja. Itu keren,” ujarnya. “Itu relatif. Kata orang Jawa hidup itu sawang-sinawang.” “Maksudnya?” tanya May. “Apa yang kamu lihat belum tentu seperti itu kenyataannya.” “Aku gak ngerti tuh,” kata May. “Contohnya, kamu hari ini bawa mobil, tentu orang melihat kamu sebagai orang yang sukses, banyak duit. Orang memandang kamu orang yang bahagia lahir batin,” jelasku. “Padahal aku tak seperti itu,” sahutnya cepat. “Oh ya?” tanyaku spontan. Aku tak melihat perubahan wajahnya. “Kamu yang tampaknya bahagia bisa tinggal di kota ini,” kata May. “Aku terdampar di kota ini,” jawabku. “Benarkah?”
Tak terasa waktu terus berlalu dan sore telah tiba. Begitu asyik kami mengobrol tentang masa-masa yang telah hilang. Pergi bersama hari yang terus berganti. Pertemuan hari ini dengan May tercatat pada linimasa seperti sebuah dejavu.
“Ayo mampir ke rumahku,” kataku berbasa-basi. “Ke cafe tempat kita dulu biasa nongkrong aja, gimana?” “Okelah. Masih ingat jalannya?” kataku. “Selalu ingat jalan pulang,” jawabnya sambil tertawa. Ya, mungkin menertawakan diri sendiri yang hanya sebatas sawang-sinawang. “Oke, lady first,” kataku.
Mobil May bergerak di depan dan aku mengikutinya dari belakang dengan motor jadulku. Kami menuju The Only One Cafe, yang berlokasi di dekat kampus tempat aku dan May kuliah. The O2C (otusi) adalah tempat kenangan.
“Masih seperti dulu,” kata May sambil duduk di kursi di posisi yang selalu menjadi favoritnya, pojok timur. “Cafe ini tak mau berubah atau tak bisa berubah?” kata May lagi. “Mungkin keduanya?” jawabku. “Dan orang-orang yang datang atau sekadar mampir ke sini mungkin orang-orang sejenis itu,” tambah May. “Mungkin juga,” kataku.
“Mau makan dan minum apa?” tawarku. “Just the same food and drink?” jawab May. “Ok. Kamu tampak benar-benar tak berubah, masih seperti dulu ketika masih mahasiswa,” kataku. Sebentar kemudian pelayan mengantar makanan dan minuman yang aku pesan. “Hey, mbak May sama mas Sony ya?” kata pelayan yang masih mengenal kami. “Hallo Pak Jo?” “Alhamdulilah, masih ingat tempat ini. Sudah punya anak berapa kalian? Kok agak ikut ke sini anak-anak?” tanya Pak Jo. Kami tergagap dan saling pandang. Aku yakin Pak Jo mengira kami menikah.
“Kalian itu pasangan serasi. Pasti anak-anak kalian cantik seperti mamanya dan tampan seperti papanya,” sambung Pak Jo. “Belum Pak Jo,” jawabku. “Belum punya momongan?” tanya Pak Jo serius. “Saya belum menikah Pak Jo,” jawabku. Kali ini bukan Pak Jo saja yang terkejut tapi tampaknya juga May. Aku lihat perubahan raut mukanya yang kini susah kutebak. Antara sedih dan gembira. “Oalah…, mas. Nunggu apa?” ujar Pak Jo. Mungkin menyesal telah salah menilai pada kami berdua. “Nunggu yang mau,” jawabku. “Waduh, jangan ngerusak pagar ayu ya? Kudengar mbak May sudah menikah kan?” “Iya Pak Jo. Tapi rumah tangga saya tak bertahan lama,” jawab May. Aku kini yang terkejut. Tak kusangka May sudah janda. Apakah ini kesempatan bagiku untuk menumbuhkan kembali benih-benih cinta yang pernah ada di hatiku untuknya?
“Nah, tunggu apalagi? Menikahlah. Saya dapat melihat bahwa sebenarnya kalian berdua ini punya rasa yang sama sejak mahasiswa dulu. Kalian punya cinta. Kalian sebenarnya saling mencintai. Tak usah malu dan gengsi. Langsung saja menikah,” kata Pak Jo tiba-tiba memberi ceramah kepada kami.
Sejak pertemuan itu aku selalu memikirkan dia. Kenangan bersama May semasa kuliah satu per satu hadir lagi membayang di anganku. Dia teman dan sahabat terbaikku. Liburan kali terasa cepat karena aku dilanda kegalauan. Kata-kata Pak Jo benar-benar mempengaruhiku. Tapi semua tak tahu bahwa lima tahun terakhir sebenarnya aku tak tinggal di kota ini. Aku telah memutuskan pergi jauh untuk melupakan semua kenangan dan apa pun yang terjadi kota ini.
Hari ini aku janjian bertemu lagi dengan May setelah kami bertukar nomor ponsel masing-masing. Dan kali ini May memilih taman perpustakaan kampus untuk bertemu. Dulu sewaktu kuliah sering aku dan dia menghabiskan waktu di sini. Aku melangkahkan kaki agak cepat dari parkiran motor ke taman kampus. Selama ini aku selalu tepat waktu jika janjian. Dari jauh aku lihat May pun berjalan dari parkir mobil dengan cepat. Mungkin kuatir tidak tepat waktu.
“Hello,” sapaku. “Hai,” balasnya. “Duduk di mana?” tanyaku. “Seperti dulu. Masih ada kan bangkunya?” jawabmu. “Tempat ini kayaknya tak berubah,” kataku.
Setelah duduk berdua di bangku batu di sudut taman, aku merasa agak kikuk. Berduaan di situasi yang tak lagi sama. “Lihat ini,” kataku sambil menyodorkan sebuah album foto. “Wouw… jadi kau bukan lagi WNI?” “Ya. Lima tahun lalu aku memasuki dinas militer Rusia sehingga otomatis WNI-ku hilang.” “Jadi?” “Pikirkan baik-baik jika kau mau mendengar kata-kata Pak Jo kemarin,” kataku. May terdiam. Dia rupanya suka melihat foto-fotoku dalam seragam loreng. Mungkin aku tampak gagah. “Baiklah, aku butuh waktu untuk berpikir. Cinta butuh logika kan?” “Up to you,” jawabku.
“Terima kasih untuk semua yang pernah kita lalui bersama. Kau sahabat terbaikku di masa lalu sekarang, dan selamanya,” kata May. “Sama-sama. Kau juga my bestie. Apa pun putusanmu akan aku hargai,” kataku.
Dan waktu aku rasa begitu cepat berlalu. Aku rasa saat ini saat yang tepat untuk berpisah. “Aku nanti malam akan kembali,” kataku. “Wouw, kenapa begitu cepat?” jawab May terkejut. Mungkin tak mengira pertemuan ini begitu singkat, hanya dua hari dan tak banyak waktu terlewatkan berdua. “Aku sudah satu minggu di sini,” jawabku. “Izinkan aku mengantarmu ke Bandara,” kata May. “Oke. Terima kasih.”
Perjalanan ke Bandara Internasional Juanda terasa cepat. Padahal May mengemudi di tol dalam kecepatan terendah. “Benarkah kau mau menikahiku?” tanya May sambil menyetir mobilnya. “Ya, tentu jika kamu mau,” jawabku. “Benarkah kamu mencintaiku?” tanya May lagi. “Cinta bagiku tak penting, yang paling penting itu komitmen. Komitmen untuk hidup berdua dalam suka dan duka selamanya dan hanya maut yang memisahkan,” jawabku. Aku lihat air mata meleleh di pipi May.
“Even though love is not important to you, I will love you,” kata May. “I love you too,” jawabku.
Cerpen Karangan: Suwarsono Blog / Facebook: Suwarsono S