Dan untuk setiap orang yang pulang
Dengan wajah menunduk
Mungkin seiring daun-daun yang gugur, secepat itu pula perpisahan terjadi. Di sudut-sudut tertentu–di belahan bumi mana pun; tua-muda, laki-laki dan perempuan, mati, cerai, tak ada yang bisa lepas dari belenggu ‘berpisah’. Akan selalu ada orang-orang yang merenung: apakah temu dan pisah adalah satu sebenarnya?
***
Stasiun Jember mulai sepi, dingin. Hujan baru saja turun, jalan depan stasiun penuh genangan, orang-orang berteduh; menghangatkan diri di pojokan-pojokan warung depan stasiun. Lampu-lampu remang, langit sepi tanpa awan, aroma teh dan kopi merebak berpadu dengan angin malam menambah lekat diorama perpisahan.
Di sudut lain stasiun, seorang laki-laki dan perempuan berjalan bergandengan tangan.
Sebentar lagi di tempat ini, tirai perpisahan akan terbuka lebar.
“Sebentar lagi keretanya tiba.” Seru laki-laki itu.
“Sebelum itu, apakah ini memang benar-benar harus terjadi? Tak adakah cara lain?” suara lirih keluar bersama angin malam yang bergerak halus. Di langit awan mulai malu-malu mengintip, satu bintang terlihat, bulan setengah tampak samar.
“Memang seperti ini aturan mainnya. Akan ada laki-laki lain yang datang kemari, berkenalan denganmu, dan semua akan terjadi seperti umumnya perkenalan.” Jawab laki-laki itu, “mungkin juga kamu akan menikah, menimang anak, dan kelak, jika sudah waktunya kejadian ini akan terulang lagi. Berputar begitu seterusnya.”
Barangkali jika waktu bisa digambarkan, bentuknya persis seperti jam. Satu adegan perpisahan akan disertai pertemuan di tempat lain. Di tempat mana pun waktu tetap sama, jam tetap berputar sedemikian rupa, kematian di tempat ini akan disertai kelahiran di tempat lain. Menikah di tempat ini akan disertai cerai di tempat lain, dan setiap orang tak akan bertanya mengapa karna memang sudah begitulah tabiat waktu.
“Tenang saja, laki-laki lain akan datang kepadamu suatu hari nanti.”
“Laki-laki lain yang tidak sama denganmu?”
“Tentu saja, bagaimana mungkin satu kejadian akan terulang dengan tokoh yang sama?”
“Lantas setelah ini, kau akan mencintai wanita lain?”
“Menurutmu?”
“Ah tentu saja, aku melontarkan pertanyaan bodoh. Kau pasti akan melakukan itu.”
“Bagaimana jika setelah ini aku justru tak melakukan itu?”
“Lalu, bagaimana caramu melupakan?”
“Entahlah, mungkin aku akan menulis, atau bekerja di perusahaan. Atau bepergian ke tempat yang jauh, memulai hidup baru di sana, menghabiskan waktu hingga renta.”
Kereta jurusan Surabaya telah tiba. Laki-laki itu melangkah pergi tanpa mengucap salam dan menoleh ke belakang. Tidak seperti adegan-adegan perpisahan pada umumnya, ia enggan melakukan itu. Dan wanita itu hanya melihat sekilas punggung yang bersiap mengendap pada ingatannya. Malam semakin larut, kereta berangkat, laki-laki itu enggan menoleh dari balik kaca kereta. Hujan mulai turun. Membekas titik-titik kecil pada kaca kereta. Seolah gemercik hujan adalah simbol: harus ada yang dihapus saat masing-masing dari mereka bangun besok pagi.
***
Dua puluh tahun berikutnya, daun-daun masih tetap gugur di depan stasiun Jember. Bulan menginjak ke delapan, namun hujan masih enggan untuk pergi. Mungkin hujan enggan untuk membawa lari ingatan, ia mengendap di tempat-tempat tak terduga. Kaca kereta, pepohonan, kepala-kepala yang basah, menimbun menjadi genangan air di beberapa sudut stasiun. Orang-orang berjalan dengan payung, warung di pojokkan sudah hilang, berganti depot-depot yang menyajikan banyak makanan mewah. Suara radio tergantikan suara smartphone, tukang becak tergantikan ojek online, pintu masuk kini sudah otomatis. Dua puluh tahun lamanya cukup banyak yang berubah dari stasiun ini. Semua berubah namun tidak dengan cerita perpisahan yang selamanya melekat di tempat ini.
“Konon, stasiun dulunya adalah tempat perpisahan paling dramatis.” Ujar seorang pegawai stasiun.
“Sampai-sampai ada lagunya bukan?”
“Iya, lagu Didi Kempot itu salah satunya. Tapi tak hanya itu.”
“Memang ada lagi?”
“Ada. Cerita yang khusus melekat di Stasiun Jember.”
“Ah paling-paling picisan. Laki-laki dan perempuan yang berpisah? Begitu, kan?”
“Memangnya berpisah itu picisan?”
“Sudah tentu. Banyak yang sudah mengangkatnya menjadi kisah. Terlalu mudah ditebak.”
Mungkin perpisahan laki-laki dan perempuan di Stasiun Jember ini memang picisan. Tapi, toh sepicisan bagaimana pun setiap perpisahan tetap menyakitkan bukan? Stasiun Jember akan menjadi simbol baru, siapa yang ingin berpisah, cukup katakan “Antarkan aku ke Stasiun Jember dan bangunlah besok pagi tanpa pernah bertanya mengapa kita berpisah.” Atau “Sudah saatnya aku pergi ke Stasiun Jember.” Itu artinya mereka akan berpisah
Dua puluh tahun berlalu dan wanita itu tetap menunggu. Selepas senja, ketika matahari mulai redup, burung-burung menyisakan siluet dan terbang rendah untuk pulang. Ketika angin berembus dari utara, menerbangkan daun-daun yang berpisah pada ranting yang terlalu setia. Wanita itu tetap pergi ke Stasiun Jember. Tapi kali ini ia tidak sendiri. Benar kata laki-laki yang berpisah dengannya dua puluh tahun lalu, dia akan menikah dengan laki-laki lain, memiliki anak perempuan, dan memiliki kehidupan normal selayaknya seorang Ibu.
“Ma, kenapa sih kita mesti ke Stasiun Jember setiap hari? Papa kan tidak kerja di sini?” gerutu gadis kecil itu.
“Mama suka lihat kereta, Sayang.”
“Kalau suka berarti harus lihat setiap hari ya, Ma?”
“Benar. Mama setiap hari kan lihat Alenia. Itu artinya Mama juga suka sama Alenia.”
Gadis kecil itu hanya menurut. Ia menjuntai kaki, menggoyang-goyangkannya, bergetar sesekali ketika kereta tiba di stasiun. Setiap hari gadis kecil itu selalu dibawa ke mari. Sejak ia berumur satu tahun, sejak ia belum mengerti apa itu kereta dan apa itu stasiun, wanita itu selalu membawanya kemari.
“Kenapa Papa tidak diajak, Ma?”
Wanita itu tersenyum, membelai rambut gadis manisnya.
“Papa sibuk kerja, Sayang. Papa juga tidak suka kereta dan stasiun.”
“Kenapa Papa tidak suka, Ma?”
“Karena tidak suka saja, Alenia. Papamu lebih suka taman dan bunga-bunga.”
“Alenia juga suka bunga, Ma. Tapi Alenia juga suka kereta. Bunyinya lucu hihihihi.”
Begitulah, sejak dua puluh tahun lamanya ia selalu ke mari. Menanti di Stasiun Jember. Menikmati sore, mengingat-ingat kejadian perpisahan. Memandang sepasang kekasih yang memutuskan berpisah di Stasiun Jember. Dramatis. Dramatis sekali perpisahan di Stasiun Jember. Dari banyaknya tempat, kenapa harus stasiun?
Menjelang malam ia pulang bersama gadis kecilnya. Sebenarnya suaminya tak mengijinkan ia selalu datang ke stasiun. Tapi ia selalu bersikeras, dan akhirnya suaminya mengalah dan hanya diam jika ia dan gadis kecilnya pergi ke Stasiun Jember setiap sore.
Ia melangkah pulang menuju rumah, bersiap menyiapkan makan malam untuk keluarga kecilnya.
Sesampainya mereka di rumah; di depan pintu wanita itu menemukan selembar surat. Ia mengenal tulisan tangan itu. Milik suaminya. Dengan curiga ia membacanya sekilas. Menghela napas.
Aku tahu kamu masih mencintainya. Sudah saatnya aku pergi ke Stasiun Jember. Kamu dan Alenia harus bangun besok pagi tanpa ada pertanyaan mengapa kita berpisah.
“Itu surat dari siapa, Ma?”
“Papamu, Sayang. Papamu sudah suka dengan kereta dan stasiun.”
Benarkah setiap perpisahan selalu terulang?
Mungkin tidak jika dua puluh tahun lalu keluarganya menerima pinangan laki-laki yang selalu dicintainya.
Haryo Pamungkas, lahir di Jember, Jawa Timur. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNEJ. Cerpennya telah dimuat di media cetak dan digital.