“Jangan menuduhku yang tidak-tidak! Aku kemarin tak sempat meneleponmu, karena ayahku melarangku untuk menggunakan telepon. Dan akhirnya aku langsung tidur dan tak meneleponmu dulu,” ucapku sedikit berteriak. Entah kenapa aku merasa kesal. “Padahal jelas-jelas kemarin yang menelepon itu kau! Aku masih mengingatnya dengan jelas bahwa itu suaramu,” rasa kesalku semakin menjadi-jadi. Karena aku terus dituduh sebagai pelakunya. “Ah, sial. Terserahlah, mau itu kau yang menelepon atau bukan, itu bukan urusanku. Pokoknya, kau jangan pernah meneleponku untuk hal-hal yang tak berguna!” ucap Farel sambil meninggalkanku sendirian di atap sekolah. Aku hanya bisa mengepalkan tanganku dan mulai meneteskan air mata.
Rasa kesal, malu, dan sedih menumpuk di pikiranku ketika aku mulai bangun dari kasurku yang entah mengapa hari ini tidak begitu nyaman ditiduri olehku. Aku mulai turun ke bawah untuk mencuci wajahku, dan mulai memakan eskrim sundae ditengah cuaca yang sedang panas. Sebuah note tertempel di pintu kulkas, note ini tentu saja dari orangtuaku, yang menyuruhku untuk memanaskan makanan sisa kemarin karena mereka tak sempat memasak. Aku mulai duduk sambil membaca dan memakan eskrim sundae di teras rumah.
“Bagaimana kalau aku keluar rumah aja, ya?” batinku. Sebenarnya aku merasa sedikit jenuh dengan kebiasaan yang aku mulai sejak 2 hari yang lalu. Akhirnya aku memutuskan untuk mandi dan mulai berjalan-jalan ke taman dekat rumah.
Aku masih kesal dengan Farel yang menuduhku seenaknya kemarin. Bagaimana bisa seseorang yang sedang tidur menelepon seseorang yang masih hidup? Apakah pada saat itu aku melakukan ‘Astral Projection’?
Ketika aku sedang asik berkutat dengan batin, aku melihat Farel sedang berjalan di arah berlawanan. Namun, mataku terbelalak kala melihat sebuah mobil melesat kencang mengarah ke arah Farel.
“FAREL!”
Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat tubuh Farel terlempar begitu jauh dari tempatnya. Lalu aku tersungkur, aku tak kuasa menahan tangis. Orang-orang mulai berdatangan seraya mencoba untuk menelepon ambulans. Yang hanya aku bisa lakukan adalah menangis, dan aku hanya bisa berdoa bahwa semua ini adalah mimpi.
Keesokan harinya, berita mengenai Farel yang sudah tiada terdengar oleh seluruh kota, termasuk sekolah kami. Sekolah kami mengadakan upacara penghormatan yang terakhir kalinya kepada Farel. Semua orang yang menghadiri acara ini meneteskan air mata. Farel yang dikenal sebagai seorang remaja yang baik, ceria, dan pintar ini tak disangka akan meninggalkan kami begitu cepat. Sesampainya di rumah, aku hanya bisa menangis, menangis, dan terus menangis. Hingga akhirnya aku tertidur lelap.
Aku terbangun dari tidurku, jam menunjukan pukul sembilan malam. Mataku sembab, aku tak bisa menangis lagi. Aku mengambil ponsel lipat yang berada di dalam laci mejaku.
“Andai saja waktu itu aku menelponmu…” sembari diriku membatin, aku membuka ponsel lipat yang aku ambil tadi. Alangkah terkejutnya aku ketika ponsel lipat yang satu ini masih menyala. Padahal 3 hari kemarin, ponsel ini mati total. Lalu aku pun mulai mencari kertas yang diberikan oleh Farel kepadaku. Kertas berisikan nomor telepon yang ia berikan kepadaku. Aku mulai menekan tombol sesuai nomor yang Farel berikan. Lalu, aku seperti orang gila memperagakan diriku sedang mengobrol dengannya.
“Halo, Farel. Gimana kabarnya? Aku harap kamu baik baik saja disana,” air mataku mulai menetes kembali. Namun aku terkejut bukan main. Ada suara yang membalas suaraku di seberang sana. “Halo? Siapa ya?” aku tak yakin apa yang aku alami ini adalah mimpi atau bukan. Apakah aku masih setengah sadar ya? “Oh, pasti ini Aurel, ya? Apa kabar Aurel?” ucapnya lagi. Dengan tak sengaja, aku menutup teleponnya. Saking groginya diriku, aku dengan cerobohnya menutup ponsel lipat ini. Astaga astaga astaga! Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku ucapkan? Aku bingung bukan kepalang, bagaimana bisa seseorang yang sudah meninggal menjawab telepon dari bumi?
Dengan segenap keberanian, aku akhirnya menelepon kembali Farel.
“Aurel? Kok dimatiin teleponnya? Ada apa?” dengan lantang, aku berkata kepada Farel di seberang telepon. “Besok, jangan keluar rumah apapun yang terjadi!” “Kamu ngelantur ya?! Aku kan ada les besok.” “Pokoknya jangan! Kalau tidak kau akan mati!” “Aku akan tutup teleponnya.” “Kumohon, dengar aku. Aku tak mau kehilanganmu, kumohon dengar permintaanku. Aku mohon, jangan keluar rumah besok, apapun yang terjadi,” aku mulai menangis tersedu-sedu. Farel hanya diam membisu, sedangkan aku disini mulai menangis sejadi-jadinya. “Baiklah, aku akan mengikuti perkataanmu,” tak disangka, Farel mengikuti perkataanku. “Sebagai gantinya, besok antar aku ke pusat kota jam 3 sore, ya? Aku traktir eskrim sundae kesukaanmu.” “Ya, ya! Aku mau, janji ya?” ucapku sembari sesenggukan. “Oke, aku tunggu besok ya. Selamat tidur, Aurel,” sesaat setelah teleponnya ditutup. Aku mulai berlari ke jalan tempat Farel tertabrak oleh mobil saat itu. Tak ada yang berubah, bingkai fotonya masih ada di pinggir jalan. Beberapa snack dan bunga masih berada di tempatnya.
“Bego, Aurel bego!” aku mulai memukul-mukulkan tanganku ke kepalaku. Aku memanggil namanya beberapa kali sembari menangis.
“Aku hanya berharap ini semua mimpi, aku tak mau kehilanganmu,” aku mulai menangis sejadi-jadinya. Namun tiba-tiba, penglihatanku menjadi putih. Aku tak bisa melihat apa-apa. Beberapa saat kemudian, pandanganku mulai kembali normal. Dan saat kusadari, aku kembali disaat aku sedang berjalan menuju taman dekat rumahku. Dan kejadian yang sama terulang lagi. Namun, yang tertabrak bukanlah Farel, melainkan seorang pria tua. Pria itu langsung diangkut oleh beberapa petugas dan mobil sang pelaku menabrak sebuah tiang listrik.
Aku mulai berlari ke taman dekat rumahku. Mataku terbelalak, saat melihat Farel sedang membaca buku di taman itu. Aku mulai berlari sekencang mungkin dan mulai memeluk Farel. Aku mulai menangis di pelukannya.
“Kumohon, jangan tinggalkan aku lagi,” tak peduli dengan tatapan orang-orang sekitar. Aku tetap memeluk erat tubuhnya. “Ada apa ini, Aurel? Iya iya gak akan aku tinggalin, kok. Emangnya aku mau kemana?” ujarnya sembari tertawa kecil. “Jahat banget sih kamu, orang lagi sedih juga,” aku menatap wajah Farel yang terkena sinar matahari. Wajahnya yang sedang cengegesan sungguh terlihat mempesona, entah mengapa.
“Yaudah, biar kamu ga sedih lagi. Aku beliin eskrim sundae kesukaanmu. Sesuai janjiku kemarin, gimana?” “Boleh deh, tapi janji ya jangan pernah tinggalin aku lagi?” ucapku sembari menyodorkan jari kelingkingku. “Ya, aku janji aku tak akan pernah meninggalkanmu,” jari kami pun saling bertaut. Dan aku harap, ia tak akan pernah meninggalkanku sendirian, lagi.
Cerpen Karangan: Dhafin Fauzan Blog / Facebook: Dhafin Halo, jika kalian suka dengan cerita ini. Bisa dong, komen part mana yang kalian suka. Oh iya, jikalau berkenan. Boleh kunjungi igku @grayyfinn. Terimakasih semua yang sudah mau membaca cerita ini. ^^